ANTARA/ASEP FATHULRAHMAN

Sejumlah petugas Komisi Pemilihan Umum Provinsi Banten melayani warga yang mengecek namanya dalam Daftar Pemilih saat sosialisasi Pemilu 2019 di arena Car Free Day (CFD) di Alun-alun Serang, Banten, Minggu (8/7/2018). KPU menggelar sosialisasi di sejumlah titik keramaian mengenai pelaksanaan Pemilu 2019 yang akan berlangsung serentak dalam satu hari pada 17 April 2019.

Harian Kompas pada edisi Senin (25/6/2018) menyebutkan aspek substansi demokrasi sebagai tantangan krusial kita saat ini. Dua contoh dikemukakan, antara lain tantangan politik uang dan kegelisahan akan netralitas penyelenggara dan aparatur negara. Pada topik berita yang lain, Kompas juga kembali menggaungkan usaha Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menahan eks narapidana korupsi dalam proses pencalegan.

Soal-soal pelik di atas memang terhubungkan dengan sejumlah kesimpulan penting dari begitu banyak studi kritis seputar praktik demokrasi di Indonesia. Dari begitu banyak studi, demokrasi liberal dianggap hanya bergerak secara mekanistis belaka dalam konteks sirkulasi kekuasaan.

Di sini, demokrasi tidak cukup efektif memunculkan aspek moral dalam politik dan kekuasaan. Ini yang menyebabkan bagaimana lembaga-lembaga dan pelaku politik akan membusuk tanpa sokongan tiang-tiang moral-etik yang tangguh.

Umumnya, dua aspek berikut diterima sebagai penjelasan tentang demokrasi (demokratisasi) (Avril dan Neem, 2014). Pertama, kontestasi. Kedua, konstituensi. Kontestasi secara sederhana merujuk pada persaingan antar-kekuatan politik dalam rangka meraih dukungan politik massa (konstituen). Sementara konstituensi beririsan dengan kristalisasi dukungan politik warga pada kekuatan politik, calon perwakilan politik, dan calon pemimpin politik. Sokongan politik warga menentukan legitimasi dari keterpilihan politik.

Dua aspek ini, dalam pemahaman dan praktik demokrasi, kian sering ditempatkan pada sudut berjauhan. Keduanya seolah berada pada sisi berlawanan. Kontestasi dimengerti hanya urusan elite. Sementara konstituensi dipahami sekadar sebagai tanggung jawab warga politik. Bahkan, konstituensi diperlakukan sebagai obyek belaka dalam ranah kontestasi politik (elite).

Ketidakpercayaan

Kontestasi sebetulnya lebih luas daripada sekadar sebagai gambaran pertarungan politik. Kontestasi juga mengacu pada proses keterlibatan dan negosiasi dalam proses demokrasi. Kontestasi menjelaskan pertarungan antar-ideologi. Di titik ini, keadaban laku politik kelas elite adalah keniscayaan. Diskusi tentang basis moral-etik kekuatan politik atau kandidat perwakilan politik adalah satu keharusan.

Di Indonesia, isu ini menjadi sangat penting. Ini disebabkan baik pelaku politik maupun publik sama dalam konteks demokrasi elektoral tergila-gila pada "popularitas politik". Di balik itu, ada hipotesis politik yang menyebutkan bahwa popularitas politik dan konstituensi politik bergerak secara linear. Semakin tinggi popularitas politik, semakin besar tingkat keterpilihan politik.

Namun, popularitas politik, yang tidak berdiri di atas keteladanan etik, berakhir jadi seperti "istana pasir" yang begitu mudah runtuh. Kekuasaan dengan lekas sarat kenajisan menjijikkan. Di sini, dua masalah serius muncul dengan cepat. Pertama, "akumulasi ketidapercayaan" di benak rakyat (Lenard, 2015). Kedua, pembelaan terhadap kerangka nilai demokrasi juga akan melemah secara drastis.

Sekarang ini, persoalan seputar "pelembagaan demokrasi" (institusionalisasi) sepertinya menjadi diskusi yang tidak begitu penting lagi. Alasannya, dalam hitungan dua dekade pasca-reformasi, kita bisa dikatakan berhasil dalam proses pelembagaan demokrasi. Bahkan, sejumlah lembaga yang sebelumnya tidak dikenal dalam pembagian kekuasaan konvensional pada tiga matra utama (baca: legislatif, eksekutif, dan yudikatif) hadir secara signifikan mematangkan demokrasi kita.

Kita perlu jujur untuk mengakui bahwa sebetulnya aspek yang memunculkan kekecewaan pada publik adalah lemahnya kualifikasi etik-moral pemimpin politik dan perwakilan politik. Ruang publik diperhadapkan dengan kelakuan politik kelas elite. Fase pertama pasca-reformasi, di samping sekian macam pencapaian institusional, juga ditandai oleh adanya kerawanan perilaku elite politik.

Semestinya, semua kekuatan politik dan calon perwakilan politik tidak hanya mengejar pencapaian maksimal "konstituensi politik", tetapi juga mengasah dan memupuk "konstituensi etik-moral'. Hal ini ada di dalam seluruh keberadaan sebagai pelaku politik. Sejajar dengan pandangan Kompas dan usaha KPU, sesungguhnya konstituensi etik- moral menjadi lebih krusial ketimbang konstituensi politik.