KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR

Kepala Badan Pusat Statistik Kecuk Suhariyanto memaparkan Indeks Pembangunan Pemuda Indonesia 2017.

Tanpa ingar bingar, 17 Juli 2018, Indonesia meluncurkan Indeks Pembangunan Pemuda (Youth Development Index), jauh mendahului peluncuran UN Youth Strategy oleh Sekretaris Jenderal PBB pada September 2018. Ini capaian besar yang luput dari perhatian banyak pihak.

Padahal, di dalam indeks itu lengkap tertulis indikator pembangunan global apa saja yang harus dilakukan kaum muda Indonesia untuk mencapainya berdasarkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Lahirnya indeks ini jadi penanda bahwa Indonesia siap melibatkan kaum muda dalam pembangunan dengan lebih strategis, sistematis, dan bermakna. Bagaimana caranya? Mengapa itu menjadi penting?

Sejak SDGs diadopsi oleh 194 negara anggota PBB, September 2015, kaum muda—baik sebagai individu maupun bagian dari populasi—makin sering disebut sebagai penentu berhasil tidaknya dunia mencapai target-target pembangunan tersebut. Diyakini bahwa tanpa keterlibatan kaum muda, SDGs disangsikan keberhasilannya.

Di berbagai sektor, gerakan kaum muda mulai beraksi secara sistematis dan mandiri. Sebutlah Youth Constituency at United Nations Framework Convention on Climate Change (Youngo, gerakan global kaum muda pegiat lingkungan), International Federation of Medical Students' Associations(IFMSA, wadah gerakan dunia untuk para calon dokter), NCDFREE (gerakan pemuda untuk mencegah penyakit kronis), dan PACT UNAIDS (jejaring kaum muda pegiat komunitas untuk populasi yang hidup dengan HIV positif.

Melihat pesatnya pertumbuhan gerakan kaum muda ini, tidak salah jika Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Gebreyesus menyatakan, kaum muda punya peran sangat penting dalam mencapai tujuan kesehatan untuk semua. Keberhasilan pemuda selayaknya melampaui aspirasi progresif Agenda 2030. Dan, sebagai pembawa perubahan, pemuda menjadi tulang punggung keberhasilan cakupan kesehatan semesta (universal health coverage).

Namun, harus diingat, prasyarat untuk mencapai itu semua adalah koherensi, inklusivitas, dan kemitraan yang setara. Untuk memastikan prinsip ini tercapai, ada sejumlah langkah strategis.

Lima langkah strategis

Pertama, urgensi keterlibatan kaum muda. Dunia dan lanskap kebijakannya berubah dengan cepat. Tantangan yang dihadapi sangat pelik, termasuk pergeseran demografi, perubahan iklim dan beban penyakit, meningkatnya risiko penyakit kronis dan kardiovaskular, resistensi antimikrobial, dan pandemi lintas batas negara. Dibutuhkan himpunan kekuatan dan kecepatan beraksi dengan kaum muda sebagai ujung tombak. Disrupsi teknologi dan inovasi memegang peranan penting untuk mendobrak batas fisik yang sering kali jadi halangan utama.

Kedua, konsolidasi sistematis berbagai lembaga dunia dan nasional agar keterlibatan kaum muda bukan sekadar slogan. Anak muda tak hanya pemimpin masa depan, tetapi juga pemimpin saat ini. Dari skala komunitas hingga global, ada banyak contoh kelompok muda yang memimpin dan menciptakan perubahan yang berdampak positif bagi masyarakat luas. Sebagai contoh, di Indonesia ada berbagai platform keterlibatan kaum muda, yaitu Pencerah Nusantaradan Nusantara Sehat, Forum for Young Indonesians, Gerakan Muda FCTC IndonesiaSabang Merauke ID, dan masih banyak lagi. Mereka memicu timbulnya pola gerakan kepemudaan yang sistematis, berkelanjutan, dan berorientasi pada dampak—jauh melampaui simbol-simbol populis.

Ketiga, pengakuan dan perlakuan kaum muda sebagai mitra yang sejajar. Sesuai prinsip kemitraan, perlu mekanisme yang transparan, akuntabel, dan berkelanjutan untuk melibatkan kaum muda dalam pembangunan sejak perencanaan hingga implementasinya. Mekanisme pelibatan yang sistematik ini membutuhkan sarana: peta kemitraan. Jejaring kemitraan, terutama dengan berbagai kelompok kaum muda, harus bisa dipetakan, lengkap dengan sistem tata kelola dan dampak yang dicapai.

Keempat, aksi dimulai dari komunitas. Pelibatan kaum muda dalam pembangunan harus dimulai dari komunitas dengan kesadaran penuh bahwa lokus utama perubahan adalah di akar rumput. Aksi apa pun di tingkat global hingga nasional bertujuan untuk memberi dampak positif pada mereka yang ada di akar rumput, termasuk pelibatan kaum muda.

Kelima, kolaborasi multisektor dan interprofesi tak lagi sebuah pilihan, tetapi keharusan. Dengan kompleksitas tantangan dunia saat ini, gerakan kepemudaan tidak bisa mengikuti ego sektoral seperti era sebelumnya. Kekuatan kaum muda yang beragam secara pendidikan, asal-usul geografis, dan bidang profesi serta keahlian harus menjadi modal utama kolaborasi di masa kini.

Saat ini, WHO gencar memastikan kelima langkah di atas dikerjakan dalam rangka transformasi organisasi. Targetnya menyelamatkan hidup tiga mili-ar orang lagi: satu miliar diselamatkan dengan memastikan akses layanan esensial, satu miliar diselamatkan dari bencana pandemi global, dan satu miliar mencapai kesehatan dan kesejahteraan karena keberhasilan promotif preventif. Target ini dituangkan dalam rencana kerja strategis ke-13 yang disahkan pada World Health Assembly di Geneva, Mei 2018.

Konkretnya, sebagai awal sebuah gerakan global melibatkan kaum muda, pemetaan aksi di setidaknya beberapa sektor kunci di tingkat nasional yang terbuka untuk diakses para pembuat kebijakan global harus segera diimplementasikan. "Etalase" ini memungkinkan cerita sukses dan inovasi yang dilakukan kaum muda di satu negara direplikasi di negara lain. Kebijakan global pun dapat dikeluarkan berdasarkan konteks nasional yang akurat: suatu hal yang selama ini menjadi kritik keras kepada lembaga internasional yang dipandang kurang memahami kompleksitas nasional. Inilah modalitas paling strategis dalam terjadinya dialog dan pembuatan kebijakan berbasis fakta.

Di atas segalanya, jangan lupa: orang muda identik dengan energi perubahan!