ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN

Kapal tunda melintas di dekat kapal yang melakukan bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (23/7). Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2018 akan berada pada 5,1 persen (year on year/yoy) atau bias bawah sasaran Bank Sentral di 5,1-5,5 persen karena penurunan kontribusi dari kinerja ekspor.

Menyusul kenaikan indeks daya saing dan kemudahan berusaha, Indonesia juga mencatat perbaikan indeks logistik. Sayangnya, ini tak dibarengi turunnya biaya logistik.

Indeks kinerja logistik Indonesia versi Bank Dunia naik tajam dari peringkat ke-63 pada 2016 menjadi ke-46 pada 2018.

Meski mencatat banyak perbaikan, mahalnya biaya logistik masih dikeluhkan pelaku usaha. Selain sulitnya akses transportasi dan infrastruktur yang masih terbatas, mereka juga mengeluhkan naiknya tarif logistik itu sendiri, baik dalam bentuk pungutan resmi maupun tidak resmi. Semua ini membuat beban biaya logistik jadi mahal, mencapai sepertiga total biaya produksi bagi sejumlah industri. Akibatnya, memukul daya saing industri.

Kelancaran barang juga menjadi penyebab ekonomi biaya tinggi secara nasional. Problem logistik menyebabkan harga barang kebutuhan pokok masyarakat dan barang lain, mulai dari telur ayam hingga semen, sangat timpang antarwilayah, dan ongkos mengangkut sapi dari NTB, 40 persen lebih mahal dibandingkan dari Australia. Mahalnya logistik tecermin dari kontribusi biaya logistik yang masih 24-25 persen dari PDB.

Kita mengapresiasi upaya keras pemerintahan Jokowi-JK untuk mengurai persoalan ruwet logistik nasional dengan mengebut pembangunan berbagai infrastruktur jalan, kereta, pelabuhan, bandara, dan tol laut untuk meningkatkan konektivitas nasional beberapa tahun terakhir.

Namun, mengingat sifat proyek infrastruktur yang jangka menengah-panjang, tentu tak bisa diharapkan mampu seketika membuka setiap bottleneck yang ada untuk menekan secara drastis biaya logistik. Di banyak titik penting jalur logistik nasional, buruknya infrastruktur, kemacetan dan antrean panjang ke pelabuhan serta pungutan liar masih terus jadi momok.

Kita memang berhasil memangkas waktu tunggu peti kemas (dwelling time) di pelabuhan Indonesia dari yang semula terlama di Asia (4-5 hari) menjadi 3,45 hari atau bahkan kurang dari tiga hari. Namun, di pelabuhan utama Tanjung Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak, dan Belawan, masih di atas batas tiga hari sebagaimana diinginkan Presiden Jokowi. Sebagai perbandingan, Thailand dan Vietnam 2-3 hari dan Malaysia 1-2 hari.

Kita juga mencatat peningkatan tajam volume pengiriman barang secara nasional dan untuk tujuan ekspor. Layanan ekspor langsung PT Pelindo IV di Indonesia timur berhasil menekan biaya ekspor dari pelabuhan dalam negeri ke pelabuhan tujuan di luar negeri hingga separuhnya dan waktu distribusi barang berkurang hingga 20 hari. Demikian pula pemerintah berupaya mengoptimalkan jalur laut untuk transportasi logistik antarpulau dan menggerakkan kembali usaha pelayaran rakyat.

Namun, kita menyadari, membangun konektivitas tak semudah membalik telapak tangan. Komitmen dan koordinasi jadi penting karena sering kali kendalanya justru belum padunya kebijakan pusat-daerah atau egosektoral kementerian/lembaga.

Mahalnya biaya logistik menunjukkan, belasan paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah untuk menunjang iklim investasi nasional belum sepenuhnya menjawab semua keluhan terbesar investor/pelaku usaha. Pekerjaan rumah kita adalah mengurai simpul-simpul yang jadi sumber penyebab sulitnya biaya logistik ditekan, dan mempercepat konektivitas nasional lewat pengembangan sistem logistik yang efisien dan efektif, yang terhubung dengan sistem jaringan logistik dan pembangunan sistem informasi logistik nasional yang andal.

Kompas, 27 Juli 2018