KOMPAS/WISNU WIDIANTORO (

Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya Prabowo Subianto (kanan) menyempatkan diri untuk berkuda bersama disela-sela pertemuan mereka di Padepokan Garuda Yaksa Bojong Koneng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (31/10/2016). Selain sebagai bentuk silaturahmi, pertemuan itu juga untuk mendiskusikan berbagai permasalahan di Indonesia. 

Usia republik ini sudah mendekati  tiga perempat abad dengan tujuh presiden, tetapi sebagian besar rakyat masih hidup miskin. Tak seorang pun presiden, sebagai kepala negara, berhasil membawa rakyatnya hidup dalam kecukupan dan keadilan. Seorang guru Italia, tahun 1960-an, dapat berlibur ke Bali, sedangkan guru di Indonesia tidak setahun sekali membawa anak-anaknya ke kebun binatang di kotanya.

Menjadi presiden di Indonesia punya tugas dan kewajiban yang berat untuk membawa bangsanya hidup setara, bahkan dengan tetangganya di Asia Tenggara. Sejak reformasi gelombang tenaga kerja Indonesia (TKI) sebagai buruh kasar terus mengalir ke negara tetangga, mereka tidak gentar dengan peristiwa-peristiwa penganiayaan, penindasan, penipuan, bahkan hukuman mati, untuk sekadar dapat membeli rumah atau menyekolahkan anak-anaknya. Dan, para pemimpin kita tidak pernah malu atas nasib rakyat kecil yang menjadi tanggung jawab kepemimpinannya.

Mereka yang ingin jadi kepala negara seharusnya memikirkan kenyataan mikro yang miskin ini, bukan hanya masalah-masalah makro yang lebih menguntungkan kalangan atas. Masalah-masalah makro dengan nilai triliunan rupiah atau dollar yang dapat diatasi dilanjutkan dengan pemikiran bagaimana hubungan dengan masalah mikro sebagian rakyat miskin, rakyat terbawah. Itulah yang akan dirasakan rakyat kecil atas nikmat kemerdekaan yang hampir satu abad ini.

Negara seluas Amerika Serikat dengan jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia ini memerlukan pemimpin yang kuat kepribadiannya, integritas, dan kejujuran serta keikhlasannya dalam mengabdi kepada rakyatnya. Kita butuh orang-orang besar untuk memimpin bangsa yang besar ini.

Pada tahun 1889, sastrawan Inggris kelahiran India, Rudyard Kipling (1865-1937), menulis sebuah cerita panjang berjudul The Man Who Would Be King, yang rupanya diilhami oleh kenyataan sejarah James Brook, orang Inggris juga, yang menjadi Raja Serawak di Kalimantan. Dalam cerita yang ditulis oleh pengarangnya sewaktu berusia 24 tahun itu, dua petualang Inggris—dalam dinas pemerintahan kolonial di India—begitu yakin akan dapat jadi raja di sebuah masyarakat "primitif" di daerah pegunungan bersalju di bagian utara India dengan mengimani "The White Man's Burden". Dan, kenyataannya petualang ini berhasil menjadi raja di kalangan masyarakat terpencil Kafiristan, bahkan dianggap sebagai dewa lantaran "keajaiban" sains dan teknologi Eropa-nya.

Pemimpin petualang

Mengapa petualang dapat menjadi raja di sebuah wilayah terpencil yang mereka nilai primitif itu? Dua petualang ini oleh masyarakat kolonial Inggris disebut sebagai "gila", alih-alih dapat menjadi raja di masyarakatnya. Cerita khayalan murni ini menunjukkan bahwa kualitas pemimpin juga ditentukan oleh mereka yang dipimpin. Orang-orang primitif percaya akan kepemimpinan tingkat primitif pula. Kualitas seorang pemimpin negara maju ada kemungkinan menjadi pemimpin di sebuah bangsa yang belum semaju bangsa asalnya. Sebaliknya, seorang pemimpin atau raja dari masyarakat kurang maju seperti ditunjukkan oleh cerita Kipling ini akan tidak diakui bobot kepemimpinannya di negara maju.

Dalam buku ensiklopedia Jawa, Serat Centhini (1814), dikisahkan Sunan Giri mau mendamaikan dua raja yang saling bermusuhan, yakni Senopati di Mataram yang pedalaman dan Pangeran Surabaya yang maritim. Sunan Giri mengajukan tawaran kepada dua raja itu untuk memilih "wadah" dan "isi". Ternyata Senopati memilih wadah alias memilih teritori atau bumi tempat tinggal ini. Mau tak mau Pangeran Surabaya menerima  isi, yaitu manusia-manusianya.

Sejarah kemudian membuktikan bahwa Senopati yang menguasai wilayah harus berjuang keras untuk menaklukkan Surabaya. Kisah kitab Serat Centhini yang cenderung mitologis ini menunjukkan bahwa manusia atau sumber daya manusia jadi faktor penting hidupnya sebuah negara. Surabaya mungkin mirip dengan negara Singapura modern, yang meski wilayahnya sangat kecil memiliki sumber daya manusia berkualitas sehingga diperhitungkan kehadirannya di dunia internasional. Orang-orang Singapura tentu memiliki ukuran sendiri dalam memilih pemimpin mereka. Tidak mungkin petualang semacam "orang yang ingin jadi raja" dalam cerita Kipling muncul di Singapura.

Memilih pemimpin dalam negara demokrasi mengandalkan jumlah suara seluruh rakyat. Satu orang satu suara. Suara seorang intelektual sama nilainya dengan seorang begal motor. Berapa jumlah intelektual atau kaum terdidik yang sedikit banyak mengikuti perkembangan politik negaranya? Kalau jumlah rakyat terdidik cukup tinggi di sebuah negara, tak mungkin rakyat salah memilih rajanya seperti fiksi Kipling di atas. Akan tetapi, kalau jumlah rakyat kurang terdidik memadai, seperti dalam cerita Kipling, yang terjadi adalah salah pilih pemimpin yang petualang.

Melanjutkan cerita Kipling di atas, akhirnya sang raja dihukum mati oleh rakyat Kafiristan dengan diterjunkan ke dalam jurang pegunungan yang sangat dalam. Namun, si petualang tak menyesali hukuman ini karena kebanggaannya berhasil menjadi raja seperti yang dibayangkan dalam teorinya. Si raja mati dengan gagah berani: sebagai raja yang dianggap dewa oleh penduduk setempat.

Daniel Devout, nama petualang itu, melanggar janjinya sendiri untuk tidak mengawini perempuan setempat. Karena yakin akan kekuasaannya yang absolut, ia nekat memilih istri perempuan setempat. Namun, perempuan ini menolak diperistri dewa dan menggigitnya. Rakyat pun marah karena rajanya yang dewa itu ternyata manusia biasa, bahkan penipu, yaitu berdarah oleh gigitan perempuan.