KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)

Buruh melakukan proses pembuatan bulu mata di pabrik PT Bintang Mas Triyasa, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Rabu (6/5/2014).

Iuran Hari Tua Buruh

Dari 48 juta pekerja/buruh pada tahun 2017, yang sudah memiliki jaminan hari tua dan pensiun bulanan pada BPJS Ketenagakerjaan 14 juta orang. Artinya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015, janda peserta itu sejak 2017 berhak atas pensiun bulanan minimum Rp 320.450 dan tertinggi Rp 3,8 juta sebulan, yang bisa diperolehnya selama 15 tahun kemudian sejak peserta meninggal.

Di samping pensiun bulanan, mereka juga berhak atas lumsum hari tua, manfaat jaminan kematian saat pekerja/buruh meninggal. Apabila di antara peserta tersebut tetap aktif sampai usia pensiun sesudah 2033, peserta memperoleh pensiun bulanan yang sedikitnya bisa diperoleh sampai dengan tahun 2045: Indonesia Emas.

Untuk memastikan hak pekerja/buruh dapat dipenuhi BPJS Ketenagakerjaan, melalui surat ini saya mohon kepada Presiden Joko Widodo menetapkan iuran jaminan pensiun menjadi 5 persen upah. Namun, karena kita harus juga mendukung dunia usaha dengan tak menambah labor cost akibat kenaikan iuran, perlu alternatif lain.

Alternatif itu, Presiden menurunkan iuran jaminan hari tua buruh menjadi 1 persen upah dan perusahaan menjadi 2,7 persen upah sehingga penambahan iuran program pensiun bulanan tidak menambah labor cost dan bahkan menurunkan beban iuran pekerja/buruh.

Untuk akurasi restrukturisasi iuran tersebut, tentu kajian harus dilakukan oleh DJSN bersama Kemnaker dan BPJS Ketenagakerjaan. Jika Presiden tidak menaikkan iuran program jaminan pensiun, hal itu akan berakibat pada beban APBN mulai 2028.

Odang Muchtar
Praktisi/Pengamat Jaminan Sosial dan Asuransi Jiwa

Koperasi Kita

Tulisan Firdaus Putra, "Mengukur Capaian Koperasi", di Kompas, 12 Juli 2018, patut dihargai karena kritis menyorot salah satu topik diskursus tentang koperasi: pengukuran kinerja koperasi.

Pengukuran dengan PDB agaknya membayangkan koperasi sebagai perusahaan besar seperti di negara maju. Pencapaian 4,48 persen dari PDB adalah angka cukup besar mengingat jumlah koperasi yang bergerak di sektor riil sangat sedikit, hanya 497 dari 209.448 koperasi (Kompas, 3/11/2016).

Bagaimana menghitung sumbangan terhadap PDB dari 110.000 koperasi simpan pinjam mengingat peran sektor keuangan adalah melalui simpanan dan investasi.

PEARLS adalah perangkat pengukur tingkat kesehatan koperasi kredit yang dipakai di seluruh dunia. PEARLS terdiri dari kelompok P, E, A, R, L, dan S yang keseluruhannya 41 unsur (rasio/persen) yang harus dibandingkan dengan standar tiap unsur. Kriteria pengukur tingkat kesehatan koperasi simpan pinjam Indonesia tak menggunakan PEARLS, tetapi CAMEL (SK Menkop Nomor 194/1998) yang juga digunakan perbankan meski tidak diterapkan secara konsisten.

Pengukuran tingkat kesehatan dilakukan dengan asumsi bahwa semakin baik tingkat kesehatan koperasi akan semakin besar pencapaian kinerjanya, diukur dengan PDB atau ukuran apa pun. Jelas, PEARLS atau CAMEL tak bisa menggantikan PDB sebagai pengukur pencapaian hasil kerja koperasi.

Rasio promosi ekonomi anggota (PEA) seperti yang dicontohkan Firdaus berupa harga barang lebih murah lebih tepat dipakai sebagai proksi mengukur manfaat (dampak) koperasi konsumsi. Sebelum lahirnya pengukuran dengan PDB, banyak program berusaha menampilkan manfaatnya dengan melakukan studi dampak, misalnya dampak kredit terhadap kenaikan pendapatan atau peningkatan produksi.

Temuan tentang dampak bisa diragukan validitasnya jika hanya berdasarkan ingatan responden tentang keadaan "sebelum" dan "sesudah" menerima kredit, tanpa dilakukan studi awal atau menggunakan kelompok pembanding.

Dengan istilah sekarang, baik studi dampak maupun pangsa PDB lebih merupakan "pencitraan".

SUMANTORO MARTOWIJOYO
Jalan Daksa, Kebayoran Baru,