Sejak 2015, awal masa kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi- JK), tidak sedikit para pejabat pemerintah, para ahli, dan pegiat masyarakat sipil mengusahakan pemenuhan kebutuhan lokal dari perorangan dan kelompok penduduk untuk memperoleh legalitas status kepemilikan dan keamanan akses atas tanah yang mereka manfaatkan.
Akibat ketiadaan legalitas, status kepemilikan dan akses legal ditambah akumulasi persoalan masa lalu, tata pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatannya yang telah berjalan selama ini telah menghadirkan ketidakadilan sosial. Hal itu menyebabkan terjadinya konflik ataupun tidak terlindunginya masyarakat adat dan lokal, selain menurunnya fungsi-fungsi lingkungan hidup.
Padahal, pemenuhan kebutuhan perorangan dan kelompok penduduk terhadap status pemilikan dan akses legal sangat penting untuk keberlanjutan ruang hidup, khususnya menyangkut tempat tinggal, layanan alam, hingga untuk budi daya pertanian, perladangan, peternakan, dan perikanan untuk produksi makanan, ataupun perdagangan hasil bumi.
Kebutuhan ini kian lama kian membesar, menguat, dan
tampil dalam bentuk tuntutan-tuntutan dan agenda partisipasi langsung mereka dalam proses-proses kebijakan ataupun dalam pelaksanaan program-program nasional. Contohnya, perhutanan sosial dengan target 12,7 juta hektar, legalisasi dan redistribusi tanah obyek reforma agraria (TORA) dengan target 9 juta hektar.
Artikel ini untuk menunjukkan perjalanan dan hasil-hasil dari usaha-usaha mewujudkan "kepastian dan keadilan tenurial" (lahan) yang dikerjakan oleh organisasi masyarakat sipil Indonesia, bekerja sama dengan pejabat kementerian/lembaga pemerintah yang responsif. Pengalaman Indonesia ini akan jadi fokus yang diperhatikan dan dipelajari secara internasional dalam Global Land Forum, suatu acara tertinggi dari International Land Coalition (ILC) di Gedung Asia-Afrika, Bandung, Jawa Barat, 24-27 September 2018.
Situasi nasional
Tujuh tahun lalu, Konferensi Tenurial 2011 di Lombok telah melahirkan naskah "Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial". Ia memandu reformasi kebijakan dan praktik kelembagaan dari pemerintah menata kawasan hutan, perluasan wilayah kelola rakyat, dan penyelesaian konflik-konflik agraria hingga kini. Sebagai lanjutannya, pada 2017 Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Tenurial, Kantor Staf Presiden (KSP), dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelenggarakan Konferensi Tenurial 2017. Sebuah forum bersama untuk melihat kembali dan menilai hasil dan proses "mewujudkan hak-hak rakyat" melalui kerja-kerja reformasi penguasaan tanah dan pengelolaan hutan di Indonesia.
Konferensi Tenurial 2017 itu telah memberikan gambaran yang padat dan ringkas mengenai situasi yang kita dihadapi saat ini. Gambaran tersebut, antara lain, tanah dan sumber daya alam lainnya di satu sisi jumlahnya terbatas, di sisi lain sangat terkait dengan ruang hidup dan hak asasi manusia bagi seluruh masyarakat yang jumlahnya terus meningkat. Selain itu, masih
terdapat gap antara kebijakan berupa arahan dan komitmen di tingkat nasional dengan pelaksanaan kebijakan itu di tingkat praksis, antara lain berupa lambatnya respons pelaksanaan kebijakan oleh pemerintah pusat dan daerah itu sendiri, respons swasta ataupun pengelola hutan/lahan di lapangan yang masih terbatas.
Penyelesaian gap itu memerlukan komitmen politik dan kompetensi profesional seluruh perangkat kementerian dan lembaga pemerintah, hingga mewujud berupa langkah-langkah yang konkret di lapangan dan manjur karena memperhatikan kondisi- kondisi yang sangat kontekstual-spesifik yang memerlukan informasi akurat dan detail.
Upaya percepatan penyelesaian masalah tenurial tidak terlepas dari upaya perbaikan sistem perizinan pemanfaatan sumber daya alam ataupun penetapan alokasi ruang. Juga pencegahan dan pengendalian korupsi, jaringan kekuasaan yang menghambat perbaikan, peningkatan partisipasi ataupun keterbukaan informasi bagi publik serta kelembagaan penyelesaian konflik yang menyeluruh. Tak kalah penting, perubahan konfigurasi hubungan-hubungan sosial melalui perkembangan teknologi informasi dan media sosial perlu didayagunakan untuk mewujudkan tata pengelolaan tanah/hutan dan sumber daya alam lainnya secara baik.
Kerangka reformasi
Yang terpenting untuk jadi perhatian dan pedoman bersama dalam mengusahakan kepastian dan keadilan tenurial adalah pelaksanaan penyelesaian masalah tenurial harus dilandasi etika dan empati terhadap subjek utama, yaitu masyarakat, yang selama ini menghadapi persoalan yang bersifat struktural dan kronis.
Konferensi Tenurial 2017 itu merekomendasikan reformasi kebijakan dan peraturan perundangan, khususnya mencegah dan menyelesaikan terjadinya konflik tenurial secara komprehensif di semua sektor dan daerah. Mengingat tingginya urgensi dan besarnya tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaannya, reforma agraria dan perhutanan sosial (RAPS) itu perlu diposisikan setara dengan proyek strategis nasional yang memungkinkan dilakukan pengecualian (diskresi) untuk percepatan pelaksanaannya.
Adapun komponen kebijakan dan/atau regulasi yang terkait adalah membuka jalan lebih luas (selain peraturan daerah/perda) bagi penetapan hutan adat/masyarakat hukum adat (MHA) serta wilayah adat yang berada di luar kawasan hutan, menetapkan perhatian pada aspek HAM dan prinsip keadilan jender bagi pelaksanaan kebijakan RAPS dan usaha yang berbasis tanah/hutan. Juga mendorong sektor/ pemda dan swasta untuk mewujudkan pengembangan ekonomi masyarakat, sekaligus mendorong pemda merespons secara aktif dalam penyelesaian beragam konflik agraria yang akut.
Selain itu, mendorong peluang dibangunnya tata kelola inovatif pelaksanaan RAPS dengan pendekatan-pendekatan baru dalam pengelolaan kawasan konservasi, lindung, produksi, dan dikembangkan dalam multi-sektoral lainnya (non-kehutanan): mencakup perkebunan, pesisir, kelautan, pulau-pulau kecil dan wilayah agraria perkotaan. Penting pula disuburkan inkubasi dan inovasi kelembagaan untuk penguatan dan percepatan RAPS serta untuk penyelesaian konflik penguasaan dan pemanfaatan hutan/lahan. Bentuk kelembagaan saat ini, sebagai proses awal untuk menentukan pedoman- pedoman pelaksanaan RAPS, perlu penguatan kelembagaan yang mempunyai posisi kuat dalam mengatasi besarnya tantangan yang dihadapi.
Tengah dinantikan tanggapan pemerintah atas kritik dari sejumlah organisasi masyarakat sipil terhadap Perpres No 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, yang meminta agar solusi resettlement berupa pemindahan masyarakat adat dan komunitas lokal dari kawasan hutan konservasi agar ditinjau kembali. Sebab, selain memakan biaya yang sangat besar, bila hal ini dijalankan secara paksa akan menimbulkan perlawanan atas penggusuran berupa protes sosial dan konflik yang berkepanjangan.
Rekomendasi Konferensi Tenure 2017 masih tetap relevan, yakni pembuatan dan penetapan pedoman-pedoman yang dilakukan oleh Tim Percepatan dan Tim Pelaksana Penyelesaian
Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan—yang dikoordinasi oleh Menko Perekonomian—agar memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat, sejalan dengan kondisi di lapangan, serta terus-menerus memonitor serta evaluasi kebijakan dan kelembagaan ini berdasarkan kemanjuran dari langkah-langkah pelaksanaannya memecahkan masalah tenurial yang struktural dan kronis. Pemerintah perlu segera melakukan penyesuaian prosedur jika pelaksanaan terhambat atau tidak efektif dijalankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar