Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga kebijakan 25 bps (basis poin) menjadi 5,5 persen.

Alasannya adalah karena modal keluar dari pasar modal dan obligasi semakin besar akibat pengaruh dari krisis mata uang lira di Turki, yang menyebabkan rupiah semakin terdepresiasi.

Rupiah terdepresiasi cukup dalam, sekitar 7,6%. Kenaikan suku bunga ini di satu sisi menstabilkan nilai rupiah, tetapi di sisi lain menekan pertumbuhan ekonomi. Sektor keuangan Indonesia, terutama pasar modal dan obligasi,  begitu rentan terhadap gejolak eksternal yang berimplikasi pada depresiasi nilai tukar rupiah yang dalam.

Pemerintah pun membuat asumsi makro yang cukup realistis dengan pertumbuhan 5,3% dan nilai tukar rupiah sebesar 14.400/dollar AS di 2019.  Dengan suku bunga yang masih mungkin untuk naik lagi, tergantung kondisi eksternal, dan implikasinya pada sektor riil, dapat dimengerti mengapa asumsi ekonomi dibuat seperti itu.

Penjelasan standar rentannya pasar keuangan Indonesia adalah karena: neraca berjalan negatif sekitar 3% produk domestik bruto (PDB); obligasi yang dimiliki asing cukup tinggi, sekitar 40%; begitu juga pasar modal di mana aktivitasnya didominasi investor asing. Karena itu, begitu terjadi gejolak eksternal, dana cepat mengalir ke luar. Tambahan lagi depresiasi rupiah juga terkait erat dengan jumlah cadangan devisa. Semakin rendah cadangan devisa, semakin lemah nilai rupiah.  Cadangan devisa turun tajam dari awal tahun sebesar 130 miliar dollar AS menjadi 118 miliar dollar AS sekarang ini.

Upaya mengatasinya sebenarnya sudah banyak diketahui, baik oleh pemerintah maupun para ekonom pada umumnya, yaitu meningkatkan ekspor, menurunkan impor, menarik PMA, memperdalam sektor keuangan, dan mengembangkan sumber penerimaan devisa lain, terutama pariwisata. Pemerintah menjadikan hal ini sebagai kebijakan.

Perlunya langkah-langkah tersebut sebenarnya sudah banyak diketahui, bahkan sebelum rupiah terdepresiasi demikian dalam, te tapi tak  dijalankan dengan baik karena prioritas atau kepentingan lain lebih kuat daripada menjalankan langkah-langkah tersebut.

Langkah antisipasi

Sebenarnya BI sudah mengantisipasi akan terjadinya tekanan eksternal dari kenaikan suku bunga di AS dan perang dagang yang berakibat pada tekanan ekspor dan nilai rupiah sejak tahun lalu. Namun, BI waktu itu tetap mempertahankan suku bunga pada 4,25% karena pemerintah menghendaki penurunan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan kredit. Tambahan lagi gubernur BI saat itu mendekati masa akhir jabatan dan mengharapkan terpilih kembali. Baru setelah rupiah menembus angka Rp 14.000 per dollar AS, BI menaikkan suku bunga kebijakan  25 bps secara berturut-turut.  Dan, ketika rupiah terdepresiasi lebih besar lagi, suku bunga kebijakan dinaikkan lebih tinggi 50 bps dan kemudian 25 bps.

Apakah suku bunga kebijakan akan dinaikkan lagi atau tidak?  Di lihat dari suku bunga riil, nominal dikurangi inflasi, sebenarnya  lebih tinggi di Indonesia daripada di Filipina, tetapi depresiasi rupiah lebih besar daripada peso Filipina. Ini menunjukkan tingkat risiko yang lebih besar di Indonesia. Hal ini juga yang menjelaskan mengapa investor portofolio begitu cepat mengalihkan dananya ke luar begitu gejolak eksternal terjadi.

Begitu pula Kementerian Keuangan yang juga memahami tekanan eksternal akan terjadi, semestinya mengeluarkan obligasi berdenominasi dollar untuk memperbesar cadangan devisa, seperti dilakukan pada 2009. Namun, ini tidak dilakukan karena sensitivitas terhadap kritik  utang luar negeri cukup kuat.

Dalam defisit neraca perdagangan,  utamanya adalah neraca migas, semestinya pada saat harga minyak cukup tinggi Indonesia diuntungkan. Akan tetapi,  produksi minyak justru menurun dan praktis tidak ada eksplorasi baru yang berarti, impor migas bahkan semakin besar. Blok minyak yang diambil alih oleh Pertamina produksinya terus turun karena sumur tua butuh investasi cukup besar hanya untuk mempertahankan produksi. Pertamina tidak punya dana yang memadai untuk investasi. Eksplorasi baru tidak menarik investor dengan sistem baru, gross split, dan kurangnya insentif.

Jika saja tindakan mengambil alih blok minyak yang habis masa kontraknya  dilakukan dengan mempertimbangkan rasionalitas ekonomi, investasi dan produksi migas masih bisa meningkat dan lebih diuntungkan dengan kenaikan harga minyak. Apalagi jika insentif untuk investasi yang menarik diberikan, defisit migas  akan berkurang, bahkan bisa berubah menjadi surplus.

Sementara peningkatan ekspor tidaklah mudah pada saat perang dagang cenderung menguat dan  Pemerintah AS secara agresif mengenakan tarif pada produk yang diimpor. Andalan ekspor masih berupa CPO dan batubara. Menghapuskan batasan harga batubara mendorong ekspor, sekalipun PLN harus membayar harga batubara yang lebih tinggi. Ekspor pakaian dan alas kaki masih dapat diharapkan. Ekspor elektronika dan kendaraan bermotor dapat diupayakan lebih besar sumbangannya dalam pola rantai pasokan global. Upaya untuk meningkatkan daya saing manufaktur yang berorientasi ekspor membutuhkan waktu. Tambahan lagi insentif dibutuhkan bagi industri berorientasi ekspor.

Mengurangi impor dengan mengenakan tarif, terutama untuk barang konsumsi,  adalah   cara mudah untuk mengurangi defisit neraca perdagangan. Tentu saja impor permesinan dan bahan baku untuk industri, apalagi yang berorientasi ekspor, semestinya  tidak dilakukan.

Tingkatkan investasi

Sebenarnya meningkatkan investasi adalah cara yang lebih baik untuk menyeimbangkan neraca pembayaran dan mendorong pertumbuhan. Investasi langsung juga lebih stabil daripada portofolio di pasar modal dan obligasi yang mudah masuk dan keluar. Apalagi jika investasinya berorientasi ekspor. Insentif  untuk menarik investasi sudah diberikan, tetapi belum optimal untuk menarik investasi lebih besar. Begitu pula kemudahan untuk investasi belum terlaksana dengan baik.

Meningkatkan devisa dari pariwisata sebenarnya relatif mudah untuk dilakukan. Target untuk mendatangkan wisatawan mancanegara 20 juta dengan pemasukan devisa 20 miliar dollar AS adalah dalam jangkauan untuk dicapai. Tentu saja infrastruktur dan kemudahan perlu diberikan.

Kebijakan dan langkah-langkah yang sebenarnya sudah diketahui dan akan dijalankan itu menghadapi kendala tambahan dengan akan dilaksanakannya pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Cukup banyak menteri yang menjadi caleg atau sebagai tim sukses pilpres. Bagaimanapun, ini berpengaruh terhadap efektivitas kerja pemerintah. Dengan demikian, tampaknya asumsi makro dalam RAPBN 2019 memang  cukup realistis dengan kemampuan yang lebih baik dalam mengendalikan pengaruh dari gejolak eksternal.