KOMPAS/ ANITA YOSSIHARA

Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla tiba di Lobi Ruang Rapat Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/8/2018) pagi. Keduanya datang untuk menghadiri Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.

Negara Indonesia adalah negara hukum. Demikian dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Hukum tertinggi kita adalah UUD 1945 yang telah diperbarui melalui empat tahap amendemen. Namun, walau telah mengalami perubahan, praktik dan kebiasaan konstitusi yang lama masih sering diteruskan (Hans Kelsen, 1946).

Pada 16 Agustus 2018, kembali MPR menggelar sidang tahunan. Pada kesempatan itu, ketua MPR menyampaikan pidato yang, antara lain, berisikan kritik kepada pemerintah.

Tak memiliki landasan konstitusional

Penyelenggaraan sidang tahunan MPR sekarang ini tidak memiliki landasan konstitusional. Sidang itu diadakan berdasarkan Peraturan MPR Nomor 1/2014 tentang Tata Tertib MPR yang berlaku internal. Pasal 66 Ayat (4) tata tertib itu menyatakan bahwa MPR dapat menyelenggarakan sidang tahunan MPR untuk memfasilitasi lembaga-lembaga negara menyampaikan laporan kinerja. Sebelumnya, melalui Pasal 4 tata tertib itu, MPR menyatakan diri sebagai lembaga negara dengan kewenangan tertinggi.

Sementara UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), yang telah diubah dengan UU No 42/2014 dan UU No 2/2018, tidak mengatur hal-hal tersebut.

Berbeda dengan MPR sebelum perubahan keempat UUD 1945, MPR sekarang adalah lembaga negara biasa dengan kewenangan dan tugas tertentu dan terbatas. MPR setara lembaga negara lain dengan tugas dan kewenangan masing-masing sebagaimana diatur oleh UUD 1945.

Dahulu, UUD 1945 yang lama menyatakan bahwa MPR RI adalah pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya. Penjelasan UUD 1945 itu menyatakan MPR adalah lembaga negara pemegang kekuasaan tertinggi dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dan merupakan mandataris MPR. Sebagai mandataris, ia bertunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Dalam konstruksi itu, MPR menggelar sidang tahunan untuk mendengarkan laporan kerja pertanggungjawaban presiden.

Pada masa itu MPR dapat melakukan apa saja yang diinginkannya sehingga MPR pernah menetapkan presiden seumur hidup (Sukarno), memilih presiden yang berkuasa berturut-turut tujuh periode (Soeharto), dan memberhentikan presiden dalam masa jabatannya dengan alasan politis (BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid).

Sekarang, UUD 1945 dengan jelas dan tegas memberi dan membatasi kewenangan lembaga- lembaga negara. Kewenangan MPR ditentukan dan dibatasi, yaitu untuk mengubah dan menetapkan UUD menuruti tata cara yang diatur dalam Pasal 3 Ayat (1) dan Pasal 37 UUD 1945. Pasal 3 Ayat (2) menugaskan MPR untuk melantik pasangan presiden-wakil presiden yang terpilih dalam pemilihan presiden langsung. Pasal 3 Ayat (3) menegaskan bahwa MPR berwenang memberhentikan presiden-wakil presiden dalam masa jabatannya dengan mengikuti ketentuan Pasal 7A dan 7B.

Selain itu, Pasal 2 (1) UUD 1945 menyatakan bahwa MPR adalah lembaga negara yang anggotanya terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, yang masing-masing dipilih langsung oleh rakyat.

Tegakkan konstitusi

Mempertimbangkan ketentuan-ketentuan konstitusional di atas, seyogianya sidang tahunan MPR itu tidak perlu karena tidak memiliki landasan konstitusional. Marilah kita membiasakan diri untuk berkehidupan kenegaraan berdasarkan konstitusi.

UUD 1945 adalah konstitusi normatif dan preskriptif, bukan sekadar pajangan, wajib dijadikan rujukan dan aturan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Karl Loewenstein, 1891- 1973). Semua pihak, presiden dan lembaga-lembaga negara lainnya, serta masyarakat luas bertanggung jawab untuk menegakkan konstitusi UUD 1945.

Dalam kaitan itu, pengorganisasian dan perencanaan kegiatan MPR—begitu pula lembaga-lembaga negara lain—perlu disesuaikan dengan ketentuan UUD 1945. Hanya dengan begitu kiprah lembaga negara benar-benar mendukung pencapaian cita-cita bernegara dan alokasi sumber daya, termasuk alokasi anggaran, dapat tepat guna.

Jika diperlukan forum bagi presiden untuk menyapa rakyatnya, seperti pada peringatan Hari Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, dapat dilakukan seperti yang dulu dilakukan Presiden Sukarno. Beliau berpidato menyapa rakyat dari Istana Negara dan disiarkan ke seluruh Nusantara.

Presiden juga dapat berpidato di hadapan rapat gabungan DPR dan DPD, yang anggota-anggotanya dipilih langsung oleh rakyat.