Dalam tulisannya, "The New Nationalism in Indonesia" dalam Arianto A Patunru, et. al. (ed) 2018, Indonesia in The New Word: Globalisation, Nationalism and Sovereignty, Edward Aspinall membahas wacana nasionalisme kontemporer Indonesia.

Menurut Aspinall, hampir semua elite politik di Indonesia mempunyai kecenderungan nasionalis.  Dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014, dua petarung utama, Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi)—yang akan bertarung ulang (rematch) pada Pilpres 2019—sama-sama berwatak nasionalis.

Kedua kandidat presiden sama-sama mengidentikkan diri dengan presiden RI pertama, Soekarno. Prabowo mengambil gaya nasionalisme penuh semangat mengutuk dominasi asing. Bahkan, berpakaian dan berpidato meniru gaya Soekarno. Sementara Jokowi juga mengambil nasionalisme Soekarno. Dengan konsepsi Trisakti Soekarno, Jokowi hendak meneguhkan posisi bangsanya untuk mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkarakter secara budaya.

Nasionalisme pascareformasi

Nasionalisme yang berkembang di kalangan elite politik dan Pemerintah Indonesia mempunyai beberapa kecenderungan sebagai warisan sejarah dari kekuasaan politik dominan. Referendum yang melahirkan kemerdekaan Timor-Leste membuat semakin menguatnya "nasionalisme teritorial" yang menganggap wilayah Indonesia terancam isu separatis dan pengaruh asing.

Nasionalisme teritorial ini mempunyai kecenderungan melihat asing sebagai ancaman. Fenomena ini tampak pada serangan terhadap Presiden Jokowi terkait dengan investasi dari China yang dianggap sebagai ancaman kedaulatan dalam bentuk proxy-war. Lalu, muncul dalam ujaran kebencian rasial dengan memelesetkan kata "modal asing" menjadi "modal aseng".

Menurut Aspinall, akibat nasionalisme yang menganggap asing sebagai ancaman telah membentuk berbagai kebijakan pemerintah untuk menghadapi bahaya asing semacam itu.

Kebijakan itu dalam bentuk pengerahan kembali militer ke daerah-daerah yang dianggap rentan, seperti pulau-pulau terpencil dan bagian-bagian perbatasan maritim dengan negara tetangga.

Jokowi justru ingin mengubah paradigma ancaman asing dan "pendekatan keamanan" di pulau terpencil dan perbatasan. Menurut dia, memajukan kesejahteraan di pulau-pulau terluar adalah cara mengikat "keindonesiaan" wilayah-wilayah terluar Indonesia. Dengan konsepsi Indonesia-sentris, Jokowi ingin membangun dan menyejahterakan Indonesia dari pinggiran. Wajar, jika wilayah seperti Papua sering dikunjunginya selama empat tahun Jokowi menjabat sebagai Presiden.

Kecenderungan kedua adalah munculnya nasionalisme ekonomi. Menurut Aspinall, kebijakan nasionalis yang dirancang untuk melindungi produsen atau pasar domestik terhadap persaingan asing memiliki sejarah panjang di Indonesia. Namun, pascareformasi, kebijakan ekonomi Indonesia diwarnai kuatnya dominasi neo-liberal sebagai akibat dari kesepakatan paket bantuan Dana Moneter Internasional untuk mengatasi krisis keuangan pada 1997-1998.

Kecenderungan nasionalisme ekonomi pada era Jokowi dapat ditarik pada konsepsi Trisakti Soekarno, yaitu "kemandirian ekonomi". Nasionalisme ekonomi Jokowi sangat kentara, misalnya dalam kebijakan perubahan pemegang saham PT Freeport Indonesia. Dengan perundingan yang alot, Jokowi seperti ingin mengabarkan pesan kepada modal asing yang menguasai aset strategis negara. Bahwa sekaranglah keberpihakan pada profit harus digeser pada kepentingan bangsa sesuai dengan mandat UUD 1945.

Gaya Jokowi dalam nasionalisme ekonomi tidaklah berapi-api, tetapi terukur. Hal ini untuk mengurangi dampak negatif atas investasi yang tetap dibutuhkan, seperti dalam proyek infrastruktur.

Oleh karena itu, nasionalisme ekonomi dijalankannya secara hati-hati sesuai dengan konstitusi dan hukum internasional. Cara-cara konfrontasi, seperti dalam kasus nasionalisasi perusahaan asing pada era Soekarno dahulu, dihindari.

Nasionalisme kesejahteraan

Fenomena Jokowi dengan konsepsi Indonesia-sentris dapat dibaca sebagai suatu tafsir baru dalam menjawab tantangan Indonesia pasca-otoritarianisme. Masyarakat tidak lagi cukup bisa diikat dengan nasionalisme teritorial dan nasionalisme imajiner belaka, tetapi dengan suatu nasionalisme yang mampu memenuhi hak-hak warga negara akan kebutuhan dasar sebagai manusia.

Dalam perspektif ini, "negara hadir" dapat dimaknai sebagai terjemahan nasionalisme dalam konsepsi Nawacita Jokowi. Landasan nasionalisme pada era Jokowi menggunakan cara moderat dan bertahap disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan. Jika direfleksikan, konsepsi Indonesia-sentris merupakan revitalisasi nilai-nilai Soekarnoisme yang menghubungkan nasionalisme dengan kesejahteraan.

Apa yang dilakukan oleh Jokowi dengan strategi pembangunan Indonesia-sentris dapat dianggap sebagai langkah awal merekonstruksi nasionalisme Indonesia. Mengambil nilai-nilai masa lalu dari Trisakti yang dibuat Soekarno, tetapi dijalankan dengan lebih pragmatis dan tidak konfrontatif.

Dengan begitu, Jokowi dapat dianggap sedang mencoba membangun paradigma baru nasionalisme. Dari kecenderungan nasionalisme teritorial sebagai warisan Orde Baru, ditransformasikan menjadi bentuk nasionalisme yang dapat dirasakan semua warga negara, terutama di daerah-daerah terpencil dan terluar. Suatu bentuk nasionalisme yang prokesejahteraan.