Beberapa pekan terakhir, salah satu subyek terpenting yang dibicarakan di ruang publik adalah menguatnya dollar AS terhadap berbagai mata uang dunia, termasuk rupiah.

Setiap pihak mengambil posisi sesuai keahlian atau profesi dan mencari sebab- musabab paling akurat mengapa dollar begitu perkasa. Sebagian besar mengeluh atau menyalahkan siapa saja yang bisa disalahkan.

Analisis ekonomi politik menyimpulkan, dollar yang pulang kandang adalah tanda membaiknya perekonomian AS. Gejala ini efek dari kebijakan pemerintahan AS di bawah Donald Trump yang menempuh jalan proteksionis dan menggunakan seluruh kekuatan untuk menyeimbangkan neraca perdagangan dengan negara-negara lain yang selama ini cenderung defisit—terutama terhadap China.

Jika dilihat sekilas, naiknya pendapatan domestik bruto AS dan menurunnya angka pengangguran di AS membuktikan kebijakan yang diambil Trump efektif untuk memulihkan ekonomi negerinya. Namun, kebijakan itu juga menimbulkan efek sebaliknya bagi negara-negara yang selama ini secara tradisional menikmati surplus perdagangan dengan negara Paman Sam, tak terkecuali Indonesia.

Keluhan sebagian pengusaha terkait melemahnya rupiah bisa dipahami karena sebagian besar proses bisnis mereka sangat bertumpu pada kestabilan mata uang rupiah terhadap dollar AS. Apalagi jika proses produksinya —mulai dari pengadaan bahan baku hingga alat-alat produksi— mengandalkan barang-barang atau jasa yang harus dibayar dalam dollar, sementara pendapatannya diterima dalam rupiah.

Yang kemudian mengalami dampak langsung akibat menguatnya dollar AS adalah masyarakat luas sebagai konsumen pengguna barang-barang dan jasa itu. Ini konsekuensi tak terhindarkan dalam ekosistem bisnis yang tengah bergejolak sekarang ini.

Cara pandang berbeda

Di sisi lain, menguatnya dollar AS terhadap rupiah jadi berkah bagi para pengusaha yang selama ini berorientasi ekspor. Sebagai entitas usaha yang mengelola pelabuhan di kawasan Indonesia timur, PT Pelabuhan Indonesia IV (Pelindo IV) merekam dengan baik bagaimana para pengusaha ini menikmati keuntungan berlipat-lipat justru pada saat harga dollar menguat. Mereka membeli barang dengan harga rupiah dan menjualnya dalam dollar.

Berdasarkan catatan Pelindo IV, setelah 2015, Pelabuhan Makassar bisa melayani direct call atau pengiriman barang secara langsung ke negara tujuan seperti Korea, China, dan Jepang, permintaan pengiriman kargo ekspor ke negara-negara itu mengalami peningkatan yang signifikan. Sejak diluncurkan, kenaikan kumulatif direct call dari tahun ke tahun mencapai lebih dari 200 persen. Jadi, kargo yang tadinya hanya berstatus barang kiriman antarpulau, setelah direct call tercatat sebagai barang ekspor.

Selama ini rata-rata pengiriman kargo barang yang dilayani Pelindo IV berkisar 500-600 ribu TEUs. Dari volume itu, jumlah kontainer yang berisi barang-barang ekspor rata-rata mencapai 3.000 kontainer per bulan. Nilai ekspor barang yang dilaporkan eksportir mencapai sekitar 50 juta dollar AS setiap bulannya. Apabila pembangunan Makassar New Port yang sudah dicanangkan Presiden Joko Widodo selesai pada akhir tahun ini atau awal 2019, pelayanan ekspor melalui pelabuhan di bawah Pelindo IV bisa ditingkatkan sepuluh kali lipat, karena telah terintegrasi dengan jalur jalan tol dan kelak juga dengan jalur kereta api.

Setelah dapat melayani pengiriman ekspor langsung lewat Pelabuhan Makassar, pelabuhan- pelabuhan pengumpul yang dikelola PT Pelindo IV juga mampu mengumpulkan kargo-kargo ekspor lebih banyak, yang meningkat secara signifikan. Beberapa pelabuhan, seperti Balikpapan, Bitung, dan Sorong, bahkan sudah dapat melayani direct call langsung ke negara tujuan.

Perubahan layanan ini tentu berdampak signifikan terhadap biaya kargo per kontainernya. Hal ini dimungkinkan karena jika selama ini barang-barang harus diekspor lewat pelabuhan di Surabaya atau Jakarta, dibutuhkan waktu bongkar muat lebih lama dan juga diperlukan waktu tempuh perjalanan lebih lama dari pelabuhan asal ke pelabuhan tujuan. Efeknya, biaya yang dibutuhkan pun lebih besar.

Sebelum direct call dapat dilakukan lewat Pelabuhan Makassar, biaya pengiriman barang dari kawasan timur Indonesia 200 dollar AS lebih mahal per kontainernya, ketimbang setelah adanya layanan direct call. Selain itu, waktu tempuhnya juga lebih lama. Pengiriman dari Pelabuhan Balikpapan ke Pelabuhan Shanghai, misalnya, sebelumnya harus memakan waktu 28 hari. Setelah direct call, layanan itu bisa dipersingkat menjadi sembilan hari.

 Kesempatan lebih besar

Bagi eksportir, pemangkasan waktu pelayaran dan penurunan biaya logistik yang signifikan akan memicu produktivitas yang lebih besar lagi. Apalagi, kawasan Indonesia timur memiliki hasil-hasil pertanian dan perikanan yang berkualitas tinggi dan berkapasitas besar sehingga kemampuan ekspornya pun dapat didorong lebih tinggi lagi.

Pelabuhan-pelabuhan pengumpul di kawasan Indonesia timur pun sepanjang tiga tahun terakhir ini juga menunjukkan peningkatan ekspor langsung yang signifikan untuk berbagai komoditas, seperti rumput laut, ikan segar, ikan beku, udang, ikan kayu, kayu hutan olahan, dan hasil-hasil perkebunan seperti cokelat dan kopi. Sulawesi Selatan juga salah satu penghasil marmer terbesar untuk tujuan ekspor. Komoditas pertanian lain yang sebelumnya nyaris tak pernah populer juga sudah diekspor, di antaranya kelapa dan tepung kelapa, arang kayu, terpentin, cangkang sawit, dan biji mete. Bahkan, lidi daun kelapa sawit.

Maka, ketika sebagian orang tengah terengah-engah mengikuti gejolak harga dollar AS yang tengah melonjak, terdapat sebagian lagi yang justru menikmati harga dollar yang tinggi tersebut dan memicu produktivitasnya menjadi lebih tinggi lagi.

Dalam kacamata yang lebih luas lagi, Pelindo IV sebagai tulang punggung utama logistik di kawasan timur Indonesia melihat, kenaikan harga dollar terhadap rupiah yang jelas-jelas disebabkan faktor-faktor eksternal, kini juga terus mendorong peningkatan ekspor barang-barang komoditas, olahan hasil hutan, dan hasil laut secara lebih luas.  Potensi yang tersedia di kawasan Indonesia timur ini masih sangat luas, sementara pasar tujuan juga masih terbuka lebar. Negara-negara tujuan tradisional seperti Jepang, China, dan Korea mungkin masih jadi primadona, tetapi kawasan lain seperti Timur Tengah tak kalah potensialnya.

Saat ini, sudah ada kurang lebih 70 negara yang jadi tujuan ekspor dari pelabuhan-pelabuhan di bawah pengoperasian Pelindo IV. Denmark, Arab Saudi, India, dan negara-negara Uni Eropa adalah beberapa negara tujuan ekspor para pengusaha di kawasan Indonesia timur selain tiga negara utama (China, Korea, dan Jepang).