RON

Sawitri Supardi Sadarjoen

 

Terus terang saya tidak setuju dengan anggapan publik yang menyatakan bahwa pada umumnya lelaki memiliki cara lebih baik daripada perempuan dalam mengungkap hal-hal tertentu. Tidak dapat dimungkiri bahwa lelaki masih kerap mendapat "keistimewaan" posisi dalam iklim publik.

Dalam kehidupan pribadi pun pada umumnya lelaki sering lebih memilih terdiam atau lelaki memilih bicara dengan nada tegas dan keras, terutama apabila mereka merasa tidak mampu menembus barikade sosial yang dihadapinya.

Banyak lelaki terperangkap harapan kultural yang menyatakan bahwa terdapat beberapa aspek penting yang perlu dipenuhi untuk menjadi lelaki sejati. Misalnya, lelaki harus dominan dalam memberikan perintah, padahal tuntutan tersebut tidak tertulis.

Bahkan, banyak lelaki akan bersikap keras dengan berbagai cara agar mereka didengar, terutama oleh tokoh kunci yang berada dalam lingkup kehidupannya. Padahal, cara tersebut sebenarnya justru membuat mereka berada dalam proses penurunan, bahkan kehancuran harga diri mereka sendiri.

Terjebak dalam stereotip

Mitos yang masih berlaku hingga saat ini adalah bahwa perempuan lebih membutuhkan lingkup sosial yang penuh dengan percakapan serta kebersamaan dibandingkan dengan lelaki. Sering kita mendapat peringatan tertentu sebagai berikut: "Perempuan mencari koneksi, sementara lelaki mencari kesendirian".

Pendapat tersebut mungkin memiliki kebenaran, tetapi psikologi "yin-yang" sebagai suatu kondisi yang berlawanan tidak dapat dipastikan terkait dengan kompleksitas pengalaman manusia, apalagi pada realitas yang menunjukkan aspek individual dari manusia.

Misalnya, dalam perkawinan, lelaki biasanya meninggalkan istri apabila pasangan perkawinan tersebut bercerai, apalagi jika sang perempuan berada dalam kesedihan yang amat sangat karena perceraian itu. Yang sering kita temui dalam ruang konsultasi perkawinan adalah sebagai berikut: Suami tidak pernah benar-benar mendengarkan dengan serius apa yang dikeluhkan istrinya, suami lebih memusatkan perhatian pada terciptanya jarak emosional antara dirinya dan istrinya atau justru terlalu bersikap empati terhadap keluhan istri karena dipengaruhi keluhan berlanjut tentang sikapnya yang membuat sakit hati istri.

Kondisi tersebut bisa berkembang ke arah negatif karena ternyata suami belum memberikan perhatian yang cukup besar terhadap keluhan istri tentang perilakunya sehingga omelan, kritik, dan kemarahan istri menjadi berlanjut. Hal ini justru membuat suami berpendapat sebagai berikut: "Waduh ternyata selama ini saya telah berbuat bodoh, ternyata membuat istri saya begitu sakit hati".

Di lain pihak, pada dasarnya pihak istri pun memiliki kontribusi terhadap berkembangnya omelan, kritik terhadap kesalahan pasangannya. Omelan berlanjut tersebut justru merupakan upaya istri untuk menunda perceraian. Si istri mungkin mengeluh dan mengeluh berlanjut tanpa berhenti, tetapi selanjutnya muncul sikap toleran terhadap sikap suami. Sementara istri tetap menyibukkan diri dengan pekerjaannya sendiri.

Pada saat relasi perkawinan tiba pada situasi yang sangat berisiko, istri tidak mampu lagi menoleransi sikap tuli atau menulikan diri dari sang suami, dengan memberikan ancaman bahwa ia akan meninggalkan perkawinan. Jika suami ternyata tidak berupaya untuk mengubah perilakunya, istri kemudian berkata, "Saya tidak bisa hidup dengan cara ini lagi", sedangkan omelannya terus berlanjut. Suara omelan tersebut tersusun dalam rangkaian rentang spiral yang menurun jatuh ke lantai. Kondisi tersebutlah yang berakibat pada suami akhirnya memutuskan "cerai".

Perempuan biasanya sering mengungkap rasa sakit hati dalam perkawinannya. Pada saat itulah, sebagai istri, ia merasa tidak mampu memengaruhi dan mengubah perilaku suaminya. Biasanya istri akan mendatangi konselor perkawinan yang mengatakan, "Kita tidak bisa mengubah orang lain walaupun orang lain itu adalah suaminya sendiri".

Ungkapan tersebut biasanya diakhiri dengan: "Saya tidak bisa berbuat apa pun tentang hal itu". Hal ini mengarahkan peluang semakin hancurnya keserasian relasi suami-istri. Dengan demikian, lingkaran spiral dinamika interelasi suami-istri mengarah ke bawah dan menuju titik kehancuran.

Hal lain yang sering terungkap adalah pendapat dan keyakinan bahwa "Laki-laki berasal dari Mars" membuat para perempuan kehilangan suara, cenderung memaafkan segala perilaku pasangannya dan memberikan toleransi terhadap pasangan yang menuntut investasi emosional sangat mahal bagi dirinya sendiri. Kondisi seperti itu ternyata justru membuat lelaki menolak tantangan untuk mendapatkan suara otentiknya sendiri dan juga menolak bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihannya.