Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 21 Agustus 2018

Ihwal Hari Pers Nasional‎//Jaka Mentom (Surat Pembaca Kompas)

‎Ihwal Hari Pers Nasionl

Tulisan Tribuana Said, "Mengapa Hari Pers Nasional 9 Februari" (Kompas, 28/7/2018), membuka kembali ingatan tentang sejarah, khususnya latar tentang Hari Pers Nasional. Bagi mereka yang mengaku wartawan (muda), ini merupakan cakrawala pengetahuan sejarah.

Tak usah saya rincikan. Bacalah tulisan Tribuana Said itu. Bukankah syarat utama menjadi wartawan profesional menguasai sejarah? Tulisan para wartawan koran mainstream tentang peristiwa hangat selalu disertai dokumentasi fakta sejarah.

Tak usah jauh-jauh, dalam kurun Asian Games Jakarta-Palembang 2018, tulisan tentang partisipasi Indonesia di ajang pesta olahraga Asia itu selalu dilengkapi data sejarah. Tulisan demikian jadi par exellence. Yang beginicita-cita wartawan profesional di mana pun.

Maka, kalau ada organisasi ataupun perseorangan yang masih mempertanyakan mengapa Hari Pers Nasional 9 Februari, ini hanya akan berdebat hal tak bermutu dan menghabiskan waktu. Sekarang banyak soal media yang perlu pemikiran cerdas, di samping merosotnya mutu wartawan itu sendiri.

Setelah reformasi, 36 organisasi wartawan berdiri di luar PWI. Banyak informasi melimpah. Perlu penyaringan karena wartawan adalah profesi intelektual yang bekerja untuk kepentingan publik, bisa mengontrol kekuasaan (tidak seperti DPR mengontrol sambil menawarkan wani piro) bak politikus yang sibuk menuding-nuding mencari-cari kesalahan orang untuk mengelabui sejarah.

Menjadi wartawan pada zaman Orde Baru harus pandai berselancar memakai otak, bukan mengandalkan otot, sehingga tulisan mengenai sasaran. Pada zaman digital ini, kebebasan pendapat menemui eranya. Publik punya banyak pilihan sehingga bisa memilah-milah mana berita sampah mana berita bermutu.

Tugas mulia menanti wartawan muda untuk usaha mencerdaskan bangsa. Jangan lagi mengurusi hal ecek-ecek, seperti memperdebatkan Hari Pers Nasional
9 Februari yang malah bisa menimbulkan perpecahan di antara slagorde wartawan sendiri.

Sekali lagi jangan, supaya kami wartawan senior punya kebanggaan kepada generasi penerus kami.

Ign Sunito, Wartawan; Tinggal di Bintaro, Tangsel, Banten

 

Jaka Mentom

Jembatan penyeberangan orang di Bundaran HI sudah dienyahkan. Sementara penggantinya belum rampung dibangun, disediakan pelican crossing. Harfiah pelican crossing berarti penyeberangan pelikan, sejenis unggas. Namun, yang menyeberangi jalan di lokasi itu bukan kawanan unggas, melainkan orang, pejalan kaki.

Konon, nama penyeberangan itu semula pelicon crossing, dan pelicon ialah akronim dari pedestrian light-controlled. Jadi, pelicon crossing berarti "penyeberangan pejalan kaki yang diatur dengan lampu".

Entah siapa yang mulai memelesetkan pelicon jadi pelican.

Barangkali pelican lebih sedap didengar dan dirasakan. Mungkin juga karena unggas pelikan lebih serasi dengan zebra. Mamalia sejenis kuda, yang loreng hitam-putih, itu dijadikan kata benda penyifat dalam istilah majemuk: zebra crossing, penyeberangan zebra.

Nama/istilah dalam bahasa Inggris —pelican crossing— itu sebaiknya kita carikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Saya tawarkan dua alternatif untuk kita pilih salah satu, atau dapat pula kita tolak kedua-duanya. Di bidang peristilahan/penamaan, pengguna ialah raja, dan di sini penggunanya ialah kita semua, penutur bahasa Indonesia.

Alternatif pertama ialah penyeberangan angsa. Ini adalah terjemahan pelesetan dari nama pelican crossing. Alternatif kedua ialah penyeberangan pejalan kaki memencet tombol.

Agar singkat, sebutan itu kita jadikan akronim: jaka mentom. Jadi, pelican crossing kita padankan dengan penyeberangan jaka mentom. Nah, bagaimana kedengarannya?

L Wilardjo, Salatiga, Jawa Tengah

Kompas, 21 Agustus 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger