AP PHOTO/CAROLYN KASTER

Presiden AS Donald Trump memasuki pesawat kepresidenan Air Force One, Jumat (27/7/2018), di Pangkalan Angkatan Udara Andrews, Maryland, AS. Perseteruan Trump dengan media AS belakangan ini semakin sengit.

Perseteruan Presiden AS Donald Trump dengan media setempat mencapai titik yang mengkhawa- tirkan. Trump bahkan menyebut media utama dengan fake news.

Media massa sering disebut sebagai "pilar keempat" sistem demokrasi setelah eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Tugas pers memberikan informasi kepada publik sekaligus menjadi kontrol sosial kerap menempatkan media dalam posisi berseberangan dengan pemerintah.

Di Amerika Serikat, negara yang mengklaim dirinya sebagai negara acuan demokrasi, pers sedang menghadapi ujian berat. Pemerintahan Trump tak henti-hentinya menyebut media arus utama sebagai "Fake News" (Trump merasa perlu menggunakan huruf kapital) dan "musuh negara".

Perseteruan terjadi karena sejak Trump berkuasa, pemerintahannya bertubi-tubi dilanda skandal akibat laporan di media massa berdasarkan investigasi yang profesional. Yang paling menghebohkan adalah intervensi yang dilakukan Rusia dalam proses pemilu 2016 AS, saat ada kemungkinan terjadi kolusi antara tim kampanye Trump dan Kremlin.

Bukti yang mendukung ke arah itu sudah semakin terang. Departemen Kehakiman total telah mengeluarkan 25 nama agen intelijen Rusia yang diyakini terlibat dalam peretasan komputer Partai Demokrat dan ribuan surel rahasia milik mereka.

Trump yang dikenal temperamental dan impulsif melawan semua pemberitaan itu dengan terus mengajak pendukungnya tidak membaca dan menonton media fake news. Tentu saja yang dimaksud fake news di sini adalah sejumlah media arus utama yang telah kenyang meraih penghargaan Pulitzer, seperti The New York Times dan The Washington Post.

Yang paling mengkhawatirkan adalah ketika dalam sebuah acara kepresidenan, Trump menyemangati pendukungnya untuk bersorak mencemooh wartawan yang disebutnya "orang-orang tak jujur". Ia juga tersenyum puas ketika para pendukungnya ramai-ramai berteriak-teriak mengolok-olok CNN.

Hal inilah yang kemudian disampaikan oleh Pemimpin Umum New York Times AG Sulzberger kepada Trump ketika diundang ke Gedung Putih pekan lalu. Menurut dia, bahasa Trump tidak saja memecah belah, tetapi juga membahayakan karena telah memberi label pada jurnalis sebagai musuh rakyat dan musuh negara. Bahasa yang menghasut itu berperan meningkatkan ancaman kekerasan terhadap para jurnalis.

Gedung Putih meminta kepada Times agar pertemuan itu dirahasiakan. Nyatanya, Trump sendiri yang membocorkannya di media sosial dengan bahasa yang menyudutkan korps pers. Dan, terjadilah perang komentar di antara kedua pihak.

Sejak awal kepemimpinannya, Trump menciptakan situasi "tidak normal". Ia menciptakan gelombang polarisasi tidak saja di dalam negeri, tetapi juga di panggung internasional. Media pada awalnya gagap menghadapi ketidaknormalan ini karena yang benar dinyatakan salah, fakta akurat dinyatakan bohong.