Akhirnya keputusan itu resmi dijatuhkan, bahwa junta militer Myanmar telah melakukan genosida terhadap kelompok etnis minoritas Rohingya.
Tim pencari fakta yang telah memperoleh mandat dari Dewan HAM PBB secara tegas menyatakan bahwa enam petinggi militer Myanmar, termasuk Panglima Militer Jenderal Senior Min Aung Hlaing, harus diajukan ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Kekejaman yang dilakukan militer Myanmar, antara lain pembumihangusan desa-desa, pemerkosaan massal, dan pembunuhan sedikitnya 10.000 jiwa, telah memenuhi semua kategori genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Laporan PBB juga mengkritik peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi yang dianggap tidak mampu memprotes, apalagi mencegah, kekejaman itu terjadi. Meskipun posisi Suu Kyi diakui tidak memiliki pengaruh terhadap militer, sebagai peraih Nobel seharusnya Suu Kyi memiliki otoritas moral untuk bersuara tegas terhadap militer.
Kelompok Rohingya yang berada di Negara Bagian Rakhine selama ini menjadi warga kelas dua di Myanmar. Selain tidak punya kewarganegaraan, secara terstruktur mereka dikucilkan, dilemahkan, dan dirampas hak-haknya oleh pemerintah yang didukung sebagian warga Myanmar. Hal itu dapat dibaca dalam ujaran kebencian warga di media sosial di Myanmar.
Puncaknya terjadi Agustus 2017, ketika kelompok militan Rohingya menyerang pos keamanan militer Myanmar. Insiden ini dijadikan alasan untuk melakukan pembalasan yang tidak proporsional dan mengarah pada pembersihan kelompok etnis Rohingya. Hampir satu juta warga Rohingya melarikan diri ke perbatasan Bangladesh setelah permukiman mereka dibumihanguskan dan keluarga mereka dibunuh.
Setahun berlalu, tragedi Rohingya seperti "tenggelam" di tengah hiruk-pikuk politik internasional yang terus bergejolak. Laporan Dewan HAM menjadi momentum untuk menggalang gerakan untuk menghentikan tragedi kemanusiaan di salah satu negara Asia Tenggara yang juga anggota ASEAN ini.
Secara politik, jalan yang harus ditempuh untuk membangun gerakan melalui resolusi di Dewan Keamanan PBB dibayangi oleh kemungkinan veto dari China yang mendukung Myanmar. Juga, mengharapkan ASEAN bersikap lebih keras terhadap salah satu anggotanya sepertinya sulit mengingat langgam yang dipegang ASEAN selalu mengedepankan dialog dan non-intervensi. Kita berharap ASEAN bisa menemukan solusi yang lebih efektif.
Apakah berarti kekejaman terhadap kemanusiaan itu bisa dibiarkan berlalu tanpa pertanggungjawaban? Tentunya tidak. Kita berharap dunia internasional mampu menggalang tekanan untuk Myanmar, seperti yang pernah dilakukan dalam merespons kekejaman di Bosnia Herzegovina dan Rwanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar