Putusan uji materi itu membatalkan pasal yang melarang bekas terpidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak jadi calon anggota legislatif. Pasal itu dianggap bertentangan dengan UU Pemilu. Dengan demikian, bekas napi untuk jenis kejahatan itu boleh jadi caleg dalam Pemilu 2019 asal memenuhi syarat yang ditentukan UU Pemilu karena putusan MA juga mencabut Pasal 60, huruf (j) PKPU No 26/2018.
Pernyataan Presiden Jokowi bahwa dirinya tidak bisa mengintervensi putusan MA mungkin benar. Namun, dia lupa bahwa keyakinannya mengenai semakin matangnya masyarakat pemilih tidak bisa diandalkan.
Dalam setiap proses pemilu, politik uang masih terus berlangsung. Sejauh ini belum ada pasal khusus yang mengatur segala hal terkait politik uang, termasuk manipulasinya, dalam penyelenggaraan pemilu. Apalagi slogan "terima uangnya, jangan pilih orangnya" terus didengungkan.
Kebijakan publik yang baik adalah kebijakan yang memberikan pembelajaran bagi semua warga negara, baik secara individu maupun organisasi atau lembaga, untuk hidup lebih baik, lebih bermutu. Kebijakan yang tidak mampu menjangkau ke sana bukan kebijakan publik, melainkan kebijakan rezim, kebijakan golongan, dan/atau kebijakan pribadi.
Pelunakan ekosistem
Putusan MA itu secara sistematis menciptakan pelembekan ekosistem pemberantasan korupsi. Para legislator adalah aktor utama pembuat kebijakan UU, di pusat ataupun daerah. Jika aktornya bekas terpidana korupsi, sulit dihindari pikiran korup jadi pertimbangan pembuatan kebijakan.
Tak mengherankan jika ada sejumlah kebijakan publik pada tingkat UU yang korup karena kebijakan itu menciptakan kesempatan atau sistem yang korup. Kebijakan itu membentang mulai dari sektor ekonomi hingga UU sektor politik.
Di sektor ekonomi, contoh kebijakan yang dapat dianggap menciptakan kesempatan korupsi adalah UU 22/2001 tentang Migas, dan sejumlah kebijakan turunannya. Sektor paling "basah" dan tidak banyak diketahui publik isu-isu teknisnya.
Kebijakan yang ditengarai punya masalah, baik secara material maupun secara formal itu, telah menjadi perhatian publik pada Agustus-September 2008, tetapi kemudian menguap.
Isu lain yang pernah berembus adalah BLBI hingga transaksi penjualan satu bank nasional di masa lalu. Tentu saja, semua itu perlu dibuktikan dengan audit investigatif atau audit forensik; suatu pekerjaan itu mencemaskan sejumlah orang, termasuk auditornya.
Di bidang politik, kebijakan kepartaian dan pemilu menciptakan sistem dan proses politik yang mahal. Untuk jadi kandidat elite politik, baik caleg di tingkat daerah maupun pusat, bupati, wali kota, gubernur, diperlukan biaya sangat besar, bahkan untuk pengeluaran yang sah, misalnya iklan, kampanye, pengawas kotak suara. Semua itu memaksa calon mendapat "sponsor" yang harus dibayar kembali setelah dia berkuasa lewat berbagai cara tak wajar.
Memang proses demokrasi tidak murah. Namun, kalau hasilnya justru cenderung merobek demokrasi, itu merupakan cerminan kebijakan, sistem, dan situasi masyarakatnya.
Harapan agar masyarakat yang menghukum caleg yang korup tak bisa diandalkan. Sebab, untuk memberantas korupsi diperlukan strategi dan masyarakat yang sungguh- sungguh melek politik. Hope is not a strategy, kata Rick Page (2002).
Demokrasi republik membutuhkan lembaga-lembaga penyeimbang, khususnya lembaga pengadilan yang bersih dan arif. Tanpa itu semua, demokrasi justru bisa menjadi alat penindasan baru dengan melahirkan sistem politik plutokrasi; suatu sistem yang dikuasai orang kaya dan para pemodal, di samping juga memunculkan para demagog dan narsisis politik.
Korupsi paling jahat
Korupsi kebijakan adalah korupsi yang paling jahat. Kebijakan publik adalah mesin pencipta kesejahteraan bangsa. Jika mesinnya korup, hilanglah kesempatan bangsa itu untuk mencapai kesejahteraan. Hari ini kita melihat, lembaga seperti MA pun tidak berpihak kepada publik dengan alasan membela tersandera UU di atasnya.
Saat ini, pusat korupsi tidak berada pada transaksi-transaksi gelap atau tidak sah, tetapi pada kebijakan-kebijakan publik yang menciptakan ekosistem bernegara dan berbangsa yang korup. Semua bergumam dalam gelap. Kita tidak tahu, kapan bangsa ini dapat berbicara lantang melawan kebijakan korup.
Kebijakan untuk menghukum koruptor seberat-beratnya telah jadi agenda publik sejak reformasi digulirkan, termasuk hukuman memiskinkan koruptor hingga hukuman mati.
Namun, sampai hari ini kebijakan pemberantasan korupsi terus berhadapan dengan ambiguitas. Dalam hal korupsi kebijakan, bukan lagi kebijakannya dikorupsi, melainkan kebijakannya sendiri sudah korup.
Korupsi kebijakan seharusnya jadi mata kuliah baru yang harus diajarkan di mana-mana agar publik menyadari persoalan serius itu. Dengan telaah semacam "audit forensik" kita dapat melihat bahwa kerusakan bangsa terjadi karena kebijakannya sudah korup. Artinya, korupsi ada sejak di hulu, pada kebijakan dan peraturannya.
Dalam kondisi seperti itu, pemberantasan korupsi hanya mencapai "remah-remah". KPK ibarat hanya menangkap tentakel, sementara hydra-nya terus hidup sebagai makhluk abadi.
Itulah salah satu tantangan Presiden Indonesia 2019-2014. Hanya pasangan yang secara serius berjanji menyelesaikan masalah ini yang berpotensi memenangi pilpres mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar