KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Sebanyak sembilan pasang gubernur dan wakil gubernur terpilih dilantik oleh Presdien Joko Widodo di Istana Negara, Rabu (5/9/2018). Mereka adalah pasangan gubernur dan wakil gubernur hasil pilkada serentak 2018 dari berbagai daerah.

Menjelang pemilihan presiden, gubernur dan wakil gubernur menghadapi dilema. Mereka adalah pemimpin seluruh rakyat di daerahnya. Demi mengayomi seluruh masyarakat, mereka telah bersumpah untuk menjalankan kewajiban sebagai gubernur dan wakil gubernur dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Fokus bakti mereka pun hanya untuk masyarakat, nusa, dan bangsa, bukan kepada partai atau kandidat yang diusung partai.

Namun, di sisi lain, mereka adalah pengurus partai, simpatisan, atau sekurangnya sosok yang diusung partai politik. Sebagai kader, mereka dituntut loyal kepada partai dan menjalankan perintahnya. Bukan semata agar tidak dicap sebagai kader kacang lupa kulit, tetapi keberpihakan kepada salah satu calon adalah juga perwujudan hak politiknya.

Bagaimana gubernur dan wakil gubernur akan keluar dari dilema partisan tadi? Bagaimana mereka tetap bisa menjalankan hak politiknya, tetapi tidak melukai perasaan masyarakat yang dipimpinnya?

Pemerintah bisa mengatur cuti pejabat negara yang akan berkampanye, tetapi siapa yang bisa memastikan bahwa pejabat negara tidak berkampanye (terselubung) di luar masa cutinya. Jika pengaturan cuti dimaksudkan agar jalannya pemerintahan tidak terganggu serta tidak menggunakan jabatan dan fasilitasnya untuk kepentingan politik, siapa yang bisa menjamin kedua hal ini tetap terjaga pada hari-hari ketika pejabat negara tidak sedang cuti dan tengah menjalankan tugas sebagai pejabat negara.

Jika gubernur dan wakil gubernur mengajukan cuti untuk kampanye pada hari Jumat, Sabtu, dan Minggu, siapa yang bisa menjamin bahwa Senin sampai Kamis mereka tetap fokus menjalankan program, bertindak sebagai bapak dari semua anak yang ada di wilayahnya, dan tidak main mata dengan partai politik dan kelompok pendukungnya?

Mengambil cuti dan berkampanye hanya di hari cuti tidak menjadi solusi atas persoalan ini. Cuti hanya menjawab persoalan administratif, tetapi tidak mengatasi luka rasa akibat keberpihakan. Gubernur dan wakil gubernur adalah bapak dari semua anak, karena itu memihak pasangan mana pun akan melukai kelompok yang berbeda pilihan.

Tak perlu diumbar

Preferensi gubernur dan wakil gubernur tentang presiden dan wakil presiden yang didukung dan dipilihnya dalam Pemilihan Presiden 2019 ibarat "aurat politik", yang harus dijaga, disalurkan di jalan yang benar, dan tak baik diumbar. Karena itu, soal pilihan politik gubernur dan wakil gubernur dalam pilpres, publik tak perlu bertanya, pun mereka tak usah mengatakan, apalagi mengumumkannya.

Masyarakat Jawa Barat tidak perlu bertanya kepada siapa dukungan Gubernur Ridwan Kamil akan diarahkan, seperti juga warga Jakarta tak perlu mempertanyakan arah dukungan Gubernur Anies R Baswedan. Sebaliknya, mereka pun tak perlu mengatakan, mengumumkan, apalagi mempertontonkan arah dukungan politiknya karena tidak merepresentasikan pilihan semua warga yang dipimpinnya.

Di negara-negara dengan ikatan emosional kepartaian (partisanship, keberpihakan) masyarakatnya yang kuat, mengumumkan arah dukungan, bahkan terang-terangan menjadi tim kampanye tidak akan menjadi persoalan. Preferensi politik masyarakat dan kandidat sudah terbangun sejak awal, bahkan tak jarang preferensi politik menjadi identitas keluarga, sehingga dikenal keluarga Demokrat atau Republik, misalnya.

Di Indonesia, preferensi politik amat cair, keberpihakan pun amat lemah. Hal ini bukan hanya dialami masyarakat umum, melainkan juga diperlihatkan politisinya. Timbul tenggelamnya partai tak pernah diratapi publik. Politisi pun amat mudah berpindah partai, seakan-akan mengikatkan diri pada sebuah partai hanya soal selera, kalkulasi peluang, atau bergantung pada kadar keputusasaan.

Adalah fenomena khas Indonesia dalam setiap perhelatan pilkada terjadi pinang-meminang kandidat. Sebuah partai bisa meminang calon bukan kader. Sebaliknya, bakal calon yang "merasa" bisa pun dapat mendaftar ke lebih dari satu partai.

Uniknya, ketika harus berkoalisi demi memenuhi ambang batas pencalonan, partai politik melakukannya secara acak. Koalisi yang dibangun dalam pilpres tak segaris dengan koalisi yang digalang dalam pilkada.

Kondisi terakhir seakan gayung bersambut dengan sikap politik masyarakatnya yang tidak menempatkan telur dalam satu keranjang. Masyarakat memilih kandidat dari partai yang berbeda untuk suatu jabatan. Jadi, terlalu menyederhanakan persoalan jika menganggap hasil pemilihan gubernur sebagai cerminan kekuatan dalam pilpres.

Hal terakhir menambah keragaman dalam masyarakat yang dipimpin sang gubernur. Ada kelompok yang tidak memilihnya dalam pilgub, tetapi memutuskan untuk memilih capres yang sama. Ada pula kelompok yang memilihnya dalam pilgub, tetapi berbeda pilihan dalam pilpres. Tentu saja ada kelompok yang tidak memilihnya dalam pilgub dan berbeda pilihan pula dalam pilpres.

Menutup mata dari kelompok yang tidak memilihnya dan berbeda pilihan dalam pilpres masih mungkin, lalu bagaimana dengan kelompok yang memilihnya dalam pilgub, tetapi berbeda pilihan dalam pilpres? Padahal, sang gubernur terikat sumpah, bahkan dalam berbagai kesempatan ia selalu bilang bahwa dirinya bukan pemimpin kelompoknya, tidak hanya mengimami mereka yang memilihnya, tetapi mengayomi semua warganya.

Jika menciptakan kesejukan di daerah pada saat tensi politik nasional menghangat menjadi tujuan, sebaiknya gubernur dan wakil gubernur menempatkan preferensi dan pilihan politik dalam ruang pribadinya. Jaga dan salurkan dengan baik, tetapi tak perlu mengumbarnya.