KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Ilustrasi

Pernah mendengar adagium l'histoire se rÉpÈte atau history repeat itself yang terjemahan bebasnya sejarah (akan) berulang kembali?

Mungkin itu yang kita alami belakangan ini. Misalnya, Indonesia kembali menjadi tuan rumah Asian Games (AG) Ke-18, bahkan baik acara maupun prestasi atletnya sukses besar: posisi keempat terbaik se-Asia. Ini mengulang prestasi Indonesia menjadi host nation AG Ke-4 tahun 1962, meraih posisi kedua kala itu di bawah Jepang.

Uniknya, setelah Indonesia menjadi tuan rumah AG, tuan rumah Olimpiade adalah Jepang. Setelah AG Ke-4 1962 di Jakarta, Olimpiade Ke-18 tahun 1964 diselenggarakan di Tokyo. Demikian sejarah berulang setelah AG Ke-18 di Jakarta-Palembang 2018, Tokyo akan kembali menjadi tuan rumah Olimpiade Ke-32 pada 2020.

Masih seputar olahraga, Mei 2018 ada pertandingan final Liga Champions Eropa (UCL) atau liga klub terbaik Eropa antara Real Madrid dan Liverpool di Kiev, Ukraina. Pertemuan ini mengulang partai final UCL tahun 1981 di Paris, Perancis.

Semua fenomena itu seolah membuktikan (kebenaran) adagium history repeat itself. Pada tahun 1981 pula ada peristiwa sejarah besar, yakni The Royal Wedding antara Pangeran Charles dan Putri Diana serta terpilihnya Mahathir Mohamad sebagai Perdana Menteri (PM) Malaysia. Sejarah kemudian berulang, 2018, kali ini pernikahan antara putra bungsu Charles-Diana, Pangeran Harry dengan Meghan Markle, sementara di Malaysia Mahathir Mohamad terpilih kembali sebagai PM.

Ada yang dipaksakan

Selain yang alami, ada pula narasi sejarah yang dipaksakan seolah-oleh berulang. Saat tensi politik memanas menjelang Pilpres 2019 dan kondisi ekonomi sulit karena tekanan eksternal: perang dagang AS-China sebagai pemicu nilai tukar rupiah melemah dibuat gaduh, seolah krisis 1998 berulang.
Fenomena ini harus kita tanggapi secara bijak karena berpotensi dimanfaatkan pihak tertentu untuk kepentingan politis pragmatis, apalagi menimbulkan kepandiran dan sesat berpikir.

Kenyataannya, meski nilai rupiah sama-sama turun, kondisi 1998 dan 2018 itu sangat jauh berbeda. Tahun 2018, Indonesia sudah lebih matang menghadapi potensi krisis ekonomi. Ada aspek ekonomi dan politik yang menjelaskan fenomena itu.

Dalam perspektif ekonomi, membandingkan data ekonomi dalam periode setahun terakhir akan lebih fair dan apple to apple. Kurs rupiah per dollar AS memang terdepresiasi dari Rp 13.345 pada September 2017 ke level Rp 14.815 pada September 2018, tetapi penurunan ini hanya 11 persen.

Hal itu sangat jauh berbeda dari jatuhnya nilai kurs rupiah hingga 254 persen: dari Rp 3.030 pada September 1997, anjlok ke level Rp 10.725 pada September 1998. Jika mau disamakan, seharusnya kurs rupiah per dollar AS pada September 2018 di level Rp 47.242.

Data ekonomi lainnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan kedua year on year (YoY) tahun 1998 minus 13,34 persen, sementara pada 2018 positif 5,27 persen. Pertumbuhan ekonomi negatif kala itu berimplikasi pada net capital inflow pada triwulan kedua 1998, tercatat minus 2.470 miliar dollar AS. Bandingkan dengan tahun 2018 yang berada di level positif 4.015 miliar dollar AS.

Inflasi rendah

Inflasi bulan Agustus 2018 YoY tercatat stabil di level 3,2 persen, sedangkan pada Agustus 1998 di level 78,2 persen. Bandingkan dengan cadangan devisa Indonesia 2018 tercatat 118,3 miliar dollar AS dengan peringkat surat utang pemerintah pada 2018 adalah investment grade yang berarti layak investasi.

Sementara cadangan devisa tahun 1998 sebesar 23,61 miliar dollar AS dengan peringkat surat utang pemerintah adalah junk, yang berarti meragukan atau tidak bernilai alias sampah.

Kritikal aspek lain adalah kondisi politik saat ini jauh lebih stabil dibandingkan tahun 1998. Meskipun di tengah kegaduhan politik dan banyaknya berita bohong (hoaks), tingkat kepercayaan terhadap pemerintahan Jokowi-Kalla dan Kabinet Kerja masih relatif tinggi dibandingkan pemerintah Orde Baru saat itu.

Kondisi krisis ekonomi tahun 1998 malah ditambah lagi dengan krisis politik. Kepercayaan terhadap Presiden Soeharto berada di titik nadir, tidak hanya di mahasiswa dan masyarakat, tetapi bahkan di dalam Kabinet Pembangunan VII.

Empat belas menteri ekonomi dan industri saat itu mengajukan mosi tidak percaya dan menolak bergabung dalam Kabinet Reformasi Presiden Soeharto. Mereka menandatangani "Deklarasi Bappenas", yakni Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L Sambuaga, dan Tanri Abeng.

Mundurnya belasan menteri itu membuat Soeharto sangat terpukul. Soeharto pun terpaksa lengser keprabon pada 21 Mei 1998, digantikan BJ Habibie.

Kabinet Kerja solid

Kondisi Kabinet Kerja saat ini solid dan kondusif. Kalaupun ada menteri yang mengundurkan diri, yakni Menteri Sosial Idrus Marham, bukan karena mosi tidak percaya, melainkan karena terkait kasus dugaan korupsi.

Meskipun demikian, pemerintah tetap harus cepat mengambil langkah preventif untuk mencegah spekulasi. Kita patut mengapresiasi berbagai paket kebijakan ekonomi pemerintah dan pembangunan infrastruktur, dan APBN yang seimbang dan sehat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya saing, dan mengurangi kesenjangan ekonomi antardaerah.

Namun, menghadapi tantangan global yang tidak ringan, hemat penulis setidaknya pemerintah harus lebih fokus pada dua aspek ini.

Pertama, mendorong Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) kembali positif. Data BPS menunjukkan secara kumulatif NPI periode Januari-Juli 2018 defisit 3,09 miliar dollar AS, sedangkan pada periode sama tahun 2017 tercatat surplus 7,39 miliar dollar AS. Defisit NPI berdampak langsung terhadap depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Dengan nilai kurs berkisar Rp 14.800 per dollar AS per September 2018, artinya kurs sudah melemah 9,14 persen dari Januari 2018. Padahal, periode tahun sebelumnya sempat menguat rata-rata 1 persen.

Mengurangi impor terutama barang-barang konsumtif dan mewah—apalagi dapat diproduksi dalam negeri—serta meningkatkan ekspor yang bernilai tambah merupakan harga mati agar NPI tumbuh positif. Penting juga bagi pemerintah memastikan, jika perlu membuat regulasi, agar hasil devisa ekspor dapat mengalir ke dalam negeri.

Peran aktif Indonesia

Harian Kompas (5/9/2018) mencatat per Juni 2018 devisa hasil ekspor 69,88 miliar dollar AS, yang masuk ke perbankan domestik 64,74 miliar dollar AS atau 92,6 persen. Dari jumlah tersebut, yang dikonversi ke rupiah hanya 8,62 miliar dollar AS atau 13,3 persen saja. Pemberian insentif ekspor yang menarik diperlukan agar devisa hasil ekspor tidak mengalir ke luar negeri.

Hal kedua adalah peran serta aktif Indonesia di kancah dunia. Bagaimanapun, fenomena perang dagang saat ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengutamakan kepentingan nasional individual negara semata. Kebijakan American's First, China's First, atau sejenisnya hingga retaliasi/pembalasan perang tarif hanya akan merugikan negara yang "bersengketa" sekaligus negara lain, terutama negara berkembang (emerging countries). Di sinilah peran aktif perwakilan Indonesia akan sangat vital.

Presensi Indonesia dalam forum ekonomi dan politik dunia seperti G-20, APEC, Bank Dunia, dan PBB jangan hanya seremonial semata, tetapi harus lebih berani bersuara menolak segala bentuk egosentrisme perdagangan dunia. Duta-duta Indonesia punya modal sangat baik, tidak hanya membawa kepentingan nasional, tetapi juga bagi negara-negara berkembang dan kawasan (ASEAN).

Indonesia bisa turut mendorong agar negara adidaya dalam percaturan global, seperti AS, China, Rusia, Jepang, Korea, dan Uni Eropa, mengurangi egonya untuk kepentingan dunia.

Benar bahwa sejarah dapat terulang. Namun, memaksakan narasi sejarah tanpa melihat lebih dalam adalah bentuk lain dari penyesatan publik.