Prita H. Ghozie

 

Saat ini, masyarakat di Indonesia mulai sadar akan pentingnya melakukan perencanaan keuangan demi masa depan yang lebih sejahtera. Pada umumnya, perencanaan yang dilakukan lebih dititikberatkan untuk pengelolaan penghasilan bulanan, manajemen utang, serta menabung untuk pembelian yang besar di masa mendatang. Namun, bagaimana jika dalam perjalanannya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan?

Manusia bisa berencana, tetapi pada akhirnya takdir Tuhan Yang Maha Esa akan menentukan jalan hidup setiap orang. Apabila terjadi musibah seperti sakit yang cukup berat, kecelakaan, dan hilangnya penghasilan utama akibat pencari nafkah meninggal di masa produktif, dampak finansial pasti ada. Dana tabungan yang sudah dikumpulkan bisa saja tergerus untuk membayar biaya kesehatan. Bahkan, dalam banyak kasus ekstrem, aset utama seperti rumah tinggal terpaksa dijual demi menyambung hidup anggota keluarga yang ditinggalkan.

Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan itu, maka dalam perencanaan keuangan juga dikenal istilah pengelolaan risiko dalam bentuk perencanaan proteksi. Pengelolaan risiko ini dapat dibantu dengan asuransi jiwa, asuransi kecelakaan, asuransi kesehatan, ataupun asuransi kerugian umum.

Sayangnya, masih banyak juga pendapat di masyarakat yang tidak sepakat dengan konsep asuransi, bahkan menyatakan tidak sesuai dengan ajaran agama tertentu. Hal ini yang kemudian memberikan tempat untuk asuransi yang didasarkan atas prinsip syariah sebagai alternatif bagi masyarakat.

Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014, asuransi syariah adalah kumpulan perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah dan pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang polis dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi. Caranya dengan memberikan penggantian ataupun pembayaran tertentu kepada peserta atau pemegang polis akibat terjadinya peristiwa yang tidak pasti atau dikenal dengan istilah risiko.

Risiko yang ditanggung meliputi kerugian, kerusakan yang menimbulkan biaya, dan lainnya yang mungkin diderita peserta karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti tersebut ataupun karena meninggalnya seseorang. Adapun prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

Ada dua hal mendasar yang menjadikan asuransi syariah dapat membantu mengelola risiko dengan adil dan baik bagi masyarakat. Konsep pertama adalah tolong-menolong melalui konsep ta'awun dengan cara membentuk suatu dana kumpulan untuk kepentingan bersama. Dana kumpulan ini diperoleh dari bagian setoran yang dilakukan peserta asuransi syariah.

Konsep kedua adalah saling melindungi melalui konsep takaful dengan cara memberikan perlindungan berupa santunan, penggantian biaya, ataupun pembayaran atas terjadinya suatu risiko tertentu. Risiko ini harus disepakati bersama terlebih dahulu, seperti risiko kematian, risiko kesehatan, dan lainnya.

Kedua konsep ini dikenal dengan ta'awun wa takafulli atau tolong-menolong dan saling melindungi dalam kebaikan.
Pahami bahwa dengan adanya niat untuk tolong-menolong, maka dana kumpulan itu ditujukan untuk mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, dana yang diniatkan untuk saling tolong itu dinamakan dana tabarru'. Peserta memberikan dana melalui akad tabarru' atau hibah sehingga peserta seharusnya tidak boleh mengambil kembali baik modal awal maupun sisa uang yang sudah diberikan ke dalam dana kumpulan tersebut. Lalu, bagaimana asuransi syariah dapat membantu keluarga dalam merencanakan keuangannya?

Pertama, antisipasi atas berbagai risiko sebaiknya diidentifikasi terlebih dahulu. Sebagai contoh, untuk pencari nafkah berarti ada risiko potensi kehilangan pemasukan jika terjadi kematian di usia produktif. Contoh lainnya adalah seorang pekerja lepas ataupun pedagang yang berpotensi menghadapi biaya kesehatan jika menderita sakit. Oleh karena itu, setelah diidentifikasi risiko yang mungkin dialami, peserta dapat memilih asuransi syariah yang sesuai dengan kebutuhannya.

Kedua, kepesertaan dalam asuransi sebaiknya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan finansial masing-masing. Untuk menjadi peserta, maka ada setoran dana tabarru' yang harus dilakukan secara berkala atau satu kali di awal. Idealnya, setoran untuk pembelian asuransi setiap keluarga dibatasi hanya 10 persen dari jumlah penghasilan setiap bulan. Pentingnya mengikuti kemampuan finansial karena setoran asuransi bersifat jangka panjang. Dengan demikian, mungkin saja dengan keterbatasan kemampuan, peserta tidak mendapatkan jumlah pertanggungan yang dibutuhkan.

Namun, hal ini tetap lebih baik dan bijak dibandingkan dengan tidak memiliki perlindungan sama sekali.

Ketiga, saat ini sebagian dari setoran bulanan membentuk suatu dana investasi untuk rencana masa depan. Hal ini dimungkinkan karena peserta mengikuti asuransi syariah yang bergabung dengan produk tabungan ataupun investasi. Di Indonesia, jenis asuransi ini dikenal dengan istilah asuransi syariah berbasis unit link. Peserta dapat menentukan sendiri berapa persen dari setoran yang ingin dikumpulkan sebagai dana tabungan ataupun dana investasi. Dana investasi ini dapat ditarik oleh peserta di waktu tertentu yang disebutkan dalam perjanjian. Pahami juga bahwa dana yang dikumpulkan dalam komponen investasi tidak memiliki kepastian hasil keuntungan serta bukan merupakan bagian dari dana tabarru'.