KOMPAS/RAKARYAN SUKARJAPUTRA

Ilustrasi

Pada 14 September 2018, Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa meluncurkan laporan terbaru mengenai Indeks Pembangunan Manusia. Tidak seperti biasanya, jika pada tahun-tahun sebelumnya, laporan Indeks Pembangunan Manusia disertai dengan tema-tema spesifik, tahun ini laporan hanya menampilkan perkembangan statistik terbaru berdasarkan kondisi pembangunan manusia di 189 negara pada 2017.

Meski demikian, ada beberapa catatan penting yang disajikan dalam laporan berjudul Human Development Indices and Indicators, 2018 Statistical Update untuk mengantarkan pembaca laporan ini menelisik lebih lanjut data statistik yang disajikan.

Tak sekadar pendapatan

Sejak laporan ini pertama kali disusun pada 1990, ia memang berpedoman pada prinsip pengukuran kesejahteraan. Laporan tidak lagi bertumpu pada perolehan pendapatan, tetapi juga pada elemen-elemen perkembangan tingkat pendidikan dan kualitas kesehatan.

Dalam perkembangannya, pada tahun 2010, laporan pembangunan manusia juga semakin komprehensif dengan adanya Indeks Kemiskinan Multidimensi, Indeks Ketimpangan Pembangunan Manusia, dan Indeks Ketimpangan Gender. Dan, pada 2014 diperkenalkan lagi Indeks Pembangunan Gender. Diperkirakan, ke depan, laporan ini akan semakin lengkap dan detail dengan mengintegrasikan sasaran, target, dan indikator yang ada di komitmen global: Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Dinyatakan di laporan ini bahwa meskipun Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menunjukkan peningkatan hampir di seluruh muka bumi ini, bukan berarti memperlihatkan dunia ini berkembang tanpa hambatan. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Perlakuan eksploitatif terhadap lingkungan planet Bumi ini meninggalkan beban ekologis dan peningkatan suhu udara bagi anak cucu kita. Ini terlihat dalam indikator-indikator lingkungan hidup yang sudah menipis kehijauannya.

Ketimpangan dan konflik bersenjata

Ketimpangan adalah tantangan utama yang dihadapi dalam pembangunan manusia dewasa ini. Ketimpangan menghambat rakyat miskin untuk meningkatkan pendapatannya, juga menghalanginya untuk mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, bersuara, memanfaatkan teknologi dan menjauhkannya dari sumber-sumber penghidupan.

Keterpinggiran kaum perempuan adalah salah satu sumber utama ketimpangan dan ini adalah hambatan utama untuk meningkatkan pembangunan manusia.
Laporan Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tahun ini juga menyoroti adanya kemerosotan kualitas pembangunan manusia di negara-negara yang terlibat konflik bersenjata berkepanjangan di Timur Tengah.
Membandingkan data tahun 2012 dengan data tahun 2017, ditemukan kemerosotan drastis Indeks Pembangunan Manusia di Libya (dari posisi ke-82 pada tahun 2012 anjlok ke posisi ke-108 pada 2017), Suriah (dari posisi ke-128 pada 2012 ke posisi ke-155 pada 2017), dan Yaman (dari posisi ke-158 pada 2012 ke posisi ke-178 pada 2017). Konflik bersenjata tidak hanya mengancam keamanan manusia, tetapi juga menggerus kualitas pembangunan manusia. Hal itu ditandai dengan merosotnya angka harapan hidup dan kemunduran ekonomi.

Ini tentu jadi peringatan bagi Indonesia yang dalam tahun-tahun terakhir ini rentan terpapar aksi-aksi teror, yang secara langsung ataupun tidak langsung terkait dengan rembesan konflik bersenjata yang membara di kawasan Timur Tengah.

Jika menggunakan ukuran Bank Dunia, Indonesia masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah (middle income countries), maka posisinya di dalam laporan UNDP ini juga belum beranjak dari kategori Medium Human Development Countries".

Dari sisi peringkat, dibanding tahun 2016, posisi Indonesia merosot satu tingkat, tetapi dari sisi IPM terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di laporan ini dinyatakan, antara tahun 2012 dan 2017, IPM di Indonesia meningkat 0,69 persen.

Seperti yang dinyatakan dalam pengantar laporan ini, meski Indonesia mengalami peningkatan Indeks Pembangunan Manusia, ada beberapa indikator krusial yang menjadi tantangan berat bagi Indonesia ke depan. Indikator-indikator tersebut terutama berkaitan dengan ketimpangan dan ketidaksetaran jender.

Tantangan IPM Indonesia

Jika dahulu yang paling ditakuti Indonesia dalam setiap peluncuran laporan pembangunan manusia adalah angka kematian ibu melahirkan (maternal mortality), yang pernah mencapai 359/100.000 (terdapat 395 kematian ibu dalam 100.000 kelahiran), tampaknya hal ini tak lagi menjadi mimpi buruk. Sebab, di laporan terakhir, angka kematian ibu melahirkan di Indonesia tercatat 126 per 100.000 kelahiran. Meski demikian, sejumlah kalangan masih mempertanyakan penurunan angka kematian ibu melahirkan yang sangat signifikan tersebut.

Laporan ini menyatakan bahwa di Indonesia terdapat 36,4 persen dari seluruh anak Indonesia berusia lima tahun ke bawah ditemukan berada dalam kondisi stunting. Ini bisa menjadi mimpi buruk baru bagi Indonesia dalam mempersiapkan generasi baru di masa depan.

Hal-hal krusial terkait indikator pembangunan manusia di Indonesia ini harus menjadi salah satu bahan pertimbangan dan masukan penting bagi Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan lima tahun masa pemerintahannya. Apalagi jika merujuk pada tekadnya untuk memprioritaskan pembangunan sumber daya manusia dalam penyusunan APBN 2019.