Advokat sebagai bagian penegak hukum ternyata "lemah" dalam menyelesaikan masalah sendiri. Padahal selalu menyatakan bisa  menyelesaikan masalah orang lain.

Apa yang salah sehingga kontradiktif begini? Sejarah mencatat, organisasi advokat (OA) selalu mengalami perpecahan secara berkesinambungan. Mulai dari Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Ketiganya dibentuk sebagai wadah tunggal (bersatu) yang sering disebut juga dengan istilah single bar, akhirnya mengalami perpecahan. Perpecahan terjadi selalu ketika musyawarah nasional (munas) untuk memilih  ketua umum, termasuk Peradi dewasa ini.

Kenyataannya sekarang ada sekitar 10   OA. Tiap OA ini  melakukan pengangkatan  dan kemudian mengajukan untuk disumpah sebelum memangku jabatannya sebagai advokat di hadapan  pengadilan tinggi. MA sudah menyatakan  tidak hendak memasuki lagi perpecahan internal OA itu, tetapi menyerahkan penyelesaiannya pada advokat itu sendiri dengan atau tanpa  UU Advokat baru.  Seperti pertimbangan putusan PN Jakarta Pusat belum lama ini, menganalogikan dengan sebuah mahkamah advokat; konsekuensi dari konsep OA adalah  auxiliary state independent organ.

Tapi   OA dewasa ini sepertinya  justru  berlomba-lomba mengangkat advokat sebanyak-banyaknya. Seolah-olah semakin banyak anggota, semakin kuat seperti ormas atau partai politik. OA bukan ormas. Kekuatannya bukan pada anggota, tetapi  pada keahlian. Akibatnya,  pertumbuhan jumlah advokat dewasa ini  mengalami spike", meningkat tajam secara tiba-tiba.  Sejauh ini tidak ada angka resminya, tetapi kemungkinan sudah 100.000 lebih. Mereka umumnya terkonsentrasi di kota-kota besar.

Akan tetapi, sangat memprihatinkan, pada saat yang sama pertumbuhan ini tanpa ada suatu standar  atau parameter yang sama. Tiap OA mempersepsikan  sendiri standarnya berdasarkan pemahamannya atas UU Advokat. Misalnya dalam perekrutan ada yang memahami pensiunan jenderal polisi, jaksa, hakim tidak perlu lagi magang, padahal prasyarat itu sifatnya compulsory dalam UU Advokat.

Lebih jauh, tidak memahami kalau profesi advokat itu jabatan khas yang berbeda dari polisi, jaksa, dan hakim sekalipun dalam forum yang sama: peradilan. Posisi mereka di wilayah yang berbeda dalam forum itu: polisi membuat BAP, jaksa membuat surat dakwaan, hakim membuat putusan. Sementara advokat membuat eksepsi, gugatan pleidoi, dan seterusnya. Jadi, standar profesi yang sama itu suatu keharusan supaya pertambahan jumlah advokat ini  diimbangi dengan mutu, termasuk dalam standar profesi ini  selain perekrutan juga pengawasan dan penegakan Kode Etik Advokat yang efektif.

Oleh karena itu, supaya semua berjalan baik, pilihannya: bersatu atau bersama; serupa tapi tidak sama. Secara  normatif advokat harus menjadi  anggota  OA. Salah satu alasan pokok ialah supaya kemandirian advokat ketika menjalankan tugasnya ada batasannya, yaitu disiplin dan  kode etik. Kedua hal  ini jadi tugas OA untuk menegakkannya.

Oleh karena itu pula, supaya efektif penegakan disiplin dan etika  advokat, advokat harus jadi anggota OA yang ditandai dengan diterbitkannya  kartu advokat.  Dalam praktiknya di pengadilan, kedua kartu dan berita acara sumpah (BAS) advokat harus diperlihatkan.

Bersatunya OA itu mendasar   agar, antara lain, praktik advokat ada yang mengendalikan. Pertanggungjawaban advokat ini tujuannya untuk melindungi kepentingan masyarakat. Jangan ada advokat jadi "advokat bakpao" misalnya. Apabila hal seperti itu ada dalam praktiknya, maka melalui organ OA advokat bersangkutan bisa dimintai pertanggungjawaban. Jika OA itu tidak bersatu, maka sulit pertanggungjawaban ini  terlaksana.  Advokat itu kalau kena sanksi bisa loncat ke OA lain dan selanjutnya bisa berlindung di sana.

Melawan kemustahilan

Tapi untuk bersatunya OA ini seperti kemustahilan, sekalipun suatu pilihan yang baik. Kenyataannya  selalu pecah secara berkepanjangan, seperti  apa yang sudah terjadi terhadap Peradin, Ikadin, dan Peradi. Kalau bersatu tak bisa dicapai, paling tidak untuk sementara ini apa yang bisa dilakukan? Perlu mencari suatu bentuk  wadah yang pas dan tidak rentan pecah sehingga akan efektif sebagai sarana meningkatkan kualitas profesi advokat.

Bersatu dalam satu wadah memang ideal, tetapi sesungguhnya bukanlah keharusan. Dilihat dari kepentingan masyarakat yang dilayani, bersatu itu tidak harus totalitas, apalagi siapa ketua umum dan bagaimana bentuk wadahnya. Yang relevan ialah suatu standar profesi yang bermutu dan satu. Standar profesi ini setidaknya meliputi seleksi (perekrutan) advokat yang  terdiri dari pendidikan dan magang, pengawasan  dan atau  kode etik advokat yang ditegakkan melalui satu dewan kehormatan.

Dalam standar profesi  hampir tak ada masalah kekuasaan, tapi tanggung jawab, sehingga tidak akan jadi ajang rebutan dan potensi perpecahan. Sebab, di sana tidak ada kekuasaan dan atau uang, tapi  justru hakikat profesi advokat itu.  Intinya dalam standar profesi bagaimana supaya advokat yang memenuhi standar profesi yang diangkat, dan manakala tidak menjalankan kode etik, maka sanksi dijalankan. Dengan begitu, pada saat yang sama kepentingan masyarakat dilindungi. Maka, inilah yang mendesak untuk dilakukan semua advokat jika nobile officium atau jabatan terhormatnya akan tetap ingin dipertahankan.
Oleh karena itu, jika bersatu sebagai sesuatu yang ideal ini  belum dapat dijangkau, standar profesi saja dulu diwujudkan. Dengan kata lain, konkretnya: kalau kita belum bisa bersatu dalam satu OA (single bar), marilah kita sementara bersama dalam satu standar profesi satu standar pendidikan khusus profesi advokat (PKPA), magang dan satu Dewan Kehormatan. Secara sempit dan konkret marilah kita dalam satu Dewan Kehormatan karena kode etiknya juga sudah satu, yang disepakati bersamaan dengan lahirnya UU Advokat dulu.

Operasionalisasi satu Dewan Kehormatan  ini tidak terlalu sulit kalau itikad baik untuk kebaikan advokat jadi landasannya. Tanpa mengurangi kewenangan dalam OA masing-masing, Dewan Kehormatan  dapat diwujudkan. Singkatnya apabila diterima, tiap Dewan Kehormatan  di tiap OA yang sudah ada sebagai tingkat pertama dan Dewan Kehormatan  Nasional sebagai tingkat banding dan terakhir. Kalau ini pun tidak setuju, apalagi yang kau cari wahai para advokat Indonesia?