Tindak kejahatan ini kemudian menghantui dirinya dengan rasa bersalah yang menyiksa. Deretan penderitaanya yang tak habis-habis kemudian membersihkan dan menyadarkan dirinya atas kejahatannya.

Bahwa, setiap kejahatan yang dilakukan manusia tentu ada akibatnya sudah diajarkan oleh orangtua kita ketika kita melakukan kesalahan. Waktu tak sengaja memecahkan piring kesayangan ayah, selama seminggu tak dikasih uang saku. Waktu terlambat masuk lapangan olahraga, guru menghukum dengan push up 40 kali. Penderitaan hukuman ini diperlukan agar anak dibersihkan dari rasa bersalah. Anak-anak yang dibiarkan berbuat salah tanpa hukuman tak pernah dibersihkan batinnya, sehingga setiap kejahatan adalah kebenaran.

Gejala kejahatan tanpa hukuman atau kejahatan adalah kebenaran kian tampak dalam masyarakat kita, mungkin akibat pembiaran dalam pendidikan formal dan non-formal. Setiap pelanggaran (yang mungkin bukan kejahatan) dibiarkan tanpa saksi hukuman. Melakukan pelanggaran dan kejahatan dianggap kebenaran. Motor melawan arus dibenarkan sehingga ketika terjadi kecelakaan justru yang benar disalahkan, bahkan sering yang benar langsung dihukum dengan penganiayaan.

Gejala semacam itu bukan hanya terjadi di lingkungan lalu lintas, juga lingkungan sosial lain. Akibat lebih parah dari gejala ini ialah hukum, norma sosial, disiplin, moral kesusilaan tak diperlukan lagi. Aturan-aturan itu mengandung hukuman yang ternyata tak pernah dijalankan.

Kejahatan itu mematikan. Kebaikan menghidupkan. Kejahatan mematikan orang lain untuk menghidupi dirinya sendiri. Kejahatan berfokus pada kepentingan diri sendiri, baik personal maupun kolektif. Intinya mementingkan kehidupan sendiri dengan mengorbankan orang lain, dengan alasan apa pun.

Kejahatan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannnya, yaitu kepentingan hidupnya sendiri. Mula-mula ia akan memutar balik kenyataan dengan kebohongan dan pengelabuan. Kalau tidak berhasil, ia akan mulai mengancam dan mengintimidasi. Kalau tidak berhasil, ia akan mulai menggunakan kekerasan, persekusi, penganiayaan. Tahap akhir adalah esksekusi korbannya.

Kebaikan justru kebalikannya. Fokus kebaikan adalah menghidupkan orang lain dengan menyingkirkan kepentingan diri sendir. Orang–orang baik memberi kehidupan bagi orang lain tanpa pamrih. Tidak jarang air susu dibalas air tuba. Kebaikan dibalas dengan kejahatan. Orang–orang baik memang sasaran paling empuk bagi orang–orang jahat.

Menunggu keberanian

Kejahatan akan menang kalau orang–orang baik membiarkan kejahatan tanpa hukuman. Diperlukan keberanian orang– orang baik untuk menghukum kejahatan. Diperlukan kebernian orang–orang baik untuk menghukum kejahatan. Selama orang–orang baik yang punya otoritas tidak menghukum orang–orang jahat, kejahatan akan berkuasa.

Kelemahan dan kepengecutan orang–orang baik dalam menghadapi kejahatan sama saja bersekutu dengan kejahatan untuk berkembang. Muncul dan tumbuhnya kejahatan sama saja bersekutu dengan kejahatan untuk berkembang. Muncul dan tumbuhnya kejahatan akibat kelemahan. Kejahatan hanya dapat ditolak dengan ketegasan sikap.

Orang-orang lemah yang peragu biasanya tinggal tunggu waktu kapan dia jatuh dalam kejahatan. Dan, ketika dia jatuh dalam kejahatan, tinggal tunggu waktu kapan dia hidup dalam kejahatan. Kejahatan hanya dapat ditolak oleh orang-orang yang bersikap tegas. Sejak awal datangnya godaan kejahatan, ia telah dengan tegas mengusirnya. Pikirannya tak mau dikotori oleh kejahatan karena perbuatan jahat lahir dari pikiran jahat.

Fisikawan masyhur Albert Einstein mengatakan, baginya jauh lebih mudah memecah dan memisahkan plutonium daripada memisahkan kejahatan dari manusia. Ucapan ini seolah berarti bahwa di mana ada manusia di situ ada kejahatan. Genealogi kejahatan ini banyak diceritakan dalam mitos-mitos religius. Di situ juga diceritakan kapan rezim–rezim kejahatan berkuasa yang akhirnya berakhir dengan hukuman.

Mengapa kejahatan tetap ada di dunia? Karya-karya sastra lama di Pulau Jawa, yaitu zaman berdirinya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, memiliki jawabannya sendiri. J Noordyun dan A Teeuw, dalam buku mereka Three Old Sundanese Poems (Tiga Pesona Sunda Kuna), antara lain berisi kisah "para putra Rama dan Rawana". Dalam kitab Ramayana, Rama menghabisi Rawana dalam perang besar antara Kerajaan Ayodhya dan Alengka. Namun dalam perang besar antara sebaliknya, yakni putra–putra Rama, justru mengungguli putra–putra Rama. Putra Rahwana (yang jahat) dapat mengalahkan putra Rama (yang baik).

Maksud kitab tersebut makin jelas dalam buku Korawasrama di Jawa (PJ Zoetmulder), yang menceritakan kembalinya kehidupan para Korawa (yang telah kalah dalam Baratayuda) oleh Abiyasa. Mereka disuruh bertapa dan ketika selesai, mereka dapat mengalahkan para Pandawa. Akan tetapi permintaan mereka agar Pandawa dapat mereka matikan tidak diizinkan para dewa dengan alasan "tanpa adanya Korawa dan Pandawa (baik dan jahat) tak ada tata tertib dan hukum didunia".

Kejahatan diperlukan agar ada hukum dan norma kehidupan di masyarakat. Masalahnya bagaimana kalau tak ada yang berani menjatuhkan hukuman terhadap pelanggaran dan kejahatan? Maka, kejahatan akan menguasai kebaikan!