Masyarakat kehilangan daya beli ketika barang-barang menjadi mahal. Namun, masyarakat yang hidup dari basis ekonomi pertanian, perikanan, dan peternakan justru mampu bertahan.

Secara umum sektor-sektor di atas menjadi basis. Sektor yang memiliki kemandirian kuat akan bertahan dengan baik.

Secara sederhana dapat dipahami bahwa masyarakat menghasilkan komoditas yang menjadi konsumsi utama mereka. Artinya, rantai ekonomi yang tidak terlalu panjang, dan kepastian daya beli atas kebutuhan dasar, menjadi kunci untuk bertahan.

Dengan demikian, alasan tersebut seharusnya menjadi dasar menentukan fondasi ekonomi nasional, bukan sekadar memelihara jual beli, sementara yang diperjualbelikan adalah komoditas yang dihasilkan negara lain.

2018 beda dengan 1998

Anjloknya rupiah ke sekitar angka Rp 15.000 per dollar AS tahun ini sebenarnya agak berbeda jika dibandingkan dengan krisis ekonomi 20 tahun lalu.

Melemahnya daya beli saat ini tidak hanya karena melemahnya rupiah, tetapi karena gerakan arus perdagangan yang juga dipengaruhi oleh kebijakan global perang dagang antara AS dan China. Dua negara raksasa yang secara makro mengendalikan ekonomi dunia ini menjadi salah satu penentu bagi kestabilan ekonomi negara lain.

Dengan kondisi ini, seharusnya ekonomi Indonesia bisa mendapatkan keuntungan tanpa harus mengganggu aktivitas nasional jika fondasi ekonomi kompetitif berbasis kekuatan bangsa, yaitu pertanian, perikanan, dan peternakan, diperkuat. Jika komoditas unggulan di ketiga bidang itu diperkuat hingga menjadi pesaing di dunia, maka yang diuntungkan adalah rakyat petani, peternak, serta nelayan dan pembudidaya ikan, yang selama ini termarjinalkan.

Kekuatan perikanan merupakan salah satu yang harus mampu menarik dollar melalui ekspor udang, tuna, dan produk olahan lainnya.

Namun, kenyataan di dalam negeri kita memang masih terkesan setengah hati dalam memahami upaya percepatan kemajuan sektor ini. Seharusnya dengan bermodal paradigma negara maritim, pembangunan perikanan dan kelautan didorong menjadi tulang punggung ekonomi nasional sehingga berdaya saing.

Daya saing perikanan

Walaupun negara kita termasuk yang sedang dievaluasi semua komoditas ekspornya oleh Amerika Serikat dalam kaitan dengan kebijakan tarif bea masuk, kita tetap berkeyakinan bahwa Amerika Serikat sebagai negara pengimpor tetap membutuhkan produk perikanan dari Indonesia. Mengapa demikian?

AS merupakan importir ikan terbesar dunia. Kebutuhan konsumsi ikan dan udang rakyat AS yang tergolong tinggi seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan ekspor kita ke AS. Sayangnya, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ekspor perikanan kita cenderung stagnan, baik ke AS maupun China.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2018, tercatat sepanjang 2012-2016 ekspor kita ke AS menurun. Volume ekspor Indonesia tahun 2016 diperkirakan hanya 1,07 juta ton dengan nilai ekspor 4,173 miliar dollar AS. Volume ekspor seperti ini seolah tidak pernah beranjak dalam beberapa tahun terakhir, bahkan sekarang cenderung turun.

Pasar China sebagai tujuan ekspor hasil perikanan Indonesia secara volume juga relatif konstan dengan pertumbuhan sebesar 1,15 persen per tahun. Ironisnya, Indonesia sebagai produsen ikan terbesar tidak masuk dalam 10 besar pada 2016, baik dalam impor maupun ekspor.

Sebagai perbandingan—juga berdasarkan data KKP—proporsi produksi perikanan tangkap laut Indonesia rata-rata 7,16 persen terhadap perikanan tangkap laut dunia periode 2011-2016, sementara China mencapai 17,88 persen. Hal ini  menempatkan Indonesia sebagai produsen perikanan tangkap laut terbesar kedua setelah China.

Dua momentum 

Penulis berpandangan, ada dua momentum yang bisa dimanfaatkan Indonesia untuk mendapatkan dollar dari luar negeri dengan cara memperkuat daya saing perikanan nasional.

Pertama, mendorong peningkatan produksi seiring dengan meningkatnya stok ikan nasional.  Jika data estimasi 12,5 juta ton per tahun, otomatis kita punya peluang menggenjot penangkapan. Sementara potensi budidaya akan lebih besar lagi keberhasilannya dikembangkan asal ada kebijakan pemerintah yang mendorong tumbuhnya industri perikanan aqua culture dan marine culture.

Indonesia harus mengambil momentum di tengah keterbatasan produk China masuk AS. Pengusaha udang, budidaya rajungan dan kepiting, serta budidaya lobster semestinya berpeluang besar dikembangkan.

Lahan pesisir, teluk, dan gosong dangkal dapat dimanfaatkan untuk menggenjot produksi ikan budidaya dari laut. Selain itu, budidaya teknologi di gosong dangkal dengan pola sea farming dan sea ranching system juga menjadi peluang dalam budidaya udang vaname.

Kedua, dalam memperkuat produksi perikanan terutama komoditas berbasis ekspor perlu afirmasi kebijakan.  Afirmasi kebijakan akan melahirkan energi positif bagi nelayan dan pelaku usaha perikanan.

Beberapa afirmasi kebijakan yang penting disiapkan di antaranya adalah kegiatan budidaya komoditas berbasis ekspor diperkuat. Salah satu caranya dengan melibatkan sebanyak mungkin pelaku usaha perikanan nasional. Pemerintah memerlukan pengusaha ikan agar bisa menghasilkan ikan komoditas ekspor yang berkualitas.

Untuk itu, kemitraan nelayan, pembudidaya ikan, menjadi modal penguatan industri budidaya berbasis masyarakat. Akan menjadi biaya yang mahal apabila pemerintah mendekati pengembangan industri perikanan ini secara top down dan memaksakan sistem usaha perikanan kepada masyarakat.

Upaya lain adalah memperkuat komponen lokal dalam mendukung industri perikanan.  Beberapa komponen lokal yang penting dalam penguatan perikanan adalah bahan baku pakan berbasis bahan baku lokal.

Saat ini bahan baku pakan, seperti minyak ikan, jagung, atau kedelai, masih impor. Afirmasi kebijakannya adalah mewajibkan semua industri pakan nasional menggunakan jagung atau kedelai nasional. Keadaan ini tentu akan mendorong sistem usaha pertanian untuk menyediakan jagung dan kedelai dengan berproduksi secara konsisten.

Dengan demikian, suplai bahan pakan tersedia dari lokal untuk memenuhi ketersediaan pakan ikan nasional. Kalau baku pakan masih impor dengan menggunakan dollar, harga pakan akan terus naik dan "mencekik" usaha budidaya ikan.

Jaring apung 

Selain pakan, perlu juga teknologi budidaya seperti keramba jaring apung yang berbasis bahan lokal. Kita tidak perlu lagi mengimpor barang dan teknologi keramba jaring apung karena industri nasional sudah mendukung.

Ketiga, tidak menaikkan pajak dalam pengolahan perikanan. Fenomena kenaikan harga BBM yang mengikuti pasar global, insentif pajak UMKM 0,5 persen, bisa menghambat usaha perikanan. Selain itu, suku bunga kredit perbankan, serta berkurangnya bahan baku industri pengolahan, perlu dikendalikan.

Dari beberapa uraian tersebut, penulis sangat yakin apabila industri perikanan dari hulu sampai hilir dibangun, akan mampu meningkatkan daya saing perikanan nasional. Selanjutnya akan tercipta kemandirian sebagai kekuatan untuk menjadi negara dengan keunggulan yang kompetitif dan berdaya saing.

Dengan demikian, sektor perikanan akan mampu berbicara pada dunia secara nyata sekaligus menjadi penyangga ekonomi nasional menghadapi krisis menguatnya dollar.