KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Murid SMK Negeri 2 Jepara program keahlian teknik keramik membuat kerajinan porselen saat mengikuti kegiatan praktik kerja lapangan selama dua bulan di industri porselen Nuanza, Desa Ngadirojo, Ampel, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (27/8/2018). Selain memberi pengalaman tentang dunia kerja kepada murid, kegiatan praktek kerja lapangan juga bermanfaat bagi dunia usaha dalam menjaring bibit calon pekerja potensial bagi perusahaan mereka.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Ironisnya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2018, dari 127,07 juta penduduk yang bekerja ini, hampir 60 persen (75,99 juta) hanya berpendidikan SMP ke bawah. Artinya, kapal besar ini, berisi para pekerja dengan pengetahuan dan keterampilan sangat terbatas. Belum juga kita terpana dengan data ini, dahi kita pun berkerut membaca statistik BPS yang mengindikasikan bahwa dengan meningkatnya tingkat pendidikan, tidak serta-merta mereka mudah mendapatkan pekerjaan.

Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di kalangan angkatan kerja berpendidikan sekolah menengah atas justru lebih tinggi dibadingkan dengan mereka yang memiliki tingkat pendidikan di bawahnya. Bahkan yang mengejutkan, mereka yang berpendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) memiliki TPT tertinggi, 8,92 persen. Bandingkan dengan TPT kelompok pendidikan lain: SD ke bawah 2,67 persen, SMP 5,18 persen, SMA 7,19 persen, Diploma I-III 7,92 persen dan universitas 6,31 persen.

DOKUMENTASI KEMDIKBUD

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kemdikbud, Hamid muhammad (kanan, baju putih) menyaksikan potensi siswa SMK menjadi wirausaha. Pembelajaran kewirausahaan semakin diperkuat di SMK untuk membekali siswa siap terjun menjadi wiirausaha muda sesuai bidang keahlian di SMK.

Lantas, ada apa dengan SMK? Bukankah SMK adalah jenis sekolah yang dirancang khusus untuk mempersiapkan siswa siap bekerja saat mereka lulus? Bukankah kurikulum SMK dibuat sedemikian rupa dengan beragam program keahlian yang ditawarkan agar dapat menyesuaikan kebutuhan dunia kerja?

Dalam penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan: "Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu."

Kemudian, dalam Garis–Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) kurikulum SMK, secara lebih rinci disebutkan bahwa salah satu tujuan khusus didirikannya SMK adalah untuk "menyiapkan peserta didik agar menjadi manusia produktif, mampu bekerja mandiri, mengisi lowongan pekerjaan yang ada di dunia usaha dan dunia industri sebagai tenaga kerja tingkat menengah, sesuai dengan kompetensi dalam program keahlian yang dipilihnya."

Dalam data Statistik Persekolahan SMK 2017/2018, saat ini ada 13.710 SMK yang tersebar di seluruh Indonesia. Kita pun terbayang, apa yang terjadi dalam proses pengajaran pada sekolah jenis ini. Pada 2017/2018 ini, jumlah keseluruhan siswa ada 4.904.031 orang, dan yang lulus pada 2017/2018 ini mencapai 1.300.521 orang. Ke manakah mereka saat ini?

Akankah mereka menjadi rombongan kandidat pengangguran terbuka baru yang tertinggi lagi? Para ahli pendidikan tentu telah banyak membahas hal ini. Dalam tulisan pendek berikut, saya mencoba ikut sumbang saran agar SMK yang menjadi tumpuan harapan jutaan siswa dapat lebih efektif dalam mencapai tujuannya.

Dengan melihat data di atas, secara umum kita dapat mengambil kesimpulan, penyelenggaraan pendidikan SMK masih jauh dari kualitas yang diharapkan. Tak tertutup kemungkinan, materi ajar yang diberikan di SMK pada umumnya kurang sesuai (mismatch) dengan tuntutan lapangan pekerjaan yang ada.

Sistem pengajaran yang diberikan, bisa jadi banyak yang tak efektif sehingga banyak lulusan SMK tak mendapatkan pengetahuan dan keterampilan memadai. Yang paling mengkhawatirkan, kebanyakan guru yang mengajar, bukanlah guru yang memiliki jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) sehingga banyak siswa SMK kurang mendapatkan contoh sikap ulet, gigih, kreatif, produktif dan mandiri sebagaimana dicita-citakan.

Namun, apapun yang menjadi penyebab keadaan ini, berbagai upaya perbaikan harus segera dilakukan. Langkah-langkah terobosan perlu dicoba. Tujuan penyelenggaraan pendidikan di SMK perlu lebih fokus menekankan sikap kemandirian para peserta didik. Lulusan SMK harus memiliki motivasi tinggi dalam menciptakan lapangan kerja sendiri, dan tak lagi memiliki sikap mental menggantungkan pada lapangan pekerjaan yang tersedia di pasar kerja (job market).

Tentu untuk tercapainya tujuan ini, harus dipastikan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan di SMK benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Guru berkualitas dan tepat guna juga harus diadakan. Untuk pengadaannya, perlu dilakukan cara-cara inovatif yang keluar dari jalur baku.

Salah satunya melakukan sinergi dengan para wirausahawan inovatif (business entrepreneurs dan social entrepreneurs) untuk terlibat dalam pengajaran di sekolah, berbagi ilmu dan pengalaman dengan para siswa dan guru. Bisa dirintis kerja sama agar lahan usaha mereka dapat menjadi bagian tempat praktik siswa untuk menimba pengalaman.

Menghadirkan para wirausahawan inovatif (champions) yang memiliki keahlian relevan dengan materi ajar di sekolah sangat penting dilakukan. Tujuannya agar para siswa dapat mendengar langsung beragam pengalaman dalam berbisnis, termasuk bagaimana mereka jatuh bangun saat merintis usaha sebelum mereka mengecap keberhasilan.

Para champion itu dapat berbagi keterampilan secara langsung kepada para siswa. Para siswa perlu didorong untuk lebih sering turun lapang (experiential learning), mengunjungi lokasi-lokasi kerja para wirausahawan agar dapat melihat langsung cara kerja mereka. Dengan cara ini, diharapkan siswa lebih termotivasi hidup mandiri, dan lebih tertarik menjadi wirausahawan daripada menjadi pekerja perusahaan yang saat ini tampak semakin sulit memerolehnya.

Dengan menggali pengalaman para champion yang hadir di kelas dan melihat kerja mereka di lapangan, para guru juga diharapkan akan mendapatkan tambahan wawasan dan inspirasi. Secara bertahap, para guru diharapkan dapat keluar dari "penjara text book," tidak hanya terpaku pada kurikulum baku yang ditetapkan saat mengajar, namun mampu berubah dinamis mengikuti perkembangan yang terjadi di dunia praktisi. Dengan kata lain, materi ajar harus terus ditingkatkan dan dievaluasi terus menerus agar relevan dengan kesempatan-kesempatan usaha yang tumbuh pada saat ini.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pergeseran Pengelolaan SMK/SMA – Turyanto (56, berkacamata), guru jurusan Teknik Konstruksi Kayu, mengajar di SMK Negeri 3 Yogyakarta, Jetis, Kota Yogyakarta, Sabtu (7/1). Mulai tahun ini pengelolaan SMA/SMK yang selama ini berada di pemerintah kabupaten/kota beralih ke pemerintah provinsi.
Kompas/Ferganata Indra Riatmoko (DRA)
07-01-2017

Secara kelembagaan, tentu tak semua SMK yang ada saat ini memiliki kinerja buruk. Pasti banyak SMK yang menjadi unggulan karena berhasil menjalankan tugas sebagai lembaga pendidikan yang menciptakan kemandirian. SMK unggulan ini perlu mendapat dukungan lebih kuat dengan tugas menularkan keberhasilan mereka kepada SMK lain di dekatnya. Namun, untuk memperkaya sumber pembelajaran, "sentra-sentra pemberdayaan unggulan" dengan berbagai keahlian ilmu yang dikembangkan oleh para wirausaha sosial juga perlu diajak kerja sama.

Di bidang pertanian, sebagai contoh, sentra-sentra itu antara lain "Joglo Tani" di Sleman, Yogya, "The Learning Farm" di Cianjur, atau "Sabila Farm" di Kaki Gunung Merepi. Untuk mendorong kerja sama ini agar dapat berjalan lebih cepat, pemerintah perlu membentuk skema anggaran khusus untuk memberi insentif terhadap dilakukannya sinergi ini.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pergeseran Pengelolaan SMK/SMA – Supriyadi (53, kanan), guru jurusan Teknik Permesinan, mengajar di SMK Negeri 3 Yogyakarta, Jetis, Kota Yogyakarta, Sabtu (7/1). Mulai tahun ini pengelolaan SMA/SMK yang selama ini berada di pemerintah kabupaten/kota beralih ke pemerintah provinsi.
Kompas/Ferganata Indra Riatmoko (DRA)
07-01-2017

Tentu dukungan sarana dan prasaran belajar yang memadai sangat diperlukanPerangkat teknologi informasi digital mutlak harus disediakan agar para guru dan siswa SMK dapat membangun jejaring dengan para champion yang memiliki jiwa pendidik di manapun mereka berada. Saat ini adalah era jejaring digital.

Dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar juga harus membangun jejaring dengan banyak pihak. Database para champion di berbagai bidang yang kini tersebar di seluruh Indonesia harus dibangun dan perlu diperbaharui secara berkala.

Pemerintah harus memfasilitasi terbangunnya database ini dan memfasilitasi terhubungnya para champion untuk melakukan kerja sama dan langkah-langkah nyata. Program-program yang kini tengah dikembangkan Bappenas untuk "connecting the dots (champions)" perlu segera diperluas dan direalisasikan.

Dengan beragam perangkat media sosial seperti Youtube, Facebook, Instagram dan lain-lain, pertukaran materi ajar dapat dihimpun dengan mudah. Perlu dibentuk jaringan guru kreatif yang bertugas untuk melakukan seleksi dan mendorong pengayaan materi ajar.

KOMPAS/KARINA ISNA IRAWAN (KRN)

Guru SMK bidang tata busana dituntut menghasilkan lulusan sesuai dengan kebutuhan industri saat pelatihan tata busana bertajuk "Menuju SMK Go International", Kamis (17/11), di Kabupaten Kudus. Perkembangan dunia fashion yang dinamis perlu diimbangi pola ajar yang kreatif.
Kompas/Karina Isna Irawan (KRN)
17-11-2016

Di era informasi seperti sekarang ini, semakin jelas bahwa "konten" lebih penting daripada "kemasan." Kita perlu akui bahwa ijazah keahlian yang melekat pada guru di SMK tak semua mencerminkan keahlian sesungguhnya yang relevan bagi kebutuhan siswa.

Banyak para champion atau praktisi usaha (bahkan yang tak bergelar) terbukti memiliki keterampilan lebih mumpuni dalam bidang-bidang tertentu. Keterampilan yang mereka miliki sangat berguna untuk diajarkan. Jiwa para champion yang sudah teruji, baik keuletan, kegigihan, kreativitas, produktivitas dan kemandirian perlu ditularkan. Para guru dapat menjadi fasilitator untuk mempertemukan siswa dengan champion agar "virus entrepreneurships" menular ke siswa.

 Perlu pengorganisasian baru

Untuk melakukan terobosan ini, tentu tak semudah membalikkan tangan. Birokrasi sekolah pasti memiliki rambu-rambu yang dapat menjadi tembok penghalang. Belum lagi aturan perundang-undangan yang biasanya menciptakan kekakuan paling sulit untuk didobrak. Karena itu, perlu kepiawaian "mendayung melewati karang-karang."

KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)

Siswa Sekolah Menengah Kejuruan menyelesaikan pembuatan jam digital saat mengikuti lomba kompetensi siswa bidang elektronika di SMK Negeri 26 Jakarta, Selasa (25/10). Lomba ini diharapkan menjadi salah satu upaya meningkatkan kemampuan atau kemahiran siswa.
Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM)
25-10-2016

Untuk membahas berbagai potensi rintangan, perlu inventarisasi menyeluruh potensi masalah yang mungkin menjadi kendala. Namun tujuan utama dari inventarisasi ini adalah untuk mencari solusi dan mengambil langkah strategis guna merancang aksi. SMK inovatif perlu dikembangkan dengan memanfaatkan para champion yang tersebar di seluruh Indonesia. Sinergi adalah kata kunci dalam melakukan perubahan ini.