RON

Sawitri Supardi Sadarjoen

 

Ancaman kehilangan relasi dengan seseorang menjadikan diri kita tanpa dapat dihindarkan berada dalam kepekaan emosi yang intensitasnya tinggi. Apabila kita berada dalam kondisi emosi yang menurun, kita berada dalam situasi yang tidak mungkin terhindar dari kegagalan untuk berpikir kreatif atau berpola pikir yang jelas. Mungkin saja kita merasa seolah berpikir, tetapi sebenarnya sejujurnya kita hanya menunjukkan sikap reaktif saja.

Berpikir dengan cara seolah logis terkadang membuat diri kita justru terperangkap dalam situasi yang buruk karena kita meragukan diri kita dengan cara bersikap cenderung ke arah intelektualisasi, yang justru merupakan jalan untuk menghindari perasaan yang muncul, apakah perasaan terkait emosi yang menyenangkan atau yang mengesalkan. Lelaki pada umumnya sering dikritik oleh karena seolah bersikap logis sebagai pengganti dinilai emosional untuk pemecahan masalah yang dihadapinya daripada berpusat pada permasalahan yang terkait dengan kehidupan perasaan yang bersifat manusiawi. Kecuali itu kecenderungan untuk bersikap defensive terhadap obyektivitas fakta yang kita pikirkan membuat diri kita justru mengarahkan pikiran untuk menutup kata hati kita sehingga kecuali merasakan ketersiksaan batin sementara itu di sisi lain kita merasa kenyamanan yang datar yang justru membuat diri kita terpisah dari harkat kemanusiaan secara utuh karena pengabaian aspek emosi yang intens tersebut.

Namun, kita tidak pernah merasakan manfaat dalam membuat diri terpuruk secara emosional atau kehilangan kapasitas untuk berpikir tentang bagaimana kita seharusnya mengekspresikan pengaruh perasaan tersebut. Melalui bahasan kasus di bawah ini, kita akan mendapat gambaran yang lebih jelas tentang efek kecenderungan menghindari penghayatan emosional dan berupaya untuk bersikap rasional terhadap inter-relasi antarsuami-istri dalam ikatan perkawinan.

Kasus

"Kami sudah menikah selama 6 tahun dengan satu anak perempuan berusia 5 tahun, tiba-tiba sekitar dua tahun yang lalu, suami (L, 35 tahun) menjadi pendiam tidak suka bercanda lagi, bicara seperlunya. L bekerja di sebuah perusahaan swasta nasional dengan perkembangan karier yang cukup baik, ia juga suami yang baik, bertanggung jawab secara ekonomi, sering mengajak keluarga travelling," demikian P (istri L, 33 tahun).
Sejak 2 tahun terakhir ini, P merasa bahwa ada perubahan sikap L terhadap dirinya, hubungan intim suami istri sudah sangat jarang dilakukan, bahkan dapat dikatakan bisa dihitung dengan jari, terkesan asal memenuhi kewajiban dan tidak peduli apakah P sebagai istri mendapatkan orgasme atau tidak. Pulang dari kantor pun malam sekali sehingga ketika pulang, P dan anaknya sudah tertidur. Untuk kemudian pagi hari ke kantor kembali, demikian cerita lanjut dari P.

Ketika pada gilirannya L menghadap konselor, L menceritakan kehidupan perkawinannya sebagai berikut: "Saya rasa perkawinan kami sangat hambar dan saya sudah sama sekali tidak tertarik kepada istri saya. Saya sendiri tidak tahu sebabnya apa. Ketika konselor bertanya, apakah ada orang ketiga? Jawab L: "Tidak ada". Walaupun istri saya mencurigai ada relasi saya dengan rekan kerja, saya sendiri tidak memiliki harapan apa pun dengan rekan kerja yang dituduhkan istri saya, yang saya rasakan saat ini "hampa" tidak ada satu hal pun yang menarik perhatian saya.

P adalah teman kuliah saya, kami memang berpacaran, saya dari keluarga yang sederhana sekali sehingga sering harus bekerja apa pun untuk menyambung biaya kuliah saya. P selalu menolong saya membuatkan tugas kuliah, menandatangani presensi apabila saya tidak bisa hadir kuliah karena bekerja serabutan, saya pikir-pikir, agaknya kenapa saya nikahi P, hanya karena merasa berutang budi saat kuliah dahulu, bukan dilandasi cinta kasih yang tulus. Saya tidak mencintai P sungguh-sungguh, tetapi P selalu berbuat baik dan menolong saya dengan pekerjaan sekolah saya. Jadi andai P berpendapat saya berselingkuh, jadikanlah tuduhan perselingkuhan itu sebagai alasan perceraian kami.

Dua hari yang lalu saya bertengkar dengan P, agak keras pertengkaran tersebut karena tuduhan P semakin keras, yang akhirnya membuat emosi saya meledak tanpa kendali saya berteriak: Ya sudah kalau tidak percaya, saat ini juga saya ceraikan kamu. Kedua pasangan itu beragama Islam, kata cerai yang diungkap suami tersebut dalam ranah Islami adalah identik dengan talak 1 (perceraian mendadak yang bisa berlangsung beberapa saat) dan apabila saat tertentu habis, pasangan tersebut dapat dikatakan sudah benar-benar bercerai. Walaupun demikian, kedua pasangan bisa menikah lagi apabila dinginkan kedua pasangan saat luapan emosi menurun.

Namun ternyata, menurut L: "Dengan teriakan itu dada saya merasa plong lepas dari perasaan keterkungkungan emosional seperti yang saya rasakan selama ini dan terasa bebas dari peran sebagai suami. Saya benar-benar ingin sendiri dan mandiri serta bisa melakukan apa yang ingin saya lakukan yang juga tidak berarti saya mau menjalin relasi dengan perempuan yang dicurigai P tersebut."

Sementara itu, P benar-benar terenyak dan tidak menyangka bahwa dirinya telah serta-merta mendapatkan talak 1. P menangis tersedu memohon L agar bersedia tetap terikat perkawinan dengan dirinya, tetapi L benar-benar terdiam bergeming dan tidak memedulikan ratapan P. Kejadian perceraian mendadak tersebut membuat P merasa bersalah karena merasa kurang memperhatikan kebutuhan L, bersikap seenaknya, yang dalam pada itu sambil menunggu batas waktu jatuh talak P mulai memperbaiki sikap di rumah, menyiapkan makan pagi dan melakukan berbagai tugas rumah tangga dengan cara yang lebih tertata dan rapi guna menarik perhatian L.

Bagaimana reaksi L? L berkomentar sebagai berikut : "Ah, P mengubah sikap dan memperhatikan L karena terjadi peristiwa talak 1 tersebut. Kalau tidak terjadi hal itu, saya yakin P akan tetap bertahan dengan sikap tak peduli dengan tugas sebagai ibu rumah tangga dan sering berteriak marah apabila melihat anaknya tidak menuruti kemauannya." Dinamika iklim emosi dalam keluarga L.

L dalam kasus tersebut memiliki kecenderungan kepribadian introvert yang ditandai oleh sikap cenderung diam dan menelan setiap gejolak emosi dalam diri dan enggan mengungkapnya secara asertif. Orang dengan tipe kepribadian tersebut akan cenderung mencoba mengatasi permasalahan, baik yang menyangkut perasaan maupun perilaku dalam diri sendiri. Dengan demikian, P tidak pernah tahu bahwa banyak peristiwa di rumah yang sebenarnya mengecewakan L sebagai berikut.: "Yah, masih oke, tidak apa-apa".

Rasa kecewa yang berlanjut menjadi pemicu kehampaan emosi dalam iklim inter-relasi antarpasangan di rumah. L lebih suka tinggal di kantor daripada segera pulang ke rumah setelah pekerjaan selesai. Enggan bertemu dan bicara dengan P. Tumpukan emosi negatif berlanjut yang terkait dengan pengamatan dan pengalaman berumah tangga dengan L, sementara karena tidak pernah ada keluhan dan arahan dari L, P bersikap tenang-tenang saja tanpa merasa terusik.

Perhatian kedua pasangan tentang relasi intim suami istri, ketertarikan heteroseksual antar-pasangan, upaya menjaga keintiman relasi emosional juga terabaikan. Dengan tuduhan bahwa L berselingkuh, tiba-tiba merangsang L tanpa kendali meledakkan tumpukan emosi negatif yang selama ini tidak terungkap sehingga luapannya menjadi tidak terkendali. Maka, keluarlah ungkapan: "Saya ceraikan kamu".