ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN

Peneliti Senior NETGRIT Hadar Nafis Gumay menunjukkan sebaran caleg mantan napi korupsi yang diloloskan Bawaslu dalam diskusi di kantor ICW, Jakarta, Minggu (9/9). Diskusi tersebut mengambil tema Polemik Pencalonan Napi Korupsi: Antara Komitmen Partai dan Penuntasan di Mahkamah Agung.

Ikhtiar KPU untuk mencegah bekas narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif akhirnya buyar. MA membatalkan regulasi yang dibuat KPU.

KPU membuat pagar guna mencegah bekas napi korupsi menjadi caleg melalui Peraturan KPU Nomor 20 dan Nomor 26 Tahun 2018. Pencegahan melalui aturan pasal diharapkan lebih efektif untuk melahirkan dewan perwakilan yang terhormat dan punya integritas. Dewan yang bebas dari bekas napi korupsi.

Semangat KPU itu didukung KPK dan pegiat antikorupsi. Namun, sayang, niat KPU itu ditentang sejumlah bekas napi korupsi yang menggugat Peraturan KPU itu ke Mahkamah Agung. Badan Pengawas Pemilu pun berbeda pandangan dengan KPU. Bawaslu beralasan, Peraturan KPU itu bertentangan dengan UU No 7/2017 tentang Pemilu. Pagar yang melarang bekas napi korupsi menjadi caleg itu dibatalkan MA.

Harus diakui pimpinan partai politik pun bersikap mendua soal Peraturan KPU itu. Presiden Joko Widodo pernah mengatakan bahwa menjadi caleg adalah hak. Tidak ada komitmen yang tegas dari elite politik untuk tidak memberi ruang bagi bekas napi korupsi sebagai caleg. Seakan tidak ada caleg yang lebih berintegritas, banyak partai politik yang mengusulkan bekas napi korupsi menjadi caleg. Bahkan, menurut data Katadata.co.id, sebanyak 165 bekas napi korupsi mendaftar menjadi caleg.

Selamat datang bekas napi korupsi! Pintu untuk Anda telah dibuka Mahkamah Agung. Apa pun kegeraman dan kemarahan publik soal itu, putusan MA dengan segala kontroversinya haruslah dihormati. Cara pandang tiga hakim MA memang sangat legalistis dan menilai Peraturan KPU itu bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

Jebolnya pagar yang melarang bekas napi korupsi menjadi caleg menandakan belum satunya pandangan elite bangsa ini mengenai bahaya korupsi. Semangat reformasi yang dilahirkan Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme diabaikan. Etika Kehidupan Berbangsa yang dituangkan dalam Tap MPR No VI/2001 sama sekali tidak dilihat.

Data KPK mencatat sebanyak 61 anggota DPR dan DPRD telah menjadi tersangka kasus korupsi sepanjang Januari-Mei 2018.

Angka tersebut lebih dari separuh jumlah pejabat/karyawan swasta yang telah tertangkap komisi antirasuah yang mencapai 118 orang. Dengan demikian, sejak 2004, anggota DPR dan DPRD yang terlibat kasus korupsi telah mencapai 205 orang. Realitas itu tampaknya belum dilihat oleh elite bangsa ini, betapa bahayanya virus korupsi para wakil rakyat.
Tidak satunya pandangan di kalangan elite inilah yang menjelaskan mengapa virus korupsi terus tumbuh subur.

Virus korupsi sudah ada sejak zaman penjajahan kolonialis VOC sampai sekarang.