
Petugas pemadam kebakaran berusaha memadamkan api di sebuah gedung yang terkena serangan udara Rusia di kota yang dikuasai oposisi, Jadraya, sekitar 35 kilometer barat daya kota Idlib, Suriah, Selasa (4/9/2018). Pesawat-pesawat tempur Rusia, kemarin, menggempur Idlib yang dikuasai pemberontak untuk pertama kalinya dalam tiga minggu terakhir.
Rusia, Turki, dan Iran gagal melakukan gencatan senjata di Idlib. Perserikatan Bangsa-Bangsa khawatir akan terjadinya bencana kemanusiaan di Idlib.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Presiden Iran Hassan Rouhani bertemu di Teheran, Jumat (7/9/2018). Pertemuan itu hanya mengeluarkan pernyataan, tidak mungkin ada solusi militer untuk konflik (Suriah) dan hanya bisa berakhir melalui negosiasi politik.
Erdogan menghendaki gencatan senjata karena Turki akan menerima dampak dari serangan Rusia dan Pemerintah Suriah tersebut, yakni masuknya ribuan pengungsi. Putin mengatakan, Rusia akan terus memerangi kelompok militan yang dianggap teroris.

Sementara Rouhani menyatakan, Suriah harus mendapatkan kembali kendali atas semua wilayahnya.
Presiden Erdogan dalam sebuah cuitannya memprediksi, Idlib akan benar-benar banjir darah. Sementara itu, Pemerintah AS yakin, senjata kimia akan kembali digunakan di Idlib oleh pasukan loyalis Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Suriah harus mendapatkan kembali kendali atas semua wilayahnya.
Organisasi Pemantau Hak Asasi Manusia Suriah (SOHR) menyatakan, serangan masif dilakukan Rusia dan pasukan Assad. Helikopter pemerintah menjatuhkan 19 barrel bom di Idlib dan utara Hama, sementara pesawat Rusia menyerang 68 target. Idlib menjadi sasaran utama serangan karena merupakan satu-satunya provinsi yang masih dikuasai kelompok militan. Sekitar 30.000 anggota kelompok pemberontak dan jihadis diyakini ada di provinsi ini.
Jika kota yang dihuni sekitar 3 juta orang, dan diperkirakan satu juta di antaranya anak-anak, ini diserang, bukan tidak mungkin ratusan ribu pengungsi keluar Idlib. Dapat dipastikan mereka akan mengalir ke perbatasan Turki, sebagai daerah yang paling aman mengingat kondisi wilayah lain belum stabil.
PBB khawatir serangan besar-besaran ke Idlib hanya akan menimbulkan bencana kemanusiaan. Utusan baru AS untuk Suriah, Jim Jeffrey, mengatakan, konflik dapat berujung pada "eskalasi yang tidak diduga", dan bahwa "ada banyak bukti bahwa senjata kimia sedang dipersiapkan". Namun, Jeffrey tidak merinci bukti (senjata kimia) yang dimaksud.
Sekarang ini, Suriah merupakan satu-satunya pintu masuk Rusia ke Timur Tengah sehingga apa pun akan dipertaruhkan Rusia untuk mempertahankan kepemimpinan Presiden Assad. Wajar jika AS dan sekutunya di Timur Tengah terus berupaya menggulingkan Assad, Rusia akan terus menentangnya.
Di Timur Tengah sendiri, Iran dan Arab Saudi, yang dibayangi Turki, terus bersaing untuk tampil dominan di kawasan. Namun, tiga negara tersebut sekarang ini dihadapkan pada masalah dalam negeri yang tidak ringan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar