KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengamati daftar calon sementara anggota DPR RI di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (19/9/2018). Penetapan bakal caleg DPR, DPRD dan DPD, hingga bakal capres-cawapres akan diumumkan pada Kamis (20/9/2018).

KPU tidak punya pilihan, kecuali menaati putusan Mahkamah Agung yang memungkinkan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif.

Dengan putusan itu, MA sekaligus membuka peluang eks napi kasus pelecehan seksual pada anak dan bandar narkoba menjadi calon wakil rakyat. Sebab, putusan MA itu membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota maupun PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Perubahan atas PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD, yang memungkinkan bekas napi ketiga perkara itu untuk menjadi calon anggota legislatif (caleg).

Sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bekas napi memang dimungkinkan menjadi caleg, tetapi mereka harus mengumumkan statusnya secara terbuka. Tentu tak mudah memastikan caleg yang pernah menjadi napi itu mengumumkan statusnya dengan sesungguh-sungguhnya sehingga masyarakat benar-benar memiliki pemahaman yang lengkap mengenai sosok calon wakilnya itu. Selain umumnya pelaku kejahatan, termasuk korupsi, cenderung menyangkal melakukan perbuatannya, meski sudah diputuskan oleh pengadilan dan berkekuatan hukum tetap, juga di negeri ini status bekas napi adalah sebuah aib.

Jadi, bisa saja informasi tentang status bekas napi yang menjadi calon wakil rakyat itu tidak seutuhnya diterima oleh rakyat. Dengan demikian, bisa jadi caleg yang adalah bekas napi kasus korupsi, bandar narkoba, atau pelaku pelecehan seksual terhadap anak akan terpilih menjadi anggota DPR, DPRD provinsi atau kota/kabupaten, atau menjadi anggota DPD.

Nasi sudah menjadi bubur. Putusan MA sudah terjadi, dan tak bisa lain, masyarakat pun harus menghormatinya. Memang boleh saja dipersoalkan formalitas pengambilan putusan MA itu, yang dinilai tak sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun 2003 mengenai Mahkamah Konstitusi (MK), yang mengharuskan MA menunggu putusan MK kalau UU yang menjadi pijakan pengujian materi di MA tengah diuji di MK. MA tidak mungkin merevisi putusannya, dan MK pun tidak bisa menguji putusan MA.

Harapan mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), seperti diatur dalam Ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, kini, bergantung pada partai politik. Meski hukum memungkinkan, secara etika dan moralitas sebaiknya parpol tidak mengajukan kadernya yang pernah menjadi napi sebagai caleg. Harapan ini sulit terpenuhi karena parpol terbelah menyikapi putusan MA. Enam parpol tetap tak akan mencalonkan eks napi, serta ada parpol yang tetap mencalonkan eks napi atau menunggu sikap KPU.