
Presiden Joko Widodo (kiri) dan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Prabowo Subianto (kanan) saling berpelukan disela menyaksikan Pencak Silat Asian Games 2018 di di Padepokan Pencak Silat di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Rabu (29/8/2018).
Sejumlah hakim di daerah merasa terbebani dengan kejuaraan tenis beregu memperebutkan Piala Ketua Mahkamah Agung. Keluhan hakim itu bukanlah pertama kali.
Seperti diberitakan harian ini, Komisi Yudisial (KY) menerima keluhan dari sejumlah hakim di daerah karena mereka terbebani dengan biaya kejuaraan nasional tenis beregu itu, yang tahun ini diadakan di Bali (Kompas, 12/9/2018). KY menerima pengaduan, untuk kejurnas tenis tiga tahunan itu, setiap pengadilan tinggi tak kurang menyetorkan dana Rp 150 juta. Kejuaraan itu rutin digelar Persatuan Tenis Warga Pengadilan (PTWP).
Tentu MA membantah adanya pungutan untuk kejuaraan tenis itu. Namun, diakui kegiatan itu wajib. PTWP adalah organisasi resmi di bawah MA dan terbentuk sejak 1953. Pernyataan ini pun menimbulkan tanda tanya. Hakim wajib mengikuti tenis, dan MA mempunyai cabang olahraga "resmi"? Bagaimana dengan cabang olahraga lain? Apakah setiap hakim harus bermain tenis karena cabang olahraga itulah yang sejak lama digemari pimpinan MA? Jika benar, berarti ada ketidakadilan di kalangan pengadil.
Sebenarnya keluhan hakim di daerah, karena dimintai sumbangan untuk penyelenggaraan kejuaraan tenis di MA, bukan kali ini saja terjadi. Harian ini mencatat, sejumlah hakim di daerah resah karena permintaan sumbangan untuk mendukung turnamen tenis yang digelar PTWP. Hakim terpaksa membayarkan sumbangan, yang diminta atasannya itu (Kompas, 22/4/2009).
Kebiasaan pejabat pusat atau pejabat lebih tinggi membebani bawahannya, untuk mendukung kegiatan atau memberi sumbangan, terkadang tidak terkait langsung dengan tugas pelayanan masyarakat, terasa sungguh di negeri ini sejak dahulu. Jikalau ada pejabat dari pusat yang datang ke daerah, pejabat di daerah harus menanggung biayanya, termasuk harus menyambut dengan biaya sendiri atau ditanggung pihak lain, dan menyiapkan buah tangan. Padahal, biaya perjalanan pejabat itu sudah dianggarkan.
Hal ini pernah dikeluhkan seorang juru penerang di Sumatera Barat, misalnya melalui surat pembaca yang dimuat Kompas, 22 Agustus 1995. Menteri Agama Tolchah Hasan (saat itu) pernah menyerukan pelarangan pejabat daerah menanggung tiket perjalanan pejabat pusat yang sedang berkunjung ke daerah. Kunjungan kerja pejabat pusat ke daerah telah dibekali dengan biaya perjalanan (Kompas, 21/12/1999). Tak hanya di Kementerian Agama dan MA, perilaku pejabat pusat yang membebani aparat di daerah juga terjadi di institusi negara lainnya.
Memang dalam beberapa kasus, bukan pejabat pusat atau pejabat lebih tinggi yang berkeinginan membebani bawahannya. Tidak sedikit pula bawahan yang ingin mengambil hati atasan dengan berperilaku asal "menyenangkan" atasan. Namun, jika atasannya tegas menolak "layanan" lebih itu, tak akan terjadi adanya "beban lebih" pada bawahan tersebut.
Berkaca pada kasus iuran kejuaraan tenis di MA, permintaan sumbangan seperti itu akan membuat hakim mencari dana dari pihak luar. Pencari keadilan akan menjadi sasaran pengumpulan dana, dan keadilan boleh dikorbankan. Atau, pejabat yang ingin menyenangkan atasannya meminta "dana" dari pihak lain sebab ia tak memiliki anggaran untuk kegiatan itu. Suap terjadi. Rantai korupsi di negeri ini pun tak akan pernah putus.

Kompas, 13 September 2018

Tidak ada komentar:
Posting Komentar