Bagaimanapun pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia di Bali tetap prestisius bagi Indonesia. Pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia tersebut diperkirakan dihadiri lebih dari 15.000 delegasi dan nondelegasi dari 189 negara. Beberapa kepala negara, menteri keuangan, dan gubernur bank sentral dunia akan berkumpul di Bali. Ditambah lagi, banyak CEO pelaku bisnis global, akademisi, pengamat ekonomi, masyarakat, dan media sejumlah negara juga akan datang ke Bali.
Tak dimungkiri, banyaknya peserta pada acara berskala internasional tersebut akan memberikan berkah langsung untuk Bali. Setidaknya, seluruh hotel di Bali pasti akan fully booked, berbagai restoran dan tempat hiburan juga akan penuh. Berbagai destinasi obyek wisata di Bali akan ramai, termasuk berbagai suvenir akan diserbu pengunjung.
Oleh karena itu, pemerintah yakin acara tersebut akan berkontribusi mendongkrak pertumbuhan ekonomi di Bali mencapai 6,54 persen pada 2018. Setidaknya mampu memulihkan pariwisata di Bali yang terdampak erupsi Gunung Agung pada 2017 sehingga Bali hanya mampu tumbuh 5,59 persen.
Keuntungan yang akan diperoleh Bali tersebut tentu wajar. Pasalnya, pemerintah juga telah mengeluarkan dana besar guna suksesnya perhelatan akbar tersebut. Memang, jika hanya dihitung dari biaya perhelatan relatif kecil, hanya sekitar Rp 566 miliar. Itu pun pemerintah masih mengklaim sekitar Rp 100 miliar akan kembali lagi ke pemerintah melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Artinya, jika hanya dibandingkan antara biaya perhelatan dan manfaat ekonomi yang diterima, Bali masih surplus. Pemerintah memperkirakan sektor hotel dan akomodasi akan berkontribusi Rp 900 miliar, sementara sektor perdagangan Rp 800 miliar. Hitungan tersebut dengan asumsi lama rata-rata tamu tinggal di Bali sembilan hari karena peserta hadir sebelum dan setelah 8-14 Oktober 2018.
Diperkirakan akan menambah ribuan kesempatan kerja untuk melayani berbagai keperluan peserta. Apalagi, jika hotel dapat bermitra dengan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk membuka berbagai gerai produk lokal dan membuat paket wisata, tentu efek penggandanya akan lebih besar lagi.
Akan tetapi, jika dihitung secara total, setidaknya investasi guna mempersolek Bali melalui berbagai perbaikan infrastruktur menelan sekitar Rp 4,04 triliun, di antaranya, pembangunan terowongan (underpass) Simpang Tugu Ngurah Rai, perluasan apron Bandara I Gusti Ngurah Rai, serta peningkatan kapasitas Pelabuhan Benoa, dan penyelesaian proyek patung Garuda Wisnu Kencana.
Perbaikan infrastruktur tersebut guna memperlancar jalan, komunikasi, dan keamanan, dari bandara menuju kawasan Nusa Dua, termasuk meningkatkan kebersihan di Bali melalui pembangunan Tempat Pembuangan Akhir Sarbagita Suwung.
Tentu, Pertemuan IMF-Bank Dunia 2018 tidak hanya berdampak pada pariwisata di Bali. Pertemuan tersebut sekaligus sebagai momentum mempromosikan destinasi pariwisata unggulan di sejumlah daerah lain, seperti Labuan Bajo, Banyuwangi, Mandalika, Toba, dan Raja Ampat.
Kesuksesan acara di Bali dapat membangun citra positif sehingga ke depan pariwisata menjelma menjadi industri (leisure industry). Potensi sektor pariwisata dapat menjadi momentum memperbaiki defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) Indonesia.
Pada triwulan II-2018, defisit transaksi berjalan telah mencapai 8 miliar dollar AS. Sebelumnya, pada triwulan I-2018 defisit masih 5,7 miliar dollar AS. Jika devisa pariwisata dioptimalkan tentu tidak perlu waktu terlalu lama untuk memperbaiki tekanan defisit CAD tersebut.
Pada 2017, jumlah wisatawan asing baru mencapai 13,7 juta orang. Jika wisatawan asing membelanjakan rata-rata 1.000 dollar AS, akan dihasilkan devisa 13,7 miliar dollar AS. Ke depan, jika Bali berhasil dipilih berbagai negara sebagai tempat pelaksanaan meeting, incentive, convention, exhibition (MICE), hal itu tentu akan berpotensi melipatgandakan perolehan devisa.
Akan tetapi, menakar kegiatan IMF-Bank Dunia di Bali tentu tidak hanya menakar manfaat ekonomi. Jika hanya kalkulasi ekonomi tersebut yang dipaparkan, hal itu tentu akan sangat mudah dipatahkan. Bisa dengan dalih skala prioritas berdasarkan ketimpangan pembangunan, bahkan dibandingkan dengan urgensi upaya pembiayaan tanggap darurat penanganan setelah bencana, baik kebutuhan pembiayaan rehabilitasi atas gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat, maupun gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah.
Oleh karena itu, Indonesia sebagai tuan rumah harus memiliki dan memperjuangkan agenda yang lebih besar, terutama mendorong afirmasi kebijakan yang konkret dari IMF dan Bank Dunia untuk kepentingan negara-negara berkembang.
Terutama peran IMF-Bank Dunia dalam menyelesaikan "kegaduhan" percaturan ekonomi global saat ini. Misalnya, bagaimana sikap dan peran IMF-Bank Dunia terhadap kebijakan perdagangan Amerika Serikat yang terlalu proteksionis yang akhirnya memicu perang dagang. Juga urgensi sinergi IMF-Bank Dunia dalam mendorong inklusi keuangan di negara berkembang.
Ke depan, kebijakan yang direkomendasikan oleh IMF dan Bank Dunia harus lebih mendalami atau melihat karakteristik dan struktur ekonomi masing-masing negara, khususnya rekomendasi di negara berkembang.
Peran IMF dalam mendorong kerja sama moneter dan mengatasi persoalan neraca pembayaran sejumlah negara harus berkeadilan. IMF harus memiliki sistem dan berani bertindak jika kebijakan suatu negara dapat memicu instabilitas moneter internasional.
IMF tidak hanya bertindak sebagai pemadam kebakaran, menggelontorkan dana pinjaman kepada negara-negara anggota yang membutuhkan dana talangan, tetapi juga harus mampu mendeteksi dini jika ada kebijakan suatu negara yang berpotensi memilikicontagion effect meluas ke sejumlah negara. Demikian juga Bank Dunia harus bersinergi agar kebijakan IMF mampu memberantas kemiskinan dan ketimpangan dunia.
Selamat berkonferensi….
Kompas, 9 Oktober 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar