Deklarasi damai Pemilu Serentak 2019 yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum di Monumen Nasional (23/9/2018) menyiratkan aura optimisme bagi terwujudnya iklim kontestasi dengan suasana batin yang menceriakan dan menyenangkan.

Ini tampak dari wajah-wajah para kontestan yang tulus membacakan isi deklarasi damai. Bahkan, dua sosok kontestan yang paling menarik perhatian publik, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, terlihat dalam suasana batin yang meneduhkan melalui guratan wajah yang saling menebar senyum dan tawa lepas serta gandengan tangan erat.

Peristiwa yang sangat bersahaja tersebut seolah ingin mengulang momen keakraban keduanya saat sama-sama menonton lomba pencak silat Asian Games (29/8/2018). Melalui Yudani Kusumah Hanufan yang meraih emas kategori single men class, Jokowi dan Prabowo terlibat dalam satu peluk erat dan rangkulan hangat yang diselimuti bendera Merah Putih.

Dalam kaitan ini, peluk erat dan gandeng tangan penuh kesahajaan yang ditunjukkan oleh dua sosok paling fenomenal di tahun politik yang serba sensitif, memberikan sinyalemen kuat bahwa para elite yang selama ini sedang mempersiapkan diri dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 sebenarnya sudah menyiapkan segala risiko dan konsekuensi-logisnya dengan kepala dingin. Bahkan, kedua pasang kontestan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tersebut sama-sama menyampaikan itikad baiknya kepada publik agar kontestasi pilpres di tahun 2019 harus dihadapi dengan suasana yang menyejukkan.

Akan tetapi, saat para kontestan elite pilpres sudah saling mengingatkan semua elemen bangsa agar tidak menghabiskan tenaga dan pikiran negatif untuk membuat gaduh, yang menjadi ganjalan adalah mengapa kita yang berada di level bawah terbawa dalam arus emosi yang saling menghinakan? Mengapa kita rela terjebak dalam slogan-slogan minor yang secara nyata hanya mengarahkan pada segregasi sosial yang kehilangan arah? Mengapa kita habiskan sebagian besar energi dan waktu kita pada skema pergerakan yang serba absurd? Mengapa kita tidak melakoni apa yang jadi harapan kedua elite kontestan, yang mengajak berbagai pihak agar membangun persaudaraan mencapai kemajuan masa mendatang?

Jiwa besar

Sejatinya kita harus belajar kepada para atlet Asian Games yang berlaga di berbagai cabang olahraga. Mereka berasal dari beragam identitas agama, norma, etnis, dan budaya, tetapi terajut dalam satu rasa yang setara, yaitu emosi kebangsaan dan nasionalisme. Mereka saling tepo seliro untuk berbagi kebanggaan dan kebahagiaan tanpa melihat warna kulit, gaya busana, dan emosional kelompok lainnya.

Dengan kesadaran menjaga persatuan dan persaudaraan, para atlet berupaya memahami bagaimana menjalankan tugasnya dengan jiwa besar dan lapang dada. Lihatlah apa yang dilakukan Yudani yang mengawali selebrasi kemenangannya dengan sujud syukur, lalu menyalami para tamu penuh hormat dan merangkul kedua sosok penting yang menjadi perhatian publik akhir-akhir ini. Dampak positif yang dilakukan Yudani adalah semua pihak dibuat takjub penuh haru sekaligus salut pada sikap Yudani yang berhasil menyatukan Jokowi dan Prabowo dalam satu tarikan napas kekeluargaan yang hangat.

Sosok Yudani merepresentasikan salah seorang olahragawan dari sekian atlet yang memiliki perasaan yang sama: bahwa melalui olahraga yang ditekuninya harus memberikan kontribusi penting bagi persatuan dan perdamaian Indonesia. Keberadaan para atlet yang bersedia menjadikan olahraga sebagai instrumen terciptanya kohesi sosial dan spirit kewargaan yang inklusif adalah aset bangsa yang perlu kita teladani (J Kristiadi, "Pesona Pelukan Keindonesiaan", Kompas, 13/9/2018).

Jangan mau diadu domba

Ketika kita bisa meresapi makna penting persatuan dan persaudaraan sebagaimana dipersonifikasikan oleh para atlet, maka menjadi keniscayaan bagi kita untuk menegasikan aneka macam adu domba yang selama ini dilakukan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Kita perlu bersikap kritis pada siapa pun yang sengaja menebar kebencian dan permusuhan melalui berbagai simbol ataupun tagar yang selama ini menghiasi ruang interaksi kita, baik secara daring (online) maupun luring (offline).

Janganlah kita terjebak pada rentetan aksi bertagar #2019GantiPresiden dan semacamnya yang dilakukan berbagai kelompok yang secara nyata ingin menyegregasikan kita ke dalam kubangan kebencian. Semisal berbagai aksi  #2019GantiPresiden yang dipepolori oleh beberapa figur publik yang getol menggunakan dogma agama sebagai alat penegasian Jokowi pada masa Pilpres 2019 di sejumlah daerah. Dengan glorifikatif, penggerak aksi tersebut menyertai aksinya dengan tebaran kebencian di hadapan para pendukungnya.

Demikian pula aksi tagar #2019Jokowi2Periode yang mungkin dimanfaatkan oknum tertentu untuk memecah belah persaudaraan dan mencoba menggiring massa pada pengutuban kelompok yang negatif, sebaiknya kita kritik agar kita tidak kehilangan arah kebangsaan dan spirit persaudaraan yang justru harus diutamakan. Sebab, disadari atau tidak, dua corak tagar yang tendensius dan disikapi secara berlebihan akan mengarah pada terbentuknya mental truth claim; paling merasa benar sendiri sekaligus menyalahkan pihak lain dengan beragam cara.

Semestinya, aksi tagar yang dicanangkan adalah tagar yang bervisi kebangsaan dan misi persaudaraan. Hal ini sebagaimana tergambar pada Gerakan  #2019PilpresCeria yang dipelopori Mahfud MD di Surabaya (21/9/2018). Melalui gerakan ini, Mahfud ingin menegaskan pentingnya kedewasaan dalam menentukan pilihan sesuai pandangan masing-masing tanpa disertai dendam kesumat berkepanjangan. Secara sosiologis, ajakan ini menjadi semacam kanopi suci—meminjam istilah Peter L Berger—yang meniscayakan adanya keterhubungan emosional yang positif dan ingin melepaskan Pilpres 2019 dari jebakan saling tuding dan memecah belah.

Selebihnya, marilah kita rapatkan barisan kebangsaan untuk mengedepankan semangat persatuan dan perdamaian demi Indonesia yang sejuk. Sebab, menjaga dan merawat keutuhan berbangsa dan bernegara yang damai dan aman jauh lebih berharga daripada sekadar pilpres lima tahunan.