Dalam setahun terakhir ini banyak diseminarkan dan diulas, termasuk di Kompas, dampak dari Revolusi Industri 4.0 untuk bidang pertanian.

Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam Pembukaan Dies Natalis ke-55 pada
1 September 2018 juga mengambil tema "Pertanian 4.0 untuk Kedaulatan Pangan". Pertanian 4.0 seolah-olah menjadi magic bullet untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pertanian dan pangan umat manusia di masa depan. Benarkah demikian? Tidak hanya di Indonesia, Pertanian 4.0 juga menjadi program penting di sejumlah negara berkembang yang ekonominya sedang tumbuh pesat. Vietnam yang mengalami masa pertumbuhan pertanian yang tinggi selama 30 tahun terakhir sejak Doi Moi di 1989 juga mulai mengadopsi Pertanian 4.0 dalam program dan kebijakannya (Dung and Hiep, 2017).

Selain telah mencapai swasembada, sektor pangan di Vietnam saat ini menyumbang ekspor tahunan 30 miliar dollar AS atau 23-25 persen total ekspor
dan 22 persen produk domestik bruto (PDB). Model pertumbuhan pertanian yang cepat seperti itu harus digerakkan melalui motor ekstensifikasi, asupan input energi tinggi yang diikuti tergerusnya sumber daya alam. Akibatnya, laju peningkatan produksi mulai mengalami stagnasi. Dalam konteks tersebut, Pertanian 4.0 seolah-olah menjadi jawaban untuk menjamin pertanian tetap tumbuh sekaligus menjaga kualitas dan daya dukung lingkungan di tengah sumber daya yang serba terbatas.

Revolusi Industri dan Pertanian 4.0

Revolusi Industri 4.0 yang mendasari munculnya ide Pertanian 4.0 berawal dari Klaus Schwab dan World Economic Forum yang memproklamasikan masuknya Revolusi Industri ke-4 yang dicirikan oleh fusi berbagai teknologi yang mengaburkan batas antara dunia fisik, digital, dan biologi (Schwab 2017). Sayangnya hingga saat ini belum ada definisi yang secara umum  diterima terkait Revolusi Industri 4.0 (Lee dan kawan-kawan 2018). Sebelumnya, yaitu Revolusi Industri 3.0, memfokuskan diri pada perubahan paradigma dari masyarakat berbasis bahan bakar fosil ke masyarakat berbasis energi alternatif dan terbarukan.

Ketika saat ini berbicara Revolusi Industri 4.0, dalam kenyataannya Industri 3.0 pun masih sebatas retorika belaka. Hingga sekarang masyarakat dunia masih tetap masyarakat berbasis energi fosil. Sumbangan energi alternatif dan terbarukan hanya 10,3 persen (bila dikurangi energi asal pembakaran biomassa tradisional) (REN21, 2016) kenaikan yang sangat kecil dibandingkan 14 tahun lalu yang berada pada angka 8,0 persen.

Industri 4.0 dibangun berdasarkan suatu asumsi dan perkembangan terakhir ekspansi horizontal teknologi digital meliputi cyber-physical system (CPSs), internet of thinks (IoT), big data, intelegensia buatan, robotik, serta aspek praktis yang mengikutinya, termasuk "pabrik cerdas", 3D printing, otomatisasi, organisasi, kerja sama, mobilitas, distribusi, pasar, dan keterbukaan inovasi berbasis digital (Digital Transformation Monitor 2017, Lee 2018).

Sayangnya ketika teknologi informasi (TI) mulai mendominasi hampir seluruh industri ternyata tidak menghasilkan performa ekonomi yang diharapkan karena diikuti akselerasi ketimpangan. Hal ini berbeda dengan Revolusi Industri 2.0 yang berbasis penemuan mesin bakar, listrik, dan otomatisasi pabrik yang berhasil mengubah wajah ekonomi dunia karena peningkatan efisiensi dan produktivitas.

Istilah Revolusi Industri 4.0 kemudian tanpa berpikir panjang diadopsi dengan cepat di dunia pertanian dan pangan dengan definisi yang semakin kabur sehingga muncul istilah "Pertanian 4.0". Fase revolusi di dunia pertanian dibagi-bagi mirip dengan penahapan revolusi di dunia industri yang sebenarnya kurang dikenal di dunia pertanian. Perkembangan pertanian dibagi menjadi Pertanian 1.0 di awal abad ke-20, disusul Pertanian 2.0 ketika "Revolusi Hijau" masuk pada akhir tahun 1950-an. Pertanian 3.0 dicirikan dengan pertanian presisi dan penggunaan sinyal GPS (global positioning system) yang saat itu hanya dimiliki militer. Pertanian 4.0 muncul kemudian akibat perkembangan yang sangat cepat di teknik sensor, mikroprosesor, komunikasi, sistem ICT berbasis cloud dan big data (CEMA 2017).

Pertanian 4.0 mengandalkan robot, sensor, peta digital real time terkait kondisi air, hara tanah bahkan hama untuk aplikasi air, pupuk dan pestisida dengan jitu, serta pemanfaatan lebih optimal energi matahari dan air laut untuk menghasilkan pangan. Beberapa perusahaan mulai mengembangkan sistem hidroponik dan pertanian vertikal berbasis air laut dan energi matahari. Lainnya mengembangkan budidaya ganggang mikro untuk pengganti tepung ikan. Di bidang bioteknologi, selain rekayasa genetika klasik juga sedang dikembangkan teknologi CRISPR (clustered, regularly interspaced, short palindromic repeat) untuk mengedit gen tanaman, pengembangan meat without the butcher melalui kultur sel hewan serta 3D printing untuk membuat pangan berbahan baku ganggang mikro.

Berbagai teknologi baru sedang dan akan digunakan di bidang pertanian, di antaranya IoT, pengendalian jarak jauh pertanaman, pertanian berbasis data, chatbots untuk membantu petani memecahkan berbagai masalah di usaha tani, serta penggunaan drone untuk berbagai keperluan, dari perencanaan tanam hingga monitoring pertanaman. Pertanian 4.0 juga ditandai pemanfaatan partikel nano untuk pemupukan dan pengendalian hama serta biosensor untuk pertanian presisi (World Government Summit 2018).

Istilah Pertanian 4.0 sebenarnya kurang begitu tepat disandingkan dengan konsep Industri 4.0. Parameter-parameter di dalam proses produksi pertanian sangat berbeda dengan proses industri. Produksi pertanian sangat ditentukan oleh faktor- faktor hayati dan alam. Alam, biologi, dan genetik memiliki dunianya sendiri yang sudah berevolusi selama miliaran tahun hingga sampai kondisi yang ada saat ini. Sudah barang tentu kondisi tersebut tidak mudah diubah sesuai kehendak manusia yang menjadi penghuni paling muda dalam rentang waktu evolusi.

Kita tidak mungkin membuat pangan dengan mengombinasikan semua unsur kimia dan energi yang tersedia di alam ini. Pangan tetap diproduksi oleh tanaman, hewan, dan makhluk hidup lainnya, baik dulu, masa kini, maupun untuk selamanya. Proses produksi pangan juga tetap akan dilakukan oleh petani, baik besar, menengah, maupun kecil, dan hampir seluruhnya tetap menggunakan tanah sebagai media tumbuh utama.

Pertanian 4.0 dalam konteks Indonesia

Diperkirakan melalui Pertanian 4.0 negara-negara produsen pangan dunia yang terdiri dari negara-negara maju di utara dan sebagian selatan (Australia) akan kian mendominasi pertanian dan pangan. Negara-negara dengan populasi masyarakat terdidik yang tinggi, biaya energi yang rendah dengan pemerintahan yang terus mendorong upaya kerja sama publik-swasta, akan menjadi pemimpin dunia di era Pertanian 4.0 (World Government Summit 2018). Hal tersebut semakin diperkuat dengan praktik lazim yang dilakukan negara-negara maju yang memberikan perlindungan luar biasa ke petani-petani mereka dan menggelontorkan dana subsidi pertanian dan pangan yang sangat besar. Pertanian 4.0 berpotensi memperbesar ketimpangan antara negara maju dan berkembang di sektor pangan dan pertanian.

Dalam konteks Indonesia, Pertanian 4.0 juga memiliki sisi mata uang sama dengan konteks global. Selama ini petani kecil merupakan pihak yang hampir selalu tersingkirkan ketika tercipta kesempatan akibat penemuan baru atau perkembangan di bidang inovasi dan teknologi. Kapasitas mereka dalam memanfaatkan inovasi ataupun teknologi baru selalu tertinggal dari kelompok masyarakat lain sehingga petani akhirnya hanya dimanfaatkan untuk memperbesar keuntungan pemilik modal dan penguasa teknologi.

Dalam piramida sistem pertanian di Indonesia, 26,14 juta (saat ini diperkirakan tinggal 24,12 juta) rumah tangga tani (ST 2013), yang terdiri dari petani kecil, petani keluarga, petani tradisional, dan buruh tani yang mewakili sekitar 90 juta masyarakat Indonesia berada di dasar piramida dengan kesempatan paling rendah untuk memanfaatkan setiap kemajuan teknologi yang ada. Puncak piramida dihuni sangat sedikit masyarakat yang terdiri dari agrobisnis nasional/trans-nasional, masyarakat terdidik di sektor pertanian, pemodal dan pengusaha besar, importir, industri pangan, dan spekulan. Kelompok teratas di piramida sistem pertanian dipastikan akan menikmati era Pertanian 4.0. Dengan demikian, kesimpulan sementara bahwa Revolusi Industri 4.0 diduga akan mengakselerasi ketimpangan akan kian nyata terlihat di pertanian kita.

Pertanian 4.0 dicirikan dengan kapital intensif dan memerlukan waktu lama untuk mengembalikan modal. Berkaitan dengan itu, Pemerintah Vietnam sebagai contoh menawarkan paket kredit dengan bunga murah sebesar 4,4 juta dollar AS untuk perusahaan-perusahaan yang mengembangkan pertanian bersih (clean agriculture) dan berteknologi tinggi dengan target terbentuknya 200 bisnis pertanian teknologi tinggi pada tahun 2020 (Dung and Hiep 2017). Contoh itu semakin membenarkan arah dan keberpihakan Pertanian 4.0 yang semakin menjauh dari kepentingan petani kecil yang selama ini mengalami problem besar karena ketiadaan akses terhadap permodalan dan sumber daya produktif lainnya.

Dengan demikian, janji bahwa Revolusi Pertanian 4.0 akan memberikan daya ungkit terhadap lapisan masyarakat terbawah sebagaimana sering disampaikan banyak pakar dan akademisi barangkali akan berujung sebatas retorika ataupun klaim semata. Konsolidasi lahan dan manajemen pertanian pangan skala besar sebagai prasyarat Pertanian 4.0 justru berpotensi menurunkan produktivitas dan kesejahteraan petani di negara berkembang sebagaimana hasil kajian The Levy Economics Institute, New York, yang menemukan fenomena inverse size-yield relationship (Ünal 2008).

Pembenahan perlu dilakukan oleh Indonesia sehingga Pertanian 4.0 benar-benar memberi kemanfaatan bagi petani kecil. Peningkatan proporsi petani muda progresif di tengah kenyataan penurunan jumlah petani muda menjadi tugas rumah dan tantangan bersama. Literasi TI hingga di tingkat usaha tani menjadi tantangan lain yang perlu diatasi di tengah bias penggunaan TI yang menjauhi dunia pertanian. Perlindungan harga di tingkat usaha tani untuk menarik kewiraswastaan usaha pertanian terbentur dengan kebijakan rezim pangan murah dan kebijakan subsidi dan bantuan yang salah arah. Syarat terpenting adalah reorientasi ekonomi-politik untuk membalikkan piramida sistem pertanian di Indonesia agar lebih demokratis. Bila berbagai syarat perlu itu tak diupayakan, semua akan berakhir di tumpukan kertas indah berjilid-jilid di perguruan tinggi, litbang, kementerian, ataupun Bappenas. Semoga sedulur tani kecil tidak kian termarjinalkan dan terempas oleh ide dan gelombang besar yang masih prematur ala Pertanian 4.0.

Dwi Andreas Santosa Guru Besar IPB; Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) dan CORE Indonesia


Kompas, 9 Oktober 2018