SUGIYANTO

DKK menyalurkan bantuan untuk korban gempa donggala dan palu. Semua keperluan bantuan dibelikan di pasar makasar seperti pakaian dalam wanita, tas, kelambu bayi, pakaian anak, pakaian dewasa.

Pada 28 September 2018 terjadi gempa bumi dangkal dengan Magnitudo Momen 7,5 (USGS) di Kota Palu dan wilayah Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Serangkaian gempa bumi  sebelumnya juga terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Juli dan Agustus 2018.

Dalam setahun terakhir, tercatat ada enam kejadian gempa bumi signifikan dengan Magnitudo Momen lebih dari 6,5 yang telah melanda wilayah Indonesia. Secara umum, berdasarkan katalog gempa bumi yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), di Indonesia ada lebih dari 500 kejadian gempa bumi yang dirasakan setiap bulannya.

Jika kita gambarkan titik-titik pusat sumber gempa bumi tersebut di peta, hampir keseluruhan kepulauan Indonesia riuh tertutup oleh titik-titik pusat gempa ini, kecuali sebagian Kalimantan dan selatan Papua.

Hal ini sebenarnya tak mengherankan. Sebab, wilayah Indonesia berada di perbatasan lempeng benua yang secara alami merupakan tempat pelepasan energi tektonik dalam bentuk gempa bumi ataupun erupsi gunung api yang akan terjadi secara periodik. Meski periodisitas gempa bumi dan erupsi gunung api ini belum diketahui secara pasti, satu hal yang perlu dicatat, secara saintifik—di masa yang akan datang—ancaman gempa bumi masih akan terus ada di seluruh wilayah Indonesia.

Untuk wilayah yang berada di pinggiran pantai, ancaman kejadian tsunami pun akan terus mengintai. Sementara di daerah sekitar gunung api, bahaya letusan gunung—baik primer maupun sekunder—juga akan terus terjadi. Di sinilah sebetulnya ada sebuah pekerjaan besar yang harus diemban oleh seluruh komponen bangsa ini, yaitu bagaimana menyadarkan masyarakat bahwa kita hidup di jalur aktivitas gempa bumi dan gunung api, serta bagaimana upaya penyelamatan diri guna mengurangi risiko bencana tersebut.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebetulnya telah mengatur hal-hal mendasar mengenai penanggulangan bencana alam. Berdasarkan aturan itu, ada tiga komponen yang saling mengisi dalam upaya pengurangan risiko bencana alam: profesional atau tenaga ahli, pemerintah, dan masyarakat. Ketiga komponen ini harus terus-menerus bersinergi untuk menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.

Tugas profesional adalah memetakan secara rinci daerah-daerah yang berpotensi terjadi bencana gempa bumi atau tsunami, jenis sumber gempanya dan kerentanan wilayah di sekitar sumber gempa tersebut. Selanjutnya, pemerintah selaku pemangku kepentingan menggunakan informasi dari profesional tersebut, membuat serangkaian regulasi tentang penataan wilayah, spesifikasi bangunan, ataupun infrastruktur yang harus dipenuhi oleh masyarakat sesuai dengan karakteristik kerentanan setiap wilayah. Dalam hal ini, pemerintah wajib secara tegas menerapkan aturan itu demi keselamatan orang banyak. Dalam pelaksanaannya, diperlukan peran masyarakat yang memiliki kesadaran tinggi atas potensi bahaya yang mengancam dan menaati peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Tak kurang banyaknya kajian saintifik  canggih yang telah dilakukan oleh ahli kebencanaan mengenai gempa bumi, tsunami, dan gunung api di Indonesia. Bahkan, khusus untuk gempa bumi, berbagai referensi buku dan informasi tentang peta sumber dan bahaya gempa yang telah direvisi secara berkala dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat.

Pemerintah pun, berdasarkan rekomendasi dari para profesional tersebut, telah membuat standardisasi pekerjaan umum, baik menyangkut bangunan, gedung bertingkat, jembatan, maupun infrastruktur dan pendukungnya, agar tahan terhadap gempa bumi. Informasi ini pun dapat diakses oleh masyarakat (http://www.sni.litbang.pu.go.id). Standardisasi ini telah dimasukkan sebagai syarat pengajuan izin mendirikan bangunan (IMB).

Kesadaran masyarakat

Komponen terakhir yang jadi penentu adalah bagaimana kesadaran masyarakat untuk mematuhi aturan yang telah ditetapkan pemerintah, dengan membuat bangunan yang sesuai standar yang telah ditetapkan. Hal inilah yang mungkin masih menjadi pekerjaan kita bersama, bagaimana dapat menyadarkan masyarakat, hingga ke pelosok Tanah Air, bahwa kita hidup di daerah yang rawan bencana.

Kita sering hanya puas dengan studi-studi dan kajian-kajian, tetapi sepi dalam implementasi. Kita biasanya baru ingat kembali terhadap hasil-hasil studi dan kajian itu saat bencana terjadi. Studi dari ilmu kebumian jelas menunjukkan bahwa negara kita rawan bencana gempa bumi.

Pertanyaannya, apakah hasil studi itu ditindaklanjuti dengan upaya mitigasi yang memadai. Misalnya pengaturan tata ruang dan wilayah yang tegas oleh pemerintah. Artinya, jika diperlukan harus merelokasi permukiman yang berada di jalur merah bahaya gempa bumi bisa dilakukan dengan tegas. Hal ini tidak mudah. Namun, jika pemerintah mau menempuh langkah tegas, diikuti kebesaran hati masyarakat untuk mematuhi aturan, hal tersebut bukan hal yang mustahil dapat terlaksana.

Berkaca pada upaya mitigasi bencana Gunung Merapi di Yogyakarta, sebuah kerja sama yang harmonis antara pemerintah dan masyarakat memungkinkan relokasi warga yang tinggal di zona merah bahaya erupsi Merapi dapat direalisasikan dengan baik, walau tentu masih perlu penyempurnaan di sana-sini.

Upaya terus-menerus perlu dilakukan untuk menyadarkan masyarakat mengenai apa yang harus dilakukan apabila sewaktu- waktu terjadi gempa bumi dan tsunami. Sosialisasi dapat ditempuh melalui forum akademik di sekolah ataupun forum-forum informal di masyarakat. Masyarakat yang memiliki kesadaran atas bahaya gempa akan memiliki kepedulian atas keselamatan dirinya. Termasuk saat membangun rumah, mereka dengan kesadaran sendiri dapat membuat bangunan yang sesuai dengan standar kelayakan bangunan yang tahan gempa bumi.

Negara-negara Eropa bisa maju karena ada empat musim yang terjadi secara periodik, yang mengharuskan mereka memutar otak untuk bisa bertahan dan hidup secara nyaman. Posisi Indonesia yang diletakkan di daerah yang aktif secara tektonik, dengan periodisitasnya  yang masih sulit diketahui, bisa jadi soal berat yang diberikan oleh Tuhan untuk mendidik bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju, bangsa yang kuat.

Sebagaimana tagar #PaluKuat yang beredar sesaat setelah bencana gempa dan tsunami, kita sebagai bangsa perlu mendidik diri untuk sadar atas kondisi tersebut. Indonesia sadar bencana gempa, tsunami, dan erupsi gunung api: #IndonesiaKuat.