Harapan besar digantungkan pada Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali untuk mencari jalan keluar dari kemelut dan ketidakpastian ekonomi global saat ini.
Pertemuan ini berlangsung di tengah situasi perekonomian global yang tak kondusif, antara lain ditandai oleh bangkitnya proteksionisme dan kian memanasnya perang dagang dua perekonomian terbesar, Amerika Serikat dan China, dan juga dengan Uni Eropa, Kanada, Meksiko, serta mitra dagang lain.
Dunia juga dihadapkan pada gejolak ekonomi negara-negara berkembang, terutama akibat krisis utang dan tekanan nilai tukar, sejalan dengan menguatnya dollar AS, naiknya suku bunga AS, dan membaiknya ekonomi AS. Ekonomi dunia juga dihadapkan pada menguatnya harga minyak mentah dunia.
Sekitar 34.000 orang akan berkumpul di Bali. Selain mengagendakan pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara anggota, acara yang berlangsung pada 9-14 Oktober itu juga menjadi ajang temu pengambil keputusan di pemerintahan, bankir, pebisnis, ekonom, pengamat, aktivis, media, dan lainnya.
Isu kelangsungan pertumbuhan ekonomi dunia di tengah ketakpastian dan absennya kepemimpinan global akan jadi tema sentral. Menghindari malapetaka ekonomi global akibat dampak destruktif kombinasi berbagai faktor di atas dipastikan akan menjadi concern semua delegasi yang hadir. Apalagi bangkitnya proteksionisme kali ini juga dibarengi terpuruknya arus investasi global dan kinerja sektor manufaktur. Baik IMF, Bank Dunia, maupun OECD sudah merevisi ke bawah prediksi pertumbuhan global pada 2018 dan 2019 akibat berbagai tekanan di atas.
Kapasitas lembaga seperti IMF dan Bank Dunia dalam mengatasi krisis di negara-negara yang mengalami kesulitan akibat krisis utang atau nilai tukar kemungkinan juga dibahas di sini. Argentina dan Turki adalah dua negara yang lebih dulu tumbang, dengan kolapsnya nilai tukar mata, bahkan Argentina dipaksa minta dana talangan IMF. Sejumlah ekonom memperkirakan Brasil giliran berikutnya yang akan mengalami turbulensi finansial di 2019. Afrika Selatan dinilai juga rentan.
Venezuela juga terpuruk dalam krisis ekonomi terburuk dalam sejarah: nilai tukar terdepresiasi sekitar 100 persen, kelangkaan pangan dan krisis pelayanan medis melanda, inflasi diperkirakan IMF mencapai 1 juta persen, lebih dari 1 juta warga eksodus.
Indonesia sendiri mengalami tekanan berat beberapa bulan terakhir, khususnya akibat pelarian modal dan melemahnya rupiah. Meski sempat disebut S&P salah satu dari lima perekonomian rentan (fragile five) bersama India, Turki, Brasil, dan Afrika Selatan di 2017, fundamental ekonomi kita dinilai IMF dan Bank Dunia kuat, jauh lebih baik dibandingkan sebelum krisis 1997/1998, tetapi harus memperbaiki neraca berjalan.
Di sinilah pertemuan Bali dan posisi Indonesia menjadi penting. Meski hanya memiliki kekuatan suara (voting) 1,03 persen di IMF/Bank Dunia, Indonesia adalah perekonomian ke-16 terbesar yang bersama anggota G-20 lain memainkan peran dan pengaruh signifikan dalam percaturan ekonomi global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar