Pada Minggu, 23 September, kedua pasangan yang akan bersaing dalam Pemilu Presiden 2019 mengucapkan janji-janji yang tertuang dalam deklarasi kampanye damai.
Bagi penduduk negeri ini, deklarasi ini dilihat sebagai simbol komitmen kedua pasangan untuk tidak melakukan kampanye negatif yang dapat memecah belah bangsa ini. Keutuhan negeri ini memang belakangan ini cukup mencemaskan. Becermin pada kampanye Pemilu 2014 dan situasi saat hitung cepat, juga Pilkada DKI 2017, dan aneka komentar di media sosial sampai hari-hari ini, tidak ada yang merasa bahwa telah terjadi bipolarisasi politik menjelang Pemilu Presiden 2019.
Tidak mengherankan jika banyak pihak sekarang ini memasang sikap berjaga. Apakah janji yang sudah diikrarkan ini dapat diwujudkan dalam kampanye yang sudah mulai berjalan?
Harapannya, jika kedua pasangan dan terutama pendukung masing-masing sungguh berpegang pada janji untuk melaksanakan kampanye damai, luka di masyarakat akibat laku politik selama beberapa tahun terakhir dapat perlahan sembuh. Sebaliknya, jika janji kampanye damai ini diabaikan, bipolarisasi yang kepalang muncul dan tampaknya sengaja dipelihara oleh beberapa pihak, dengan cepat dapat bergeser menjadi dualisme politik.
Ancaman dualisme politik
Dualisme politik terjadi ketika pesaing politik tak lagi dipandang dan diperlakukan sebagai negarawan atau politisi yang memiliki visi politik berbeda, tetapi sebagai the evil enemy, musuh yang jahat dan layak masuk neraka. Jika butuh contoh, simak saja unggahan seorang politisi di akun Instagramnya baru-baru ini yang memicu banyak protes: yang pilih capres A masuk surga! Yang tidak pilih capres itu dan yang menghina, berkata fitnah dan nyinyir, bakal masuk neraka. Kira-kira begitu bunyinya.
Komentar semacam ini memperlihatkan bahwa persaingan politik dalam pemilu dapat begitu cepat berubah seakan-akan lalu menjadi pertempuran di tingkat kosmis, antara kekuatan baik dan kekuatan jahat. Tentu saja setiap kubu dengan berbagai cara akan mengklaim bahwa kelompoknya adalah laskar prajurit yang berdiri di bawah panji-panji kebaikan. Padahal, keduanya sama bengisnya dalam menghabisi lawan politiknya.
Sikap bengis dengan mudah muncul karena dualisme dalam politik mengubah cara pandang terhadap lawan politik. Lawan politik tidak lagi hanya dilihat sebagai sosok politisi atau negarawan yang tidak kompeten, dan dengan demikian, tidak layak memenangi pemilu. Dualisme menciptakan gambaran bahwa orang yang dianggap lawan adalah musuh yang jahat, dan karena itu, niscaya akan mendatangkan mala petaka bagi seluruh negeri.
Dalam arti yang lebih mendalam, dualisme politik menempatkan yang buruk/jahat bukan pada tindakan, niat atau sikap seorang politisi. Yang buruk/jahat adalah seluruh eksistensi sang lawan politik. Persis karena itu, ketika dualisme merasuki panggung politik masing-masing pihak yang bersaing akan berlaku bengis. Lawan politik dalam kancah pemilu tidak cukup hanya dikalahkan. Lawan politik harus dienyahkan dan ditutup kemungkinannya untuk terlibat dalam kontestasi pemilu.
Cara pandang terhadap lawan politik ini memperlihatkan prinsip dasar yang menggerakkan dualisme. Dalam paham dualisme, kebaikan diyakini baru akan tercipta jika lawan politik tidak hanya dikalahkan, tetapi juga dilenyapkan. Itulah kenapa orang yang sudah dirasuki dualisme politik bersikap keji terhadap lawan politiknya. Ia meyakini, jika lawan politik sudah selesai dihabisi, ia dan kaumnya tidak lagi memiliki halangan untuk menegakkan kebaikan di negeri yang telah porak poranda akibat perpecahan politik. Itulah janji khas yang dikumandangkan mereka yang dirasuki dualisme.
Namun, di sini persis muncul kebuntuan. Sebagai sistem, dualisme mengandaikan kekuatan baik dan kekuatan buruk selalu ada. Penganutnya pun otomatis berpandangan demikian. Juga seandainya semua lawan politiknya sudah musnah, secara instingtif ia akan segera mencari lawan politik baru untuk dihabisi. Itulah kenapa politisi yang dirasuki dualisme dengan mudah menjadi diktator yang totaliter. Ia menganggap semua pihak yang berbeda pandangan sebagai musuh politik. Itulah persoalan mendasar yang melekat pada dualisme politik.
Persoalan inheren itu menjadikan dualisme politik ancaman yang serius bagi kehidupan demokrasi. Dualisme tidak hanya menutup ruang bagi kerja sama dan rekonsiliasi setelah pemilu. Dualisme memecah kesatuan bangsa.
Lawan sebagai sosok politisi
Ancaman dualisme dalam Pemilu Presiden 2019 bukan tidak ada, pun ketika deklarasi kampanye damai sudah diramaikan dengan semarak karnaval. Janji ini tentu berharga dan luhur karena melalui deklarasi ini kedua pasangan berikhtiar untuk memperlakukan lawan politik sebagai sosok politisi dan bukan sebagai penjelmaan kuasa jahat yang harus dienyahkan.
Masalahnya adalah bagaimana membebaskan diri dari kecenderungan dualisme politik yang makin subur? Salah satu langkah awal adalah mengembalikan baik dan buruk ke dalam kategori moral. Apa maksudnya? Sebagai makhluk moral, manusia tidak bisa lepas dari kesadaran akan baik dan buruk. Namun, keduanya bukan rumusan tentang apa manusia itu. Keduanya adalah kategori untuk menilai kualitas tindakan manusia. Sebagai contoh, politisi A tertangkap melakukan korupsi dan ia dihukum karena itu. Namun, bukan berarti seluruh eksistensinya adalah manifestasi kekuatan jahat. Yang jahat dan tidak bermoral adalah tindakannya.
Dalam konteks pemilu, menempatkan baik dan buruk ke dalam kategori moral memungkinkan politisi dan para pendukungnya bersaing secara sehat. Kalaupun ada kritik dan saling serang, itu dilakukan dalam menilai visi, kebijakan, dan tindakan, bukan menyasar individu pesaing politik. Ini adalah tanda demokrasi yang sehat karena kampanye pemilu lalu menjadi arena bagi para calon pemimpin untuk saling menajamkan visi dalam rangka memajukan kebaikan hidup bersama. Saat itu terjadi, demokrasi sungguh menjadi penanda keberadaban manusia.
Angga Indraswara Pengajar Universitas Sanata Dharma
Kompas, 10 Oktober 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar