Isu menurunnya daya beli masyarakat Indonesia masih jadi kabar yang terus diperbincangkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, daya beli merupakan kemampuan membayar untuk memperoleh barang/jasa yang dikehendaki atau diperlukan. Maka, ketika daya beli menurun, artinya kemampuan masyarakat untuk memperoleh barang/jasa juga menurun.
Hal ini tentu saja mengerikan, bukan hanya bagi para produsen barang/jasa, melainkan juga bagi pemerintah. Sebab, kontribusi pengeluaran konsumsi rumah tangga sampai saat ini masih memberikan sumbangsih terbesar bagi pendapatan negara, yaitu lebih dari 50 persen.
Pelemahan daya beli ini terlihat dari sepinya toko-toko, bahkan penutupan pusat-pusat perbelanjaan. Selain itu, para pengusaha, khususnya pengusaha ritel, juga banyak mengeluhkan tentang rendahnya daya beli ini. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, telah terjadi anomali mengingat inflasi dua tahun terakhir tercatat cukup rendah dan stabil.
Apabila melihat data yang ada, laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), menurut pengeluaran konsumsi rumah tangga, terjadi kenaikan 0,19 persen dari triwulan II-2017 ke triwulan II-2018. Hal ini menunjukkan konsumsi masyarakat masih mengalami pertumbuhan. Para pakar memperbincangkan bahwa telah terjadi pergeseran konsumsi dari toko konvensional ke toko daring (online). Hal ini diperkuat data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika yang menyebutkan pakaian merupakan barang yang paling banyak dibeli secara daring, yaitu 73,80 persen. Boleh jadi inilah salah satu sebab mengapa gerai-gerai ritel konvensional jadi sepi pengunjung.
Jika melihat data distribusi PDB yang dikeluarkan oleh BPS, terlihat bahwa kontribusi PDB pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk kategori pakaian, alas kaki, dan jasa perawatannya hanya menyumbang sekitar 2 persen pada PDB nasional. Lalu muncul pertanyaan, ke mana pengeluaran konsumsi rumah tangga dialokasikan?
Banyak pengamat mengatakan telah terjadi perubahan pola konsumsi dari nonleisure economy menjadi leisure economy. Apa itu leisure economy? Kegiatan ekonomi yang bersifat hiburan dan kesenangan.
Data BPS menyebutkan, terjadi pelonjakan untuk konsumsi leisure dan pelambatan untuk konsumsi nonleisure. Hal ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan PDB untuk pengeluaran konsumsi rumah tangga dalam kategori makanan dan minuman selain restoran dan kategori hotel dan restoran yang mengalami kenaikan, yaitu 0,13 persen dan 0,07 persen dari triwulan II-2017 ke triwulan II- 2018. Selain itu, kontribusi pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk kategori makanan dan minuman selain restoran, transportasi dan komunikasi, serta kategori hotel dan restoran terhadap PDB juga cukup besar, yaitu sekitar 22 persen, 13 persen, dan 5 persen untuk masing-masing kategori. Data tersebut mengindikasikan memang telah terjadi pergeseran pola konsumsi masyarakat dari kebutuhan dasar (basic needs) ke kebutuhan yang sifatnya hiburan (leisure).
Pariwisata jadi unggulan
Benarkah telah terjadi pergeseran pola konsumsi dari yang sifatnya kebutuhan dasar ke yang sifatnya hiburan, mengingat masih banyak masyarakat Indonesia yang masuk dalam kategori miskin? Menurut kajian BPS, peralihan struktur pengeluaran dari nonleisure ke leisure mungkin hanya terjadi pada kelompok masyarakat golongan menengah ke atas.
Fakta bahwa distribusi pengeluaran didominasi penduduk berpengeluaran tinggi tidak dapat dimungkiri. Pada 2016, hampir separuh (46,89 persen) distribusi pengeluaran berasal dari 20 persen penduduk berpenghasilan tinggi. Sementara 40 persen penduduk dengan pengeluaran rendah hanya memiliki porsi pengeluaran 17,02 persen (BPS, 2017). Karena itu, fenomena pergeseran pola konsumsi ini tak dapat diabaikan begitu saja. Kelompok yang dikenal sebagai middle income class, yaitu kelompok menengah, salah satu cirinya adalah bergesernya pola konsumsi mereka dari yang awalnya didominasi oleh makanan-minuman menjadi hiburan dan leisure.
Studi Nielsen (2015) menunjukkan bahwa generasi muda saat ini, yang dikenal sebagai kaum milenial, merupakan konsumen dominan di Indonesia (mencapai 46 persen). Mereka lebih royal menghabiskan uangnya untuk kebutuhan yang sifatnya "gaya hidup" dan mencari pengalaman, seperti makan di luar rumah, menonton di bioskop, rekreasi, juga perawatan tubuh, muka, dan rambut.
Melihat fenomena pergeseran pola konsumsi tersebut, dapat dikatakan bahwa leisure economy tidak dapat diabaikan untuk dapat dijadikan roda penggerak ekonomi zaman now, khususnya sektor pariwisata. Terlebih saat ini sektor pariwisata ditetapkan sebagai sektor unggulan pembangunan nasional. Bahkan, pada 2019, sektor pariwisata diproyeksikan mampu menyumbang PDB 15 persen, Rp 280 triliun untuk devisa negara, 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara, 275 juta perjalanan wisatawan Nusantara, dan menyerap 13 juta tenaga kerja.
Lebih jauh, sektor pariwisata diyakini mampu menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang lebih tersebar di seluruh negeri. Jika dimanfaatkan dengan baik, sektor pariwisata bukan hanya dapat meningkatkan pendapatan nasional, melainkan juga menurunkan tingkat pengangguran yang pada akhirnya menurunkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan.
Kehadiran leisure economy seyogianya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemerintah mengingat Indonesia merupakan negara yang kaya akan keindahan alam yang bisa dijadikan obyek wisata yang menawan. Dengan demikian, leisure economy bukan hanya sebagai ajang pamer kaum milenial dan membuat kaum berpenghasilan menengah terjerembap dalam middle income trap, melainkan juga dapat dimanfaatkan sebagai penggerak roda ekonomi kini dan masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar