Pengesahan revisi UU MD3 masih tertahan di meja Presiden Joko Widodo.

Presiden dihadapkan pada dua kondisi yang dilematis, yakni menerima usulan DPR terkait revisi MD3 yang dimotori oleh beberapa partai koalisi atau mendengarkan suara masyarakat yang menolak penambahan beberapa pasal, seperti Pasal 122 Huruf k.

Penolakan masyarakat dapat dimafhumi karena pasal tersebut berpotensi mengekang kebebasan berpendapat seseorang yang mengkritik DPR. Pasal itu berbunyi: "Dalam melaksanakan fungsi sebagai dimaksud dalam Pasal 121 A, Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas: (k) Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang, perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR".

Jika Presiden menuruti kehendak Dewan dengan menandatangani revisi UU MD3, dikhawatirkan akan berimplikasi pada beberapa hal. Kekhawatiran pertama adalah akan berpotensi menurunkan tingkat dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi. Saat ini 74 persen masyarakat mendukung demokrasi sebagai sistem politik yang terbaik untuk bangsa kita (SMRC, Mei 2017).

Kedua, dikhawatirkan akan menurunkan peringkat demokrasi Indonesia pada skala global. Data Freedom House menunjukkan, dalam lima tahun terakhir (pada 2014-2018), status Indonesia masih "partly free". Padahal, status "free" berhasil diraih Indonesia berturut-turut sejak tahun 2006 sampai 2013.

Ketiga, merosotnya kepercayaan masyarakat kepada Dewan. Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Agustus 2017 menunjukkan, tingkat kepercayaan kepada DPR paling rendah dibandingkan dengan lembaga negara lain. Data survei menunjukkan, hanya 58,6 persen masyarakat yang mengaku percaya pada DPR dan 58,7 persen yang percaya pada partai politik saat survei dilakukan. Adapun tingkat kepercayaan kepada lembaga negara rata-rata 76,1 persen.

Anomali

Meskipun dukungan masyarakat terhadap demokrasi cukup tinggi, hal itu tidak linear dengan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perwakilan (DPR) dan partai politik. Rendahnya kepercayaan publik pada lembaga perwakilan ini tentu menjadi lampu kuning bagi pelembagaan politik kita karena DPR bertugas menjaring dan mengagregasikan kepentingan kolektif publik.

Anomali selanjutnya yang terjadi adalah lembaga perwakilan yang harusnya menjadi contoh yang baik bagaimana demokrasi dipraktikkan, justru mengekang kebebasan berpendapat dan berbicara—dengan memasukkan pasal 122 huruf k. Melalui pasal ini, DPR seperti menunjukkan kecenderungan yang antikritik karena hak warga untuk mengkritik kinerja dan perilaku anggota Dewan bisa berpotensi kena pasal karet yang berujung pidana.

Kecenderungan antikritik DPR itu tentu tidak baik bagi pelembagaan dan pendidikan politik masyarakat. DPR harus menunjukkan kepada masyarakat bagaimana demokrasi itu bekerja dan bagaimana mekanisme kontrol dilakukan. Situasi seperti ini tentulah menjadi fase yang tidak baik dalam perkembangan demokrasi kita ke depan. Saat keterbukaan dan kebebasan berpendapat sudah terbuka luas, lembaga perwakilan justru seperti menjadi lembaga yang tertutup dan cenderung antidemokrasi.

Potret DPR yang terkesan antikritik tersebut menunjukkan bahwa demokrasi (perwakilan) kita tengah mengalami defisit. Majone (1998) menyebut defisit demokrasi ditandai ketidakmampuan DPR dalam membuat keputusan politik yang berpihak pada rakyat, tidak adanya akuntabilitas dan transparansi, serta kegagalan representasi yang ditandai dengan tidak adanya pelibatan warga dalam proses pembuatan kebijakan publik.

Performa rendah

Defisit demokrasi (perwakilan) juga ditunjukkan dengan performa DPR yang rendah. Target legislasi nasional yang telah dirumuskan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tidak berhasil diselesaikan. Dari 57 RUU yang masuk dalam Prolegnas 2017, hanya 18 RUU yang berhasil disahkan menjadi undang-undang (www.dpr.go.id).

Selain target legislasi nasional yang tak terpenuhi, persepsi publik terhadap kinerja DPR juga lemah. Survei CSIS pada 2017 menunjukkan, 59 persen pemilih mengaku tidak puas dengan kinerja DPR. Berbeda dengan kepuasan kepada Presiden yang mencapai angka 68 persen.

Selain performa yang rendah, defisit demokrasi juga ditunjukkan dengan lemahnya integritas wakil rakyat. Sejumlah anggota Dewan, baik di pusat maupun daerah, tersangkut masalah hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan Laporan Tahunan KPK 2017, KPK menangani 20 kasus yang melibatkan anggota DPR/DPRD.

Memperbaiki kinerja dan integritas anggota DPR saya kira bisa dilakukan melalui beberapa hal, di antaranya memperbaiki proses perekrutan dan penjaringan anggota Dewan oleh partai politik. Proses penjaringan yang terbuka, demokratis, dan memperhatikan rekam jejak dan integritas calon penting dilakukan secara ketat oleh partai politik.

Perekrutan ini akan memengaruhi kinerja dan capaian anggota Dewan yang terpilih. Apabila perekrutannya tertutup dan rentan penggunaan mahar politik, potensi korupsi akan membayangi anggota Dewan yang terpilih. Untuk melakukan penjaringan, partai bisa membentuk pansel yang diisi oleh orang-orang profesional luar partai untuk mengukur kapasitas, integritas, dan kapabalitas calon anggota Dewan.

Selain itu, masyarakat juga diberikan ruang untuk dapat memberikan masukan terhadap daftar nama sebelum partai mengusulkan daftar caleg sementara kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tahap selanjutnya adalah melakukan evaluasi secara berkala dan sistematis terhadap kinerja anggota Dewan yang telah terpilih. Selama ini proses evaluasi dan pemberian reward dan punishment jarang dilakukan oleh partai politik. Sering kali anggota DPR yang berkinerja buruk tetap bisa bertahan sebagai anggota.

Sementara dari sisi kelembagaan, DPR perlu membuka ruang bagi masyarakat untuk dapat mengakses kerja dan kegiatan anggota Dewan selama melakukan reses. Dari sisi alokasi dana dan jumlah reses mengalami kenaikan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Namun, hal tersebut tidak berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap anggota DPR.

Akhirnya untuk mencegah Indonesia mengalami defisit demokrasi, kita bergantung pada kearifan Presiden Jokowi. Sebagai warga, kita berharap Presiden menolak menandatangani revisi UU MD3. Sekarang pilihannya ada di tangan Presiden. Apakah Presiden menginginkan defisit demokrasi atau demokrasi kita semakin terkonsolidasi?