Krisis beras itu ibarat penyakit kronis, sering kambuh. Apabila salah mendiagnosis penyebabnya, semakin sulit disembuhkan.

Tulisan ini berusaha menganalisis faktor penyebab krisis beras yang pernah terjadi sejak 1965. Tujuannya sebagai pembelajaran bersama agar krisis tidak terulang lagi.

Sebenarnya terdapat hal yang kurang kita sadari, yakni tentang aliran logistik beras dari produsen ke konsumen. Logistik beras tersebut mengalir tanpa putus dari jutaan petani ke jutaan meja konsumen, setiap hari harus ada nasi di meja makan. Aliran logistik beras tersebut pengendalinya berada di Bulog yang bertugas mengelola cadangan beras pemerintah, sedangkan aliran logistik di luar Bulog disebut cadangan beras masyarakat dan keduanya merupakan cadangan beras nasional.

Cadangan beras nasional terdiri dari persediaan yang berada di lini 1 (rumah tangga konsumen), lini 2 (pedagang eceran, grosir, dan besar), lini 3 (penggilingan), dan lini 4 (gudang Bulog). Namun, posisi tersebut belum termasuk di lini 5 yang berada di sawah yang akan panen dalam 1-2 bulan lagi. Apabila terdapat cadangan beras di masyarakat yang kuat, akan memudahkan Bulog mengendalikan pasar. Oleh karena itu, dalilnya Bulog tak boleh "berebut beras" di pasar jika harga sudah di atas harga pembelian pemerintah.

Penyebab terjadinya krisis

Suatu krisis dapat terjadi apabila aliran logistik beras tersumbat atau kekurangan pasokan untuk mencukupi kebutuhan perputaran normalnya, yakni untuk tiga bulan kebutuhan cadangan beras nasional atau saat ini sekitar 9 juta ton. Kekurangan pasokan dapat disebabkan pertumbuhan yang rendah selama 3-5 tahun sebelumnya atau karena datangnya hujan mundur dalam waktu lama. Setelah menganalisis krisis beras sejak 1965, faktor utama penyebab krisis adalah: (1) serius tidaknya pemerintah mengurus beras dan (2) kesiapsiagaan pemerintah mengantisipasi terjadinya krisis. Faktor itu akan menjadi kenyataan apabila terdapat faktor pemicu krisis, yaitu kemarau kering dan panjang dan atau adanya eksplosi serangan hama. Selanjutnya krisis beras dapat berkembang menjadi krisis politik dan sosial apabila terdapat faktor ikutan, yakni krisis keuangan dan atau krisis pangan dunia.

Indikator pemerintahan serius mengurus beras, yakni apabila pertumbuhan produksi beras rata-rata 3-5 tahun sebelum krisis minimal dapat menutup kebutuhan pertambahan penduduk dan kekurangan pasokan akibat berkurangnya areal sawah untuk pembangunan permukiman, kawasan industri dan infrastruktur, serta produksi berasnya harus segera bisa recovery.

Selanjutnya pemerintah dikatakan siap menghadapi krisis apabila dapat memberikan dukungan penuh kepada Bulog sebagai pengelola stok cadangan pemerintah, baik berupa pembangunan sarana penyimpanan, fasilitas pembiayaan, maupun bersedia menanggung konsekuensi kerugian. Krisis yang pernah terjadi tampaknya dengan tidak sadar pemerintah sendiri yang melemahkan tugas dan fungsi Bulog.

Atas dasar penyebab utama krisis beras, terdapat empat tipe kemungkinan terjadinya krisis. Krisis tipe satu, pemerintah tak serius (abai/lalai) mengurus beras dan tak siap mengantisipasi krisis. Krisis tipe dua, pemerintah serius mengurus beras dan siap mengantisipasi krisis. Krisis tipe tiga, pemerintah serius mengurus beras tetapi tak siap mengantisipasi. Krisis tipe empat, pemerintah "merasa serius" mengurus beras tetapi siap mengantisipasi kemungkinan terjadinya krisis.

Pemerintah yang lalai vs pemerintah yang serius

Krisis beras tipe satu terjadi pada 1965/1966 dan 1997/1998. Krisis 1965/1966 terjadi karena pemerintah "abai" mengurus beras dengan indikasi produksi rata- rata 1960-1964 hanya tumbuh 0,6 persen per tahun. Akibatnya persediaan beras di masyarakat terganggu, petani dan penggilingan sulit memenuhi kewajiban menyetor padi/beras ke pemerintah melalui Badan Pelaksana Urusan Pangan (BPUP).

Akhirnya terjadi kelangkaan pasokan sehingga harga beras naik dari Rp 306/kg pada Januari menjadi Rp 1.783/kg pada Desember 1965. Ternyata krisis juga diikuti peristiwa G30S/PKI, yang akhirnya berkembang menjadi krisis politik dan Presiden Soekarno jatuh.

Pada krisis 1997/1998, pemerintah dikatakan "lalai" mengurus beras atau lebih tepatnya "terlalu percaya diri" menganggap penyediaan beras telah selesai. Hal ini karena kita sudah dapat mempertahankan swasembada beras dari 1984 sampai 1993. Oleh karena itu, peningkatan produksi beras 1994-1998 "dikendurkan", ternyata realisasinya rata-rata turun 0,1 persen per tahun. Akhirnya ketika terjadi kekeringan akibat El Nino 1997 yang berbarengan dengan krisis moneter, krisis harga beras tak terelakkan. Kurs terhadap dollar AS merosot dari Rp 2.450 pada Juni 1997 menjadi Rp 14.900 pada Juni 1998 sehingga membuat perekonomian terguncang. Krisis beras kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi, politik, dan sosial sehingga membuat Soeharto mengundurkan diri.

Untuk diketahui juga pada akhir 1980-an, tampak ada upaya "pelemahan" tugas Bulog yang dimulai dari isu deregulasi komoditas Bulog yang dimotori ahli dari luar negeri yang didukung dari dalam negeri. Hal ini terbukti ketika Soeharto jatuh, Bulog dilucuti dan hanya boleh mengurus beras dan penyaluran tetap untuk PNS/TNI/Polri pun dicabut dan sumber pendanaan kredit likuiditas Bank Indonesia yang digunakan sejak 1968 juga dihapus. Impor beras dibebaskan, malahan dengan bea masuk nol persen.

Krisis pangan tipe dua, di mana pemerintah serius mengurus beras dan siap menghadapi jika terjadi krisis, terjadi pada 1976/1977 dan 2007/2008. Hal ini terlihat dari indikator pertumbuhan produksi 1973 yang naik 10,8 persen dan 1974 naik lagi 4,6 persen. Namun, pada 1975 terjadi eksplosi serangan hama wereng sehingga produksi turun 0,6 persen, tapi 1976 produksi sudah pulih naik 4,3 persen, tahun 1977 kemarau panjang sehingga hanya naik 0,2 persen, dan 1978 pulih lagi naik 10,4 persen.

Meski produksi banyak gangguan, pemerintah siap mengantisipasi krisis dengan pembangunan gudang Bulog baru yang tersebar di seluruh Indonesia. Pemerintah, dalam hal ini Bulog, juga berusaha mencari bantuan pangan dalam bentuk hibah dan atau kredit jangka panjang 25-30 tahun dengan bunga 3 persen per tahun. Impor beras dari 1967 hingga 1981 yang berasal dari bantuan luar negeri rata-rata 70 persen. Untuk 1973 diimpor 1,230 juta ton, 1974 (1,147 juta ton), 1975 (0,670 juta ton), 1976 (1, 509 juta ton), dan pada puncak krisis 1977 (2,308 juta ton).

Bagaimana menghadapi krisis keuangan dan pangan global 2008? Tampaknya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tepat memilih opsi untuk mengatrol produksi beras dengan menggunakan instrumen harga dan subsidi benih dan pupuk ditambah pembangunan infrastruktur pertanian sesuai tersedianya anggaran. Untuk diketahui, harga beras sangat tertekan sejak 1998 karena impor dibebaskan dan subsidi pupuk dicabut. Pemerintahan SBY menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) beras cukup signifikan. Harga beras di pasar dibiarkan naik menjadi dua kali lipat dari Rp 2.500/kg menjadi hampir dua kali pada 2009. Sementara HPP beras naik 65 persen, dari Rp 2.790 (2004) menjadi Rp 4.600/kg (2009).

Berbeda dengan krisis pangan sebelumnya, pada 2008 Indonesia mengalami bumper-crop dalam tiga tahun, yakni 2007, 2008, dan 2009. Pengadaan dalam negeri mencapai rekor 3 juta ton sehingga Indonesia selamat menghadapi krisis keuangan dan pangan dunia. Outlet dari pengadaan yang sukses tersebut juga mendapat jalan keluar karena bertambahnya sasaran penyaluran untuk keluarga miskin dari 10 juta menjadi 17,5 juta rumah tangga.

Perlu juga diketahui, selain memberikan outlet tetap yang besar, pemerintahan SBY juga memberikan instrumen "sapu jagat", yaitu penambahan alokasi raskin bulan ke-13, ke-14, dan kadang sampai bulan ke-15, masing-masing 300.000 ton. Instrumen "sapu jagat" ini menjadi penting karena disadari operasi pasar Bulog kurang efektif menekan harga karena Bulog hanya punya satu jenis kualitas beras. Penelitian Agus Syaifullah (2015) menemukan, OP Bulog yang diikuti dengan penyaluran raskin efektivitasnya tiga kali lebih besar daripada tanpa diikuti raskin.

Pemerintah/Bulog yang tak siap vs pemerintah yang siap

Krisis beras tipe tiga terjadi 1972. Dalam hal ini pemerintah serius mengurus beras tetapi pemerintah cq Bulog terlalu percaya informasi akan terjadi over produksi beras. Untuk diketahui, pemerintah waktu itu sukses melakukan program peningkatan produksi beras 1969, 1970, 1971, masing- masing naik 5,6 persen, 7,3 persen, 4,4 persen, sehingga pemerintah berkeyakinan Indonesia akan over produksi beras pada 1972. Oleh karena itu, target peningkatan produksi beras 1972 diturunkan dari 14,4 ton menjadi 14,1 juta ton. Dari pihak Bulog pun mengantisipasinya dengan memperbaiki persyaratan kualitas pengadaan.

Ternyata pada Mei 1972 Indonesia sudah mulai dilanda kekeringan, realisasi pengadaan Bulog baru sedikit yang masuk, dan impor beras terlambat karena dunia sedang mengalami krisis pangan. Akhirnya harga beras sulit dikendalikan dan korbannya kepala Bulog diberhentikan oleh Presiden Soeharto.

Krisis beras tipe empat. Mungkin disadari oleh Presiden Joko Widodo, ia mewarisi harga beras tinggi dan subsidi pertanian besar sehingga opsi yang tersedia hanya menggenjot pembangunan infrastruktur pertanian. Namun, untuk mempercepat swasembada beras, pemerintah tetap menambah anggaran pertanian dan membantu petani dengan alat mesin pertanian.

Tampaknya pemerintahan Jokowi meyakini Indonesia surplus produksi beras sehingga diambil kebijakan menurunkan harga beras menjadi Rp 9.000/kg. Karena harga beras tetap tinggi, diciptakan lagi kebijakan harga eceran tertinggi (HET). Kemudian berbagai upaya dilakukan, termasuk menggunakan pengawasan melalui Satgas Pangan, tetapi harga tetap tinggi.

Klaim adanya surplus beras sebenarnya tak tecermin dari indikator harga pasar dan akhirnya "dibantah" sendiri pada 2018 dengan mengimpor beras 2 juta ton. Meski pemerintah telah menyiapkan diri menghadapi krisis dengan menambah stok dari impor dalam jumlah besar, Bulog mungkin akan mengalami kesulitan dalam penyaluran karena penyaluran tetap raskin/rastra sudah diputus untuk diganti dengan kupon. Kebijakan menghapus penyaluran tetap Bulog ini mungkin tak disadari karena dapat melemahkan tugas Bulog dan akan menjadi eksperimen yang mahal apabila benar-benar terjadi krisis. Sebenarnya upaya pelemahan tugas Bulog dengan usaha menghapus program raskin pernah juga direkomendasikan ahli dari luar pada pemerintahan SBY jilid II. Hal yang sama juga pernah dilakukan pada periode terakhir pemerintahan Soeharto.

Catatan akhir atas pembelajaran penyebab krisis beras yang pernah terjadi: kita tak boleh lengah sedikit pun dalam mengurus beras, kita perlu meningkatkan produksi beras yang tinggi terus-menerus. Selain itu, usaha pelemahan tugas Bulog yang terjadi sekarang perlu dikaji kembali, kecuali memang menghendaki terjadi krisis. Pengalaman selama 50 tahun, intervensi pasar oleh Bulog dapat efektif jika dikombinasikan dengan penyaluran tetap.