Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 24 Oktober 2018

Korban Akreditasi//Hak Jawab Gapki//Penipuan Tagihan (Surat Pembaca Kompas)


Korban Akreditasi

Peraturan seyogianya dibuat untuk memberdayakan masyarakat dan berpihak kepada kepentingan masyarakat. Namun, pada kenyataannya masih sangat banyak peraturan yang justru memberatkan masyarakat.

Surat Sdr Hendri Dalimunthe, Kompas 22 Oktober 2018, menunjukkan bahwa peraturan justru menghambat yang bersangkutan melamar pekerjaan.

Dalam setiap peraturan yang selalu menjadi korban adalah masyarakat seperti yang dialami oleh Sdr Hendri. Akar permasalahan adalah sejumlah kesalahan dalam berbagai peraturan bahkan undang undang.

Kesalahan paling fatal adalah pasal Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa akreditasi adalah wajib (padahal di seluruh dunia akreditasi tidak wajib, tetapi kebutuhan).

Kesalahan berikutnya adalah menggunakan akreditasi sebagai prasyarat melamar pekerjaan, padahal perekrutan tenaga kerja seharusnya dilakukan berdasarkan kompetensi dan kualifikasi pelamar sebagai individu, bukan dari status akreditasi perguruan tingginya. Hal ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM karena menghilangkan hak seseorang untuk melamar pekerjaan.

Sdr Hendri bukan satu satunya korban akreditasi, sudah banyak korban selama ini meskipun mereka tidak mengungkapkan secara resmi di media. Saatnya peraturan akreditasi ditinjau kembali dan dirombak total sehingga sesuai dengan hakikatnya, yaitu melindungi kepentingan masyarakat dan sekaligus memberdayakan.

Satryo Soemantri Brodjonegoro
Dirjen Dikti 1999-2007

 

Hak Jawab Gapki

Sehubungan dengan berita di harian Kompas, edisi Senin 22 Oktober 2018, halaman 1 berjudul "Konflik Agraria: Mereka Tersingkir di Tanah Sendiri", kami dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengapresiasi kerja keras wartawan Kompas.

Kasus yang terjadi pada salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit (tidak disebutkan nama perusahaan) di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, tentunya bukan menjadi potret praktik pengelolaan seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit, apalagi anggota Gapki.

Saat ini dari lebih 2.000 perusahaan kelapa sawit di Indonesia, terdapat 698 perusahaan kelapa sawit anggota Gapki dengan luasan 4 juta hektar atau sekitar 29 persen dari total luas areal kelapa sawit di Indonesia.

Semua permasalahan di perkebunan kelapa sawit harus dilihat dalam konteks regulasi yang berlaku di Kalimantan Barat ataupun Indonesia sehingga assessment juga harus melibatkan pemerintah daerah. Jangan menutup mata bahwa banyak best practices lainnya yang layak menjadi contoh terjadi di Kalimantan Barat bahkan di Indonesia.

Sekali lagi, kami menolak generalisasi kasus yang dimuat Kompas 22 Oktober 2018 sebagai gambaran pengelolaan perkebunan di Kalimantan Barat atau Indonesia atau perusahaan perkebunan anggota Gapki.

Mukti Sardjono
Direktur Eksekutif Gapki

Catatan redaksi :

Terima kasih atas masukannya. Wartawan kami di lapangan telah melakukan kerja jurnalistik sesuai kaidah-kaidah jurnalistik sesuai kode etik.

Penipuan Tagihan

Semoga tidak mengalami hal buruk seperti saya.

Berawal dari pinjaman multiguna orangtua saya dari Home Kredit sebesar Rp 18 juta, nomor kontrak 3800404048, tenor 24 bulan, dan cicilan Rp 1.293.200 per bulan.

Tiga bulan di awal orangtua membayar rutin. Namun, karena kesulitan keuangan, orangtua saya menunggak tiga bulan. Saya tidak langsung tahu karena tinggal di kota berbeda.

Sejak saat itu, bagian penagihan selalu menghubungi HP saya: pagi, siang, malam, dengan orang yang berbeda-beda.

Ketika saya putuskan membantu, Ibu Devi dari Home Kredit memberi dua pilihan: membayar semua sisa utang dan bunga Rp 22 juta atau membayar tunggakan empat kali jatuh tempo Rp 5.172.800, kemudian mencicil tiap tanggal jatuh tempo hingga kontrak berakhir.

Saya memilih melunasi tunggakan Rp 5.172.800. Namun, setelah itu bagian penagihan Home Kredit tetap minta saya melunasi tagihan Rp 22 juta.

Saya menghubungi call center Home Kredit, 13 Oktober 2018, dilayani Ibu Betty. Benar pembayaran Rp 5.172.800 sudah diterima, tetapi saya diwajibkan melunasi Rp 22 juta dengan berbagai alasan tanpa solusi.

Beginikah cara Home Kredit berbisnis?

Agus Prananto
Griya Permata,

Tangerang

Kompas, 24 Oktober 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger