ARSIP PRIBADI

Agustine Dwiputri

 

Menghadapi bencana yang dialami sebagian bangsa kita, berbagai bentuk bantuan dan dukungan dari segala penjuru telah dan terus dilakukan, baik fisik, kesehatan, material, maupun psikologis dan spiritual. Kita semua tentu bersedia menolong para kerabat yang menjadi korban dan penyintas dari peristiwa tersebut. Mari mendiskusikan, apakah selama ini sikap dan cara menolong kita sudah tepat?

Perilaku menolong adalah melayani seseorang, melakukan sesuatu yang menghasilkan keuntungan terhadap pihak lain. Hal ini dapat berupa melakukan sesuatu yang orang lain tidak dapat melakukannya sendiri atau karena mereka tak punya waktu untuk melakukannya atau hanya melakukan hal kecil yang membuat hidupnya lebih mudah (Linda Popov, 1997).

Menolong tidak selalu melakukan apa yang orang lain inginkan, hal demikian hanya bersifat menyenangkan. Apa yang diinginkan orang mungkin tidak berguna atau tidak baik bagi mereka. Jadi, menolong adalah memberi seseorang sesuatu yang dibutuhkan.

Secara garis besar, Dovidio & Penner (2001) membagi perilaku menolong ke dalam tiga bagian, yaitu berupa bantuan tenaga/usaha dan waktu (favor), berupa materi/dana (donation), atau bantuan pada situasi darurat (intervention in emergency).

Kapan pun, di mana pun, dan dalam bentuk apa pun menolong dapat dilakukan, tidak harus pergi ke lokasi bencana dan menemui penyintas secara langsung. Kita mendoakan dengan tulus ikhlas dari tempat masing-masing merupakan cara indah menolong mereka.

Popov (1997) menyampaikan bahwa belas kasih adalah rasa mengerti dan peduli mendalam terhadap seseorang yang bermasalah atau telah melakukan kesalahan. Hal ini bisa berupa kebaikan dan pemaafan, ada keinginan membantu, serta keprihatinan ketika seseorang menderita karena bencana dan kesulitan yang dialami.

Seorang yang berbelas kasih akan memaafkan penyintas yang mungkin pernah menyakiti hatinya karena mengerti mengapa dia melakukannya dan akan lebih memedulikan kebutuhan orang tersebut daripada "luka"-nya sendiri. Ia pun dapat ikut merasakan kenyerian/kesakitan dari seseorang yang dalam kesulitan meskipun sebelumnya tidak mengenal penyintas.

Berbelas kasih menyadarkan para penyintas bahwa mereka tidak sendirian, penolong menjadi teman yang dibutuhkan. Dengan belas kasih, kita semua terhubung dan masa-masa sulit jauh lebih mudah diatasi karena setiap orang saling mengerti dan peduli. Pada gilirannya, hal ini juga akan menimbulkan suatu perasaan positif sekaligus berguna kepada sang penolong.

Memang tidak ada yang salah dengan menolong orang lain, tetapi sikap menolong bisa jadi masalah jika tidak dilakukan dalam bentuk dan cara yang benar. Samuel (2016) mengingatkan beberapa etika yang perlu diperhatikan dalam menolong orang lain. Pertama, haruslah berlandaskan keikhlasan.

Tujuan kita membantu penyintas yang sedang kesusahan sehingga tidak mengharapkan imbalan dan balasan atas perbuatan baik kita, tidak berpamrih.
Ikhlas yang dimaksud termasuk tidak mengingat-ingat bahkan mengungkit-ungkit bantuan yang pernah kita berikan.

Etika berikutnya, dalam membantu orang lain hendaknya kita memberikan sesuatu yang baik dan berguna. Jika kita hanya dapat memberikan baju bekas, sepatutnya memastikan baju tersebut masih layak pakai. Jangan sampai tindakan kita mubazir karena tidak dapat dipakai atau justru merendahkan dan menyakiti hati penerimanya.

 

 

Termasuk pula tidak menyebarkan berbagai berita yang belum tentu kebenarannya di media sosial serta mengirim foto jenazah dan dampak kerusakan lain yang membuat penerima menjadi semakin ngeri dan trauma.

Di era kini, penyampaian semacam ini membuat suasana semakin buruk. Etika ketiga, menolong harus dilakukan dengan cara dan sikap yang baik. Jika ada penyintas meminta bantuan uang, sementara kita benar-benar tengah kesulitan memenuhinya, tolaklah permintaannya dengan cara yang sopan dan halus.

Jangan pernah membentak atau mencaci maki orang yang meminta pertolongan. Juga tidak kemudian menyalahkan, mengecam, dan menilai berbagai pihak yang dipandang seharusnya bertanggung jawab terhadap penyintas.

Etika penting lainnya adalah tidak membeda-bedakan penyintas. Jangan menjadikan suku, ras, agama, dan sebagainya untuk memilih orang yang hendak kita tolong. Justru sikap bergotong royong sesuai kemampuan masing-masing yang perlu dibina. Jika ada yang membutuhkan, kita bantu sesegera mungkin dengan penuh kasih.

Menghadapi penyintas

Jika kita berkesempatan menemui penyintas secara langsung, ada beberapa tip yang diberikan Judith Rowland (2011) dalam berkomunikasi. Secara umum, kita tidak pernah salah jika mendengarkan penyintas terlebih dulu.

Mendengarkan akan mendorong penyintas mengungkapkan perasaan mereka. Sebagai pendengar, pastikan untuk tetap memperhatikan apa yang akan disampaikan dan gunakan bahasa tubuh yang tepat agar mendorong penyintas melanjutkan ceritanya.

Penting melakukan anggukan, senyum, atau penegasan verbal pendek (hmm, ya). Hindari berbagai interupsi dan gangguan (seperti memeriksa ponsel).

Jangan pernah membuat janji yang tidak bisa kita tepati. Tip berikut menurut penulis berlaku universal, dapat diterapkan kepada orang dalam berbagai budaya.

Yang harus dihindari

– "Tenang saja." Pernyataan semacam ini menunjukkan bahwa penyintas seharusnya mengendalikan perasaan stres mereka. Kenyataannya, kecemasan muncul karena perubahan biokimia di otak dan penyintas tidak dapat mengendalikannya.

– "Kakak hanya perlu move on." Ucapan ini secara efektif memang memberi tahu penyintas agar meninggalkan kenangan berharga dan orang-orang terdekat mereka. Daripada memberi tahu tentang yang harus dilakukan, tanyakanlah apa yang mereka butuhkan untuk kita lakukan.

– "Lebih beriman, ya." Sebenarnya sikap yang membantu adalah apabila membolehkan penyintas menjadi marah, takut, atau tersinggung tanpa menghakimi atau berkhotbah.

– "Aku tahu perasaanmu." Ini mungkin yang terburuk dari semua komentar negatif. Kita mungkin punya empati atas apa yang telah terjadi, tetapi tidak tahu persis bagaimana perasaannya. Jadi, jangan mengurangi validitas perasaan korban.

Yang dapat dikatakan

-"Saya tidak tahu mengapa kejadian ini terjadi." Walaupun sepertinya pernyataan ini merendahkan kita, mengakuinya akan mencegah kita bersikap sok tahu yang dapat menyebabkan penyintas yang tengah mengalami krisis keimanan semakin menjauh dari Tuhan.

– "Bapak bereaksi normal terhadap kejadian yang tidak normal." Penting untuk membantu penyintas menormalkan gejala-gejala emosional, fisik, perilaku, dan spiritual yang mereka miliki setelah krisis. Mereka akan lebih cepat rileks mengetahui bahwa reaksi mereka ternyata tidak aneh.

-"Bagaimana saya bisa membantu untuk bangkit?" Dengan cara ini, kita menyediakan diri secara emosional di berbagai area yang benar-benar dibutuhkan penyintas. Kata "bangkit" dapat mendorong seseorang untuk terus bergerak maju tanpa mengharuskan mereka membuang semua yang datang sebelum bencana terjadi.

-"Ceritakan apa yang Ibu khawatirkan." Sering kali peristiwa krisis dapat memicu perasaan takut atau kerentanan. Bahkan, jika penyintas tidak terluka parah, pemikiran bahwa mereka bisa terluka atau terbunuh dapat memicu ketakutan yang intens. Dukung penyintas untuk mendiskusikan ketakutan dan kekhawatiran mereka. Mari lanjut menolong!


Kompas, 13 Oktober 2018