Dua puluh tahun lalu, ketika reformasi kita dimulai tahun 1998, dunia berspekulasi bahwa Indonesia akan terpecah belah, ter-Balkan-isasi seperti Yugoslavia yang bubar segera setelah negara itu menjalankan demokrasi saat Uni Soviet runtuh di akhir tahun 1980-an.

Setahun sebelum dan sesudah 1998, konflik internal yang berdarah dan mematikan menerpa Indonesia. Mulai dari konflik etnik di Kalimantan yang menyedihkan hingga konflik agama yang brutal di Maluku. Gerakan separatisme ketika itu menguat di Aceh dan Papua. Referendum dilakukan di Timor Timur pada 1999 dan Timor Leste akhirnya berdiri sendiri sebagai negara merdeka dan berdaulat.

Hal yang melandasi semua gejolak itu adalah ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang terpusat dan mengekang di Jakarta yang memunculkan tuntutan keadilan, baik ekonomi maupun politik, dari sejumlah daerah. Karena tuntutan yang meluas ini, aktor-aktor politik di masa periode interim, periode antara berakhirnya masa otoritarian Soeharto dan dimulainya masa reformasi, memutuskan menjalankan perubahan drastis: mendesentralisasi sistem pemerintahan di Indonesia melalui program otonomi daerah yang masif. Kekuasaan dan kewenangan yang berpuluh tahun sebelumnya terpusat di Jakarta didesentralisasi ke 500 lebih kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Sejak itu Indonesia memasuki point of no return, bergerak maju dengan berbasis pada kontribusi daerah dalam segala aspeknya. Tidak hanya kewenangan dan keuangan yang dialirkan ke daerah, hak untuk memilih sendiri kepala daerah secara langsung pun mulai tahun 2005 diberikan kepada pemilih setiap provinsi, kabupaten, dan kota.

Konsekuensi (politik) logis

Keputusan ini tentu mentransformasi bangunan politik bernegara kita secara fundamental. Konsekuensi paling utama adalah bahwa suara dan peran dari seluruh daerah Indonesia dalam proses sosial, politik, dan kebijakan ekonomi akan menjadi semakin signifikan. Buah terpenting dari program otonomi daerah adalah munculnya sumber-sumber kepemimpinan baru untuk kepemimpinan nasional kita.

Jika pada masa pra-1998 pemimpin nasional umumnya adalah figur-figur dari Jakarta ataupun tentara, pada masa setelah otonomi daerah diberlakukan, kepala-kepala daerah menjadi alternatif kepemimpinan baru. Joko Widodo, misalnya, boleh disebut sebagai anak kandung program otonomi daerah itu. Jokowi adalah generasi pertama kepala daerah yang dipilih langsung pertama kali pada 2005 sebagai wali kota, yang kemudian menjadi presiden pada 2014.

Otonomi daerah perlahan tetapi pasti melahirkan pemimpin-pemimpin daerah generasi baru yang inovatif. Mereka bereksperimen dan menjalankan prinsip-prinsip kebijakan publik dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), seperti transparansi, antikorupsi, partisipasi publik, dan local budgeting. Selain itu, mereka juga semakin memahami bahwa kekuasaan harus berorientasi pada pelayanan publik, baik di bidang kesehatan, pendidikan, kepentingan, maupun kesejahteraan publik lainnya. Selain Jokowi, di antara "generasi pertama" kepala daerah yang dipilih langsung itu juga ada nama lain, seperti Bambang DH dan Tri Rismaharini (Risma) di Surabaya, Ridwan Kamil dan Bima Arya sebagai wali kota di Bandung dan Bogor, Nurdin Abdullah sebagai bupati Bantaeng di Sulawesi Selatan, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur DKI Jakarta, dan Yoyok Riyosudibyo sebagai bupati Batang di Jawa Tengah.

Teladan dari kinerja beberapa kepala daerah yang inovatif ini sejatinya menyebabkan para pemilih di seluruh Indonesia belajar satu hal. Yaitu bahwa mereka bisa menggunakan benchmark kinerja kepala daerah lain ketika tiba waktunya memilih kepada daerahnya sendiri. Bukanlah hal yang mengherankan apabila para pemilih di sebuah kota mengharapkan wali kotanya akan melakukan perbaikan dan perubahan sebagaimana Risma memajukan Kota Surabaya yang diakui fenomenal itu. Para kepala daerah hari ini menghadapi konstituen pemilih yang tidak lagi pasif karena efek tular dari kinerja kepala-kepala daerah di tempat lain amat kasatmata bagi mereka. Pemilih secara sadar membandingkan kinerja kepala daerah satu dengan lainnya. Sepatutnya para kepala daerah menyadari bahwa mereka akan terus dibanding-bandingkan oleh warganya.

Sebetulnya, tren menguatnya kepemimpinan dari para kepala daerah adalah sebuah fenomena global. Benjamin Barber merekam hal ini dalam buku di mana ia menjadi editor berjudul If Mayors Rule the World: Dysfunctional Nations, Rising Cities (2013). Buku itu mencatat bagaimana proses modernisasi dan pembangunan yang terjadi satu abad terakhir. Kota pelan-pelan menjadi tempat utama bagi warga dunia untuk tinggal. Akibatnya, problem-problem warga dunia menjadi lebih kurang serupa, yaitu problem-problem yang bersifat urban. Semisal problem transportasi, banjir, sanitasi, kemacetan, ketimpangan, penyakit epidemik, perubahan iklim, infrastruktur, dan teknologi.

Sementara entitas "negara" tidak lentur, terlalu birokratis secara berlapis, dan tidak sensitif dalam menghadapi problem-problem tersebut karena keharusan menjaga kedaulatan (sovereignty). Padahal, problem ini umumnya bersifat lintas batas, lintas kedaulatan, dan terjadi di wilayah-wilayah subnasional yang lebih kecil. Oleh karena itu, pemerintahan subnasional, baik level provinsi, kabupaten, maupun kota, menjadi tumpuan dunia dalam menghadapi problem bersama tersebut secara kolektif. Pemilih pun menegaskan preferensinya untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki kemampuan teknokratis karena problem global berkarakter urban di daerahnya masing-masing itu dan secara agregat menjadi problem nasional. Urban leadership menjadi keniscayaan.

Kepala daerah dan kepemimpinan nasional kita

Gejala kesadaran pemilih kita atas peran penting kepala-kepala daerah sebagai alternatif kepemimpinan nasional mulai terlihat pada Pemilihan Presiden 2014, yang diawali dengan terpilihnya Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta setelah menjabat dua periode sebagai wali kota di Solo. Pemilih mengapresiasi kinerja Jokowi dalam menyelesaikan problem-problem Kota Solo. Saat terpilih pertama kali sebagai wali kota tahun 2005, Jokowi mendapatkan 36,62 persen suara. Ketika terpilih kembali pada 2010, ia memperoleh 90 persen suara, sebuah lonjakan yang hanya mungkin terjadi karena warga kota Solo memperhatikan kinerja baiknya sebagai wali kota.

Saat pertama kali terpilih sebagai wali kota tahun 2010, Risma hanya memenangi 38,5 persen suara. Ketika terpilih kembali tahun 2015 lalu, dukungan terhadap Risma melonjak menjadi 86 persen suara. Prestasi dan kinerja Jokowi dan Risma di kota yang mereka pimpin tersiar ke tempat lain lantas menjadi benchmark yang digunakan para pemilih di daerah masing-masing. Cara dan karakter kepemimpinan lama yang bergaya priayi, feodalistik, birokratis, otoriter, dan arogan semakin usang. Termasuk yang mulai sedikit demi sedikit ditinggalkan pemilih adalah politik dinasti dan jaringan patron-klientilistik di daerah yang berurat dan berakar. Menangnya beberapa "kotak kosong" atas kandidat-kandidat yang dipersepsikan sebagai bagian dari jaringan keluarga klientilistik dalam beberapa pilkada adalah penanda penting.

Gejala gelombang baru preferensi pemilih ini juga terlihat pada pilkada serentak bulan Juni 2018. Ia terutama tampak pada pemilihan gubernur di provinsi besar, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, NTB, dan di Sumatera Selatan. Calon-calon yang mengandalkan jaringan politik patronistik dan dinastik di provinsi-provinsi ini tumbang. Sementara calon-calon berkarakter lebih teknokratik menang. Ridwan Kamil tidak dicalonkan partai besar. Ia mengandalkan pesan sebagai wali kota yang berusaha menyelesaikan problem-problem yang bersifat urban tadi. Khofifah Indar Parawansa dalam pemilihan gubernur di Jawa Timur mengalahkan calon yang diusung partai-partai besar dan didukung jaringan tradisional yang kuat. Sebagai figur yang pernah memegang jabatan menteri beberapa kali, boleh dibilang daya tarik Khofifah sebagai "teknokrat" adalah salah satu faktor penting kemenangannya.

Berbekal pengalaman sebagai bupati teknokratis di Bantaeng, Nurdin Abdullah berhasil memenangi Pilgub Sulawesi Selatan dengan pertarungan adu gagasan. Ia mengalahkan jaringan politik keluarga tradisional kandidat lain yang dikenal amat menggurita di provinsi itu. Hal yang lebih kurang sama terjadi dengan kemenangan Herman Deru, bupati Ogan Komering Ulu, dalam Pilgub Sumatera Selatan. Beberapa pengalaman pilkada serentak ini menunjukkan adanya tanda-tanda penguatan preferensi arus bawah di tengah pemilih kita untuk kepala-kepala daerah dengan karakter kepemimpinan urban tersebut.

Para kepala daerah ini memiliki kesempatan yang sama luasnya untuk bertanding dalam pemilihan presiden berikut pada 2024 apabila saat itu tidak ada petahana. Ketiadaan petahana akan membuka lapangan kompetisi yang rata. Jika itu terjadi, kita bisa melanjutkan demokratisasi melalui desentralisasi yang sudah dilakukan sejak 1998, meneruskan era kepemimpinan berkarakter urban, yang memahami persoalan pelik tata kelola (governance), demokrasi, keragaman, dan terutama kebijakan berorientasi pada kepentingan publik berdasarkan pengalaman memimpin di daerah.

Hal ini hanya akan terjadi apabila dalam lima tahun sejak saat ini para kepala daerah bekerja keras membangun portofolio di daerah dan menyejahterakan warganya. Adalah hal yang wajar belaka apabila para kepala daerah memiliki aspirasi presidensial. Semoga pada pemilihan presiden tahun 2024 nanti kita akan memiliki calon-calon presiden dari kepala-kepala daerah yang beradu prestasi dengan portofolio berorientasi pada kepentingan publik, bukan kepentingan kelompok sempit. Bukan lagi pilpres yang dipenuhi unjuk kekuatan berbasis sentimen primordial seperti yang kita alami kali ini.