Negara-negara di dunia saat ini dipimpin macam-macam pemimpin. Ada yang dipimpin orang-orang yang mewarisi kekuasaan secara turun-temurun. Ada yang memenangi pemilihan umum melalui tipu daya, taktik-taktik menakuti, dan kebohongan. Ada yang menang karena rekam jejak dan bukti-bukti kerja kerasnya. Ada pula yang karena berhasil meraih kepercayaan konstituennya karena menunjukkan bahwa dia tidak sekadar memiliki kapasitas, tetapi juga karena dipercaya dapat mengubah situasi yang ada karena dia telah berhasil mengubah dirinya sendiri.
Mahatma Gandhi, Soekarno-Hatta, Nelson Mandela, Barrack Obama, Angela Merkel, dan banyak lagi lainnya adalah contoh pemimpin yang mampu mengubah diri mereka dan menginspirasi dunia.
Tidak semua tokoh ini berasal dari kelas menengah-atas, tetapi mereka mempunyai masa muda yang bertanggung jawab, menyelesaikan studi sampai di perguruan tinggi, dan berhasil mentransformasi diri mereka masing-masing. Selama masa muda, mereka bergulat dengan berbagai pertanyaan eksistensial yang harus mereka jawab. Apakah mereka berbeda dengan orang lain di sekitarnya, terutama mereka yang kurang memperoleh kesempatan seperti dirinya?
Melihat berbagai kesenjangan di sekitarnya, apakah berdiam diri saja atau berbuat sesuatu? Jika ditantang untuk ikut memperjuangkan perubahan, apakah saya mampu?
Mereka adalah orang-orang yang percaya bahwa semua orang harus mempunyai kesempatan yang sama. Sekaligus mereka percaya bahwa mereka mampu menjadi agen perubahan. Karena itulah mereka terjun ke kancah politik. Mereka tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain karena ketokohannya ada pada dirinya sendiri.
Jika disimak, yang menarik dari transformasi diri para pemimpin itu adalah bahwa berbagai perubahan yang mereka tuntut untuk diri mereka sendiri bukan semata untuk kepentingan pribadi. Mereka tidak sekadar meningkatkan kemampuan diri sebagai teknokrat, tetapi juga berbekal dan mengembangkan nilai-nilai demokratis yang sesungguhnya. Mereka mampu menginspirasi orang banyak dengan nilai-nilai, sikap hidup, dan perbuatan yang konsisten. Mereka memberikan kesegaran dan optimisme, keberanian dan keberdayaan, serta memberi rasa aman bagi orang-orang yang sudah merasa mentok atau putus asa.
Mereka tidak kebal atau menolak kritik. Kritik dirangkul dengan sikap yang tidak defensif. Mereka menjawab kritik dengan contoh-contoh nyata, bukan cerita fiksi atau rekayasa politik, melainkan hasil cucuran keringat, kerja keras, pengorbanan, kerendahan hati, dan kesabaran yang berlangsung bertahun-tahun tanpa glorifikasi pribadi. Mereka konsisten memperjuangkan kepentingan masyarakat yang tertinggal, terisolasi, terlupakan, dan termarjinalkan walau dicaci maki, dianggap bodoh, dan (bahkan) dianggap musuh kemapanan.
Kekuasaan sebagai teman perjuangan
Dalam perjuangannya, mereka tidak saja menginspirasi komunitas yang tidak berdaya, tetapi juga mampu memberikan jembatan yang aman bagi mereka yang mapan dan berkuasa. Mereka bahkan mampu menerjemahkan dan mengimplementasikan cita-cita, nilai-nilai luhur para elite melalui mekanisme yang akuntabel. Dengan demikian, seorang pemimpin transformatif bukanlah pejuang-pejuang yang sekadar gagah berani menabrak tembok dan menantang arus kekuasaan tanpa perhitungan.
Pemimpin transformatif mempunyai kecerdasan intelektual dan emosional untuk membangun lingkungan yang mendukung. Mereka bukan jago atau jagoan yang mencari musuh. Mereka piawai dalam mengakomodasi kepentingan pengkritiknya tanpa merusak rencana jangka panjangnya. Oleh karena itulah pemimpin transformatif tidak suka menghalalkan segala cara. Hanya cara yang halal yang menghasilkan hasil yang halal. Mereka tidak perlu meratapi diri ketika dikritik karena mereka telah mengkritik dirinya sebelum dikritik orang lain.
Ahli-ahli sejarah, sosiolog, dan politisi sepakat bahwa menjadikan Indonesia sebagai suatu negara-bangsa yang bersatu tidak lagi sebuah angan-angan (imagined), tetapi kenyataan sebagai karya raksasa dari para pemimpin bangsa yang berjiwa dan bercita-cita besar.
Mempertahankan negara-bangsa ini lebih dari setengah abad bukan pekerjaan kecil. Beberapa kali bangsa ini hampir porak poranda oleh kepentingan-kepentingan golongan, kelas, dan sektarianisme. Bangsa ini bertahan karena pemimpinnya berjiwa besar dan rakyat yang lebih mencintai kebersamaan.
Tahun politik ini kita kembali menyaksikan kekuatan perusak yang ingin menggoyang "pinisi" yang telah lama digerogoti dan dimiskinkan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan wacana pecah belah. Di tengah-tengah kemegahan yang memudar, diharapkan terpilih seorang nakhoda yang andal.
Jika kita dan keluarga berada di dalam pinisi tersebut, nakhoda seperti apa yang harus dipilih? Hanya nakhoda yang menyadari kerentanan kapalnya dan dengan nyata mau memperbaiki, merekatkan, menyambung kembali elemen-elemen dan bagian-bagian penting dari kapal pinisi itu, serta memberikan semangat kepada anak buah kapalnya yang akan mampu melanjutkan perjalanan menerjang ombak dan selamat sampai hingga ke tujuan. Paling tidak, inilah cara berpikir saya untuk masa depan anak-cucu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar