"Sahut-sahutan" para agamawan dan budayawan dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin soal relasi agama dan budaya penting kita cermati.
Pada Sabtu (3/11/2018) pekan lalu, sejumlah agamawan dan budayawan berkumpul dan mendeklarasikan "Permufakatan Yogyakarta" di Omah Tembi, Desa Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Permufakatan itu dikeluarkan sebagai bentuk keprihatinan bersama atas gesekan-gesekan yang belakangan kerap terjadi di masyarakat akar rumput. Penolakan, bahkan perusakan, terhadap ritual sedekah laut di Bantul dan Festival Gandrung Sewu di Banyuwangi, beberapa waktu lalu, hanyalah dua contoh bagaimana gesekan itu terjadi.
Inti dari "Permufakatan Yogyakarta" adalah ajakan agar semua komponen bangsa melakukan perubahan radikal, kembali ke jati diri bangsa dalam cara berpikir, merasa, bersikap, atau bertindak atas nama agama dan budaya. "Hijrah" kembali ke akar ini penting dilakukan saat disrupsi terjadi di semua level kehidupan, termasuk dalam beragama.
Permufakatan yang dibacakan budayawan Radhar Panca Dahana itu mengingatkan pentingnya mengaktualisasikan kembali nilai-nilai adiluhung yang telah diwariskan leluhur bangsa Indonesia, seperti antara lain: berbineka, bergotong royong, santun, saling mengasihi, dan selalu bersikap terbuka menerima keragaman. Segregasi masyarakat yang kini seakan terbelah nyata-nyata telah banyak mengabaikan nilai-nilai luhur tersebut.
Gayung pun bersambut. Ajakan para agamawan dan budayawan itu langsung direspons Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, yang inti pesannya kemudian disebarkan melalui Surat Pembaca (Kompas, 6/11/2018). Lukman menegaskan bahwa agama dan budaya memang tidak seyogianya dipertentangkan.
Sejarah agama-agama selalu beririsan, berjalan berdampingan dengan pengembangan budaya di mana agama itu lahir dan berkembang. Harmoni agama dan budaya itulah yang melahirkan peradaban. Lukman pun bersedia mengevaluasi penyelenggaraan pendidikan agama agar lebih sinergis dan harmonis dengan pengembangan budaya.
Apa yang keliru?
Lalu, mengapa faktanya masih terjadi benturan di lapangan antara mereka yang mendaku sedang menjalankan perintah agama dan mereka yang sedang menjalani ritual budaya? Keragaman budaya, dan sekaligus kemampuan kita mengelolanya, sangat dikagumi dunia luar, tetapi mengapa sebagian dari kita sendiri ingin merusak dan menghancurkannya? Mengapa kesalehan individual yang tampak dalam semangat beragama tidak mengejawantah menjadi kesalehan sosial?
Saya agak khawatir bahwa salah satu penyebab memburuknya relasi agama dan budaya saat ini adalah karena "komposisi" asupan materi pendidikan agama yang belum proporsional. Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, akhir 2017, merilis bahwa hanya 31,36 persen materi akhlak/moral yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah, sementara 63,47 persen materi keimanan, ketakwaan, dan ibadah. Artinya, porsi materi keagamaan untuk membentuk kesalehan sosial memang jauh di bawah materi untuk membentuk kesalehan individual.
Akibatnya, agama lebih berat dipahami dan diorientasikan untuk membentuk kesalehan diri (inward looking) belaka, intoleran, cenderung konservatif, serta kurang diproyeksikan untuk membangun peradaban bersama. Cendekiawan Muslim, Amin Abdullah, menyebut fenomena ini sebagai cermin terjadinya disrupsi di bidang keagamaan. Zaman cepat berubah, tetapi tafsir keagamaan yang relevan dan kontekstual belum diproduksi secepat perubahan itu.
Ini bukan soal mana yang lebih penting, materi akidah atau akhlak sosial, karena keduanya sesungguhnya ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Kita hanya harus sadar bahwa ketika agama sudah berada pada tataran praktis sosial, nilai-nilai moral universal-lah yang akan lebih banyak menjadi ukuran kesalehan seseorang.
Strategi kebudayaan kita
Sehari selepas sarasehan agamawan dan budayawan yang difasilitasi Kementerian Agama, dan kemudian melahirkan "Permufakatan Yogyakarta" itu, saya mengikuti Pra-Kongres Kebudayaan Indonesia yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta. Kongres Kebudayaan Indonesia itu sendiri baru akan digelar pada awal Desember tahun ini.
Meski masih berjalan sendiri- sendiri, saya melihat inisiatif Kementerian Agama memfasilitasi pertemuan agamawan dan budayawan yang merasa gelisah terhadap relasi agama dan budaya belakangan ini, dan program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan Kongres Kebudayaan, memiliki benang merah dan momentum yang sangat penting untuk dipertemukan serta ditindaklanjuti.
Pertemuan agamawan dan budayawan tidak boleh berhenti di permufakatan. Pun harapan Menteri Agama agar pengembangan budaya senantiasa menghargai nilai-nilai prinsipil agama serta pengembangan agama tidak menghancurkan keragaman budaya, juga harus diterjemahkan sebagai bagian dari strategi kebudayaan Indonesia, yang akan dirumuskan sebagai peta jalan kebudayaan Indonesia 20 tahun ke depan itu.
Baik Kementerian Agama maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus bersama-sama meneguhkan komitmen untuk menyelenggarakan model pendidikan agama dan budaya yang dapat menghasilkan anak Indonesia yang memiliki keyakinan akan kesetaraan. Bukan anak Indonesia yang oleh John A Titaley disebut memiliki "sindrom anak emas", merasa diri paling benar, sehingga bertindak diskriminatif terhadap tafsir keagamaan lain yang berbeda.
Terlepas dari setuju atau tidak, kita sama-sama prihatin dengan temuan survei nasional PPIM UIN Jakarta, beberapa waktu lalu, yang mengindikasikan bahwa 56,0 persen guru di Kemenag dan Kemdikbud memiliki pandangan beragama yang intoleran.
Mungkin inilah saat yang tepat bagi kita bersama untuk merumuskan model dan strategi pendidikan agama dan budaya yang lebih terbuka, dialogis, tidak sekadar hafalan. Akan tetapi, lebih substantif, dan tidak menegasikan keragaman karena keragaman adalah anugerah Tuhan yang harus kita syukuri.
Kita harus dapat "mendamaikan" agama dan budaya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar