KOMPAS/PRIYOMBODO

Pekerja menunggu pembeli beras di pasar Palmerah, Jakarta, Selasa (23/10/2018). Berdasarkan data beras yang dikoreksi pemerintah, produksi padi tahun 2018 mencapai 10.9 juta hektar dan produksi 56,54 juta ton gabah kering giling atau setara 32,42 juta ton beras.

Perbaikan data produksi beras telah selesai dilaksanakan. Upaya Badan Pusat Statistik yang melibatkan Badan Informasi Geospasial, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi melalui kegiatan Kerangka Sampling Area selayaknya kita apresiasi.

Hasilnya, potensi luas panen padi pada tahun 2018 sebesar 10,9 juta hektar. Dari jumlah itu diperkirakan menghasilkan 56,54 juta ton gabah kering giling, atau sebesar 32,42 juta ton beras.

Selanjutnya, jika dihubungkan dengan angka konsumsi nasional berdasarkan data tahun 2017 sebesar 111,58 kg per kapita per tahun, total konsumsi beras nasional mencapai 29,50 juta ton. Dengan demikian, masih ada surplus beras 2,85 juta ton.

Evaluasi persediaan

Surplus tahun ini menjadi gambaran besaran operan untuk persediaan Januari 2019. Persediaannya tersebar di seluruh Indonesia, mulai dari rumah tangga, petani, pedagang, penggilingan, hingga Bulog. Jika ditarik ke depan, neraca produksi akan mengalami defisit di awal tahun (Januari-Februari) sebelum masuk panen raya.

Apabila rata-rata konsumsi per bulan sekitar 2 juta ton dan produksi beras per bulan lebih rendah daripada pemenuhan konsumsi, cadangan Bulog pun bakal menipis di awal tahun dan pada saat yang sama harga beras meningkat. Apabila harga beras eceran meningkat 10 persen lebih tinggi daripada harga eceran tertinggi yang ditetapkan, sementara stok Bulog kurang dari satu juta ton, maka impor bisa jadi tetap menjadi solusi.

Mengantisipasi kondisi ini, peningkatan panen gabah di luar panen raya tetap diperlukan. Dari panen setahun sekali, menjadi dua kali, bila perlu tiga kali dalam setahun. Penetasan subsidi melalui kelompok tani, pembangunan sarana pengairan untuk pertanian, hingga dibangunnya badan usaha milik desa untuk menjaga ketahanan pangan lokal juga telah diterapkan. Pasokan pangan pun diharapkan tetap terjaga.

Untuk menjaga produksi, kantong pertanian dapat secara intensif dipantau oleh mantri tani atau penyuluh pertanian lapangan di kecamatan wilayah tugasnya. Laporan kondisi lapangan ini dapat dijadikan peringatan dini, wilayah mana yang akan panen dan membutuhkan penanganan lebih taktis dari pengambil kebijakan, supaya kegagalan dapat ditekan.

Dalam jangka panjang, laporan Bank Dunia menyebutkan, Indonesia dan negara sekitarnya akan defisit 127 juta ton pada 2025. Penyebabnya tak lain karena luas lahan pertanian yang terus menurun akibat perubahan iklim. Eropa dan Amerika yang akan memenuhi pasokan akibat defisit tersebut lantaran negara beriklim sedang atau dingin terjadi penambahan luas lahan.

Sejak otonomi daerah, konversi lahan pertanian lebih cepat dibandingkan dengan pembukaan lahan pertanian baru. Faktanya, berdasarkan publikasi Statistik Potensi Desa (Podes), tahun 2011, ada lebih dari 9.000 desa yang mengalami konversi lahan dari pertanian menjadi non-pertanian.

Kondisi ini terjadi juga pada 2014, lebih dari 9.000 desa ada konversi lahan. Sementara pembukaan lahan baru terus menurun, dari 4.293 desa pada tahun 2011 menjadi 3.634 desa pada tahun 2014.

Tingkatkan produktivitas

Sebagai lumbung padi, sudah saatnya desa memetik hasil pembangunan pertanian dari dana desa, baik berupa pembangunan saluran irigasi, embung, bendungan, maupun modernisasi teknologi pertanian lainnya sejak 2015. Namun, banyaknya pembangunan infrastruktur untuk pengairan sawah tersebut tanpa diikuti pembukaan lahan baru sehingga produksi pertanian akan tetap terbatas.

Bagaimana membuat paralegal desa membuka peluang, mengajak masyarakat menghidupkan kembali lahan mati, atau pembukaan lahan baru? Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 19/2017 telah memberikan kewenangan pada desa untuk memprioritaskan pencetakan lahan pertanian baru.

Percepatannya, dengan menyisihkan anggaran desa (dana desa, alokasi dana desa, atau pendapatan asli desa) untuk pengadaan aset desa berupa lahan pertanian.

Publikasi Podes 2014 mencatat, ada 49.313 desa yang memiliki aset berupa tanah kas desa/ulayat, itu pun tidak semua digunakan sebagai lahan pertanian. Jika penyediaan lahan pertanian ini lebih cepat dilaksanakan, produktivitas beras lebih cepat ditingkatkan.

Luas baku sawah telah mengalami penurunan sekitar 635.000 hektar selama lima tahun, dari 7,74 juta hektar (2013) menjadi 7,1 juta hektar (2018). Untuk mengembalikan penurunan lahan sawah ini butuh waktu cukup lama.

Jika dengan Permen Desa dan PDT Nomor 19/2017 dapat menargetkan membuka satu hektar sawah per desa, dibutuhkan waktu lebih dari lima tahun untuk mengembalikan luas baku sawah kembali seperti sedia kala. Meskipun demikian, upaya ini dapat menangguhkan defisit beras prediksi Bank Dunia pada 2025.

Menurut publikasi Statistik Potensi Desa, sebagian besar penduduk desa yang bekerja pada subsektor tanaman pangan tersebar di 47.300 desa, sebaran ini telah berkurang dari tahun 2011 sebanyak 47.962 desa. Di sisi lain, data BPS menyebutkan, pada Agustus 2017, ada 35,92 juta penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian, jauh lebih besar daripada sektor bisnis lainnya.

Peluang pertanian tanaman pangan di desa masih terbuka lebar. Karena itu, pembukaan lahan baru dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi buruh tani dan petani gurem mengakses lahan pertanian sawah yang lebih luas.

Terutama pembukaan lahan baru di desa yang sebagian besar penduduknya masih bekerja pada subsektor tanaman pangan.

Akhirnya, data produksi beras dengan metode baru telah diperoleh. Sekarang, saatnya mengamankan pasokan menuju masa paceklik dan antisipasi ketidakpastian global. Jika tidak, kekurangan pasokan dan gejolak harga beras rentan terjadi, termasuk menahan gejolak stabilitas politik masa elektoral tahun depan.