Pada Kamis, 11 Oktober 2018, untuk pertama kalinya Komisi Pemberantasan
Korupsi mendakwa korporasi sebagai pelaku korupsi.

Dalam sidang perdana, KPK mendakwa PT Duta Graha Indah yang telah berganti nama menjadi PT Nusantara Konstruksi Enjiniring yang diwakili Djoko Eko Suprastowo sebagai direktur utama. Bahkan, saat ini, KPK mencoba membidik korporasi yang acapkali melakukan penyuapan terhadap penyelenggara negara.

Sebenarnya hal ihwal pertanggungjawaban pidana korporasi telah menjadi perdebatan sejak awal abad ke-19. Namun, sampai dengan abad milenial ini, ada beberapa negara yang secara tegas tidak menganut pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidananya, seperti Jerman, Italia, Yunani, Portugal, dan Spanyol.

Negara-negara ini berpegang teguh pada dua doktrin yang dikemukakan oleh Friedrich Carl von Savigny dan Malblanc. Pertama,  universitas delinquere non potest (korporasi tidak dapat dipidana) dan kedua,  societies delinquere non potest (korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana). Di negara-negara itu, pertanggungjawaban korporasi hanya dikenal dalam lapangan hukum perdata dan administrasi.

Lima teori

Dalam doktrin hukum pidana, paling tidak kita mengenal ada lima teori pertanggungjawaban korporasi. Pertama, teori identifikasi yang menyatakan bahwa suatu korporasi dapat melakukan kejahatan melalui individu yang bertindak untuk dan atas nama korporasi yang memiliki posisi tinggi atau memainkan suatu fungsi kunci dalam pengambilan keputusan korporasi.

Teori ini juga disebut sebagai alter ego. Kedua, vicarious liability yang menyatakan bahwa seseorang dapat bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang lain.

Dalam konteks korporasi, pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada pengurus korporasi sebagai "agen" dari korporasi tersebut. Vicarious liability atau pertanggungjawaban pengganti pada awalnya diterapkan dalam kejahatan terhadap lingkungan. Perkembangan lebih lanjut dari vicarious liability,  ada yang dikenal dengan absolut liability dan strict liability.

Perbedaan prinsip keduanya: dalam absolut liability tidak diperlukan adanya kesalahan atau mens rea, tetapi yang dibutuhkan adalah pembuktian bahwa telah terjadi suatu tindak pidana. Sementara dalam strict liability mensyaratkan pembuktian bahwa terdakwa melakukan perbuatan yang diragukan. Artinya, terdakwa berhak untuk dilakukan due diligence berkaitan dengan kasus tersebut.

Ketiga, teori delegasi yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana diletakkan kepada orang yang oleh direksi diberi delegasi untuk melaksanakan kewenangan korporasi. Teori  ini sebagai jalan tengah antara teori identifikasi yang sempit dan teori vicarious liability yang terlalu luas manakala berhadapan dengan struktur korporasi yang rumit.

Keempat, teori agregasi yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada korporasi jika perbuatan tersebut dilakukan sejumlah orang yang memenuhi unsur delik yang mana antara satu dengan yang lain saling terkait dan tidak berdiri sendiri.

Kelima, teori model budaya kerja yang menyatakan bahwa kebijakan korporasi yang tersurat dan tersirat memengaruhi cara kerja korporasi dan dapat dimintakan pertanggungjawaban jika tindakan seseorang memiliki dasar rasional bahwa korporasi memberikan wewenang atau mengizinkan perbuatan tersebut.

Ketentuan korporasi

Pertanyaan lebih lanjut, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) kita mengikuti teori yang mana? Pasal 20 Ayat (1) dan Ayat (2) UU a quo secara eksplisit menyatakan: (1)  "Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya". (2) "Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama".

Ketentuan tersebut sepintas kilas  seolah-olah antara Ayat (1) dan Ayat (2) Pasal a quo berhubungan. Namun, jika dikaji lebih mendalam, antara Ayat (1) dan Ayat (2) menggunakan dua teori yang berbeda. Pasal 20 Ayat (1) menggunakan teori identifikasi. Di sini yang didakwa dan dituntut adalah pengurus untuk dan atas nama korporasi sekaligus untuk dan atas nama individu. Sementara Ayat (2) menggunakan teori agregasi. Artinya, yang didakwa dan dituntut adalah korporasi.

Ketentuan lebih lanjut perihal pertanggungjawaban pidana korporasi diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016.

Berdasarkan perma itu, ada tiga kemungkinan tanggung jawab pidana oleh korporasi. Pertama, jika kejahatan memberikan manfaat atau keuntungan atau memenuhi kepentingan korporasi. Kedua, jika korporasi membiarkan tindak pidana. Ketiga, jika korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan agar tidak terjadi tindak pidana, termasuk dampak besar setelah tindak pidana tersebut terjadi.

Perma itu perlu diapresiasi sebagai pedoman (guidance) bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penuntutan terhadap korporasi. Adapun kelemahan mendasar pada perma itu adalah pada kemungkinan kedua dan ketiga yang menghendaki crime by omission pada rumusan delik korupsi. Tegasnya, jika rumusan delik korupsi tidak mencantumkan secara eksplisit perbuatan negatif dalam rumusan delik, kemungkinan kedua dan ketiga tidak dapat dijerat terhadap korporasi.

Praktik penegakan hukum

Pertanyaan lebih lanjut, apakah terhadap suatu korporasi penuntutan dapat dilakukan terhadap pengurus sekaligus terhadap korporasi? Secara tegas: ya. Artinya, Pasal 20 Ayat (1) UU Tipikor dapat diterapkan kepada pengurus, sedangkan Pasal 20 Ayat (2) UU Tipikor dapat diterapkan terhadap korporasi.

Perkaranya pun dapat dipisah, tergantung tingkat kerumitan dan penilaian subyektif penuntut umum. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah putusan hakim. Jika putusan hakim telah menghukum pengurus dan juga korporasi, padahal  penuntutan hanya dilakukan terhadap pengurus, korporasi tidak dapat lagi dituntut karena asas nebis in idem (seseorang tidak dapat dituntut lebih dari satu kali di depan pengadilan dengan perkara yang sama).

Kalaupun korporasi tetap dituntut secara terpisah, padahal telah ada putusan yang memidana pengurus dan korporasi, putusan bersalah terhadap korporasi tidak diikuti oleh pemidanaan. Pada titik yang paling ekstrem, jika ada pemidanaan, maka pemidanaan terdahulu harus tetap diperhitungkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 KUHP sebagai perbuatan pidana tertinggal.

Hal lain yang perlu diperhatikan Polri, Kejaksaan, dan KPK untuk menjerat korporasi adalah dengan meneliti terlebih dulu kejahatan yang terjadi, apakah crimes for corporation, crimes against corporation ataukah criminal corporations. Crimes for corporation diartikan sebagai korporasi yang melakukan kejahatan untuk kepentingan dan keuntungan korporasi.

Sebagai misal, korporasi yang acap kali melakukan penyuapan miliaran rupiah kepada penyelenggara negara dalam beberapa kasus. Dalam konteks ini, sulit dikatakan kalau korporasi tidak terlibat secara terstruktur dan sistematis. Jika terjadi demikian, Pasal 20 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Tipikor  dapat diterapkan terhadap korporasi. Lain halnya jika yang terjadi adalah crimes against corporation atau juga disebut employes crimes. Di sini kejahatan dilakukan oleh karyawan terhadap korporasi. Tegasnya, korporasi adalah korban. Dalam konteks yang demikian, korporasi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.

Lain halnya pula jika yang terjadi adalah criminal corporations, yaitu korporasi yang dibentuk dengan sengaja dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan. Dalam beberapa kasus korupsi di Indonesia, ada beberapa korporasi yang sengaja dibentuk untuk menampung kickbacks atau uang suap dari sejumlah pembangunan megaproyek. Dalam konteks ini, terhadap korporasi tidak hanya diterapkan Pasal 20 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Tipikor, tetapi juga harus dibubarkan.

Hal terakhir yang penting diperhatikan oleh Polri, Kejaksaan, dan KPK ketika akan menjerat korporasi dalam konteks crimes for corporation adalah memitigasi dua persoalan penting. Pertama, sesaat korporasi dinyatakan sebagai tersangka serta-merta berbagai pihak yang sedang atau akan melakukan transaksi bisnis dengan korporasi tersebut akan berhenti seketika. Sebab, pandangan masyarakat kita, penetapan tersangka telah memberi stigma bersalah dan mengesampingkan presumption of innocent.

Pihak mana yang mau atau melanjutkan transaksi dengan korporasi yang dinyatakan tersangka? Belum lagi, jika semua rekening korporasi diblokir atas perintah aparat penegak hukum. Secara mutatis mutandis, income korporasi akan menurun padahal penjatuhan pidana maksimal hanya berupa denda dan uang pengganti. Kedua, konsekuensi logis dari yang pertama,  income perusahaan akan menurun drastis, bahkan korporasi tidak dapat menjalankan usahanya. Dalam konteks ini, bagaimana dengan nasib ratusan atau mungkin ribuan karyawan yang berada di ambang pemutusan hubungan kerja? Sebab, bagaimanapun kejamnya hukum pidana, pemidanaan harus tetap mendatangkan manfaat, tidak hanya bagi korban, tetapi juga terhadap pelaku dalam rangka fungsi rehabilitatif dan yang terdampak dari pemidanaan itu sendiri.