ARSIP PRIBADI

DR SAMSURIDJAL DJAUZI

 

Tahun depan saya berencana untuk menikah. Saya sudah tamat kuliah tiga tahun yang lalu dan saya sekarang berumur 29 tahun. Saya sekarang punya usaha sendiri, berjualan mainan anak. Semula hanya sebagai pedagang, tetapi sekarang sebagian sudah dapat saya produksi sendiri meski baru pada tingkat produksi rumah tangga.

Calon istri saya bekerja di sebuah bank swasta dan berumur 26 tahun. Sesuai dengan anjuran banyak dokter, saya memeriksakan kesehatan sebelum menikah. Kesehatan saya baik, tidak ada kencing manis ataupun darah tinggi. Juga saya bebas penyakit kelamin. Namun, saya ternyata mempunyai hepatitis C.

Saya memang pernah, sewaktu SMP, ikut-ikutan menyuntik narkoba walaupun hanya sebentar. Kemudian, saya tahu tindakan tersebut berisiko menularkan HIV dan hepatitis C. Untung saya bebas HIV, tetapi saya terinfeksi hepatitis C.

Teman saya juga ada yang mengidap hepatitis C dan beberapa tahun lalu menjalani pengobatan dengan interferon yang menurut dia efek sampingnya berat. Keberhasilan terapi interferon juga hanya sekitar 60 persen.

Saya ingin mengobati hepatitis C saya. Alangkah senangnya jika sebelum menikah saya sudah dapat bebas dari penyakit hepatitis C ini.

Saya mendengar dari teman-teman sekarang sudah ada obat hepatitis C yang bukan interferon. Obat tersebut dapat diminum karena berupa kapsul. Menurut teman saya, manfaatnya juga bagus, keberhasilan terapi tinggi.

Juga yang menarik, informasi yang saya peroleh, sekarang pemerintah punya program terapi hepatitis C yang cuma-cuma. Informasi ini amat menarik bagi saya karena sebelumnya biaya terapi hepatitis C sangat mahal.

Saya memang punya tabungan. Namun, saya sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi pernikahan. Mohon informasi lebih lanjut mengenai obat hepatitis C ini. Apakah memang cukup efektif? Adakah efek sampingnya? Jika ingin mengikuti terapi program pemerintah, ke mana saya harus berobat? Terima kasih atas penjelasan Dokter.

M di B

Saya senang karena Anda peduli kesehatan dan melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum menikah. Ini merupakan kebiasaan yang baik karena tujuan pernikahan adalah untuk membentuk rumah tangga bahagia dan mempunyai keturunan yang sehat. Calon pengantin yang mengidap penyakit menular dapat menularkan kepada pasangannya.

Bahkan, beberapa penyakit seperti hepatitis B, HIV, dan penyakit menular seksual seperti sifilis dapat menular dari ibu hamil kepada bayinya. Hepatitis C dapat menular melalui hubungan seksual dan juga dapat menular dari ibu hamil kepada bayi, tetapi risikonya kecil.

Risiko penularan hepatitis C yang besar adalah pada penggunaan jarum suntik bersama di kalangan pengguna narkoba suntikan.

Kita mengenal sedikitnya ada tiga macam hepatitis, yaitu hepatitis A, B, dan C. Virus hepatitis A menular melalui makanan dan minuman yang tercemar. Beberapa kali kita membaca berita terjadinya kejadian luar biasa hepatitis A di kampus atau sekolah karena siswa tertular melalui makanan atau minuman di kantin.

Gejala hepatitis A cukup berat, yaitu demam, mual, dan mata kuning. Penderita harus beristirahat. Untunglah penyakit ini pada umumnya sembuh, tak ada yang berkembang menjadi kronik.

Virus hepatitis B dan C menular melalui cairan tubuh sehingga dapat menular melalui jarum suntik bekas, hubungan seksual, dari ibu hamil kepada bayinya.

Penyakit hepatitis B sering dijumpai di negeri kita sehingga pemerintah telah melaksanakan program imunisasi nasional. Bayi yang baru lahir pada hari pertama kelahiran sudah diimunisasi hepatitis B.

Hepatitis B juga sebagian besar akan sembuh, tetapi sekitar 5 persen sampai 10 persen dapat menjadi kronik. Hepatitis C lebih banyak yang menjadi kronik hanya sekitar 20 persen yang sembuh, sebagian besar akan menjadi hepatitis C kronik.

Nah, baik hepatitis B kronik maupun hepatitis C kronik dalam waktu lama dapat berkembang menjadi sirosis hati atau kanker hati. Sebagian besar kanker hati di Indonesia disebabkan oleh hepatitis B kronik dan hepatitis C kronik.

Sekarang tersedia obat untuk hepatitis B kronik dan hepatitis C kronik. Keberhasilan terapi hepatitis C kronik terbaru mencapai 95 persen. Obat hepatitis C perlu diminum sekitar tiga bulan sampai enam bulan. Obat hepatitis B kronik juga sudah ada di Indonesia.

Namun, obat ini baru berhasil menekan jumlah virus hepatitis B (HBV DNA), belum berhasil menyembuhkan hepatitis B kronik sehingga obat harus diminum terus-menerus. Pemerintah memang sudah mempunyai program terapi hepatitis C dan program ini sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sejak dua tahun yang lalu.

Bagaimana cara mengikuti program ini? Layanan terapi hepatitis C disediakan di rumah sakit di kota-kota besar di Indonesia. Anda harus memeriksa ulang keadaan hepatitis C Anda baik melalui pemeriksaan anti-HCV maupun jumlah virus hepatitis C melalui pemeriksaan HCV RNA (yang menyatakan dalam tubuh Anda ada virus hepatitis C).

Jika HCV RNA Anda tak terdeteksi, Anda tak perlu mengikuti program terapi ini. Jika jumlah virus hepatitis C yang dinyatakan dengan HCV RNA tinggi, diperlukan terapi hepatitis C.

Terapi hepatitis C dapat menghilangkan virus hepatitis C yang ada di tubuh penderita. Untuk pemilihan obat hepatitis C yang disebut obat DAA, sebaiknya juga dilakukan pemeriksaan resistensi. Namun, pemeriksaan ini boleh tidak dilakukan jika biayanya dirasa terlalu mahal.

Selanjutnya perlu pemeriksaan keadaan hati dengan pemeriksaan yang disebut Fibroscan. Nah, berdasar data yang ada, dokter akan menentukan pilihan obat DAA serta lama pengobatan, apakah Anda perlu mendapat terapi tiga bulan atau enam bulan. Setelah selesai pengobatan, pemeriksaan HCV RNA diulang.

Diharapkan HCV RNA sudah tak terdeteksi. Untuk meyakinkan bahwa virus tersebut benar-benar sudah bersih dan tidak timbul kembali, dilakukan pemeriksaan ulangan HCV RNA tiga sampai enam bulan setelah selesai terapi. Jika virus tetap tak terdeteksi, pasien dinyatakan sembuh.

Obat DAA yang digunakan merupakan obat kombinasi. Efektivitasnya tinggi sekitar 95 persen dan efek sampingnya ringan, biasanya tidak sampai mengganggu kegiatan penderita yang minum obat ini. Akan tetapi, DAA dapat berinteraksi dengan obat-obat lain, misalnya obat HIV, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan menyeluruh termasuk fungsi hati dan ginjal.

Nah, untuk mengikuti program ini, Anda perlu berkonsultasi dengan dokter puskesmas atau dokter keluarga Anda. Puskesmas atau dokter keluarga akan merujuk Anda ke rumah sakit yang mempunyai program terapi hepatitis C.

Biasanya di rumah sakit Anda akan dilayani oleh dokter spesialis penyakit dalam atau dokter konsultan hepatologi. Seperti saya kemukakan, terapi baru ini sudah berjalan dua tahun. Jadi, para dokter sudah punya pengalaman dalam melaksanakannya dengan baik.