RON

Sawitri Supardi Sadarjoen

 

Barangkali saat ini kita sedikit merasa depresi karena pada skala 1 sampai 10 dari tingkat kesehatan keluarga, keluarga kita berada di rentang 2 atau 3. Mungkin kita tidak mendapat ruang yang luas untuk mengekspresikan emosi kita.

Tersenyumlah kepada diri sendiri untuk membuat kita kembali riang. Sebab, bisa saja keluarga lain yang tampak dari luar seolah berada dalam peringkat rentang lebih baik, dalam kisaran rentang 9 atau 10, tetapi di balik tampilan luar itu sebenarnya berada dalam kondisi lebih berantakan daripada keluarga kita.

Masalah utama yang ada dalam keluarga sangat terkait dengan rentang situasi "lebih atau kurang" walaupun hal itu terkait pula dengan pemahaman permasalahan keluarga yang kompleks.

Bisa saja kompleksitas yang menyangkut perbedaan antar-anggota keluarga yang relatif besar. Tentu saja kita tidak bisa menganggap enteng kehidupan keluarga. Seperti apa yang kita alami tentang hakikat keluarga, pada dasarnya, kehidupan nyata dipenuhi oleh komplikasi, "pakepuk", berantakan.

Dengan demikian, sebenarnya perkiraan tentang kondisi keluarga tidak sepenuhnya tepat jika dilakukan dengan menetapkan taraf tertentu berdasarkan angka, apalagi yang menyangkut aspek kontekstual.

Contohnya, ayah saya seorang yang sangat kocak, suka bergurau, dan terkadang melontarkan kata-kata yang membuat kita sebagai anggota keluarga tertawa terbahak bersama.

Ayah benar-benar menebar keceriaan dalam keluarga inti kami walaupun kondisi tersebut sangat paradoks dengan situasi yang ayah peroleh dari kakek nenek serta keluarga besarnya. Kondisi keluarga nenek kakek terkesan penuh ketegangan, tanpa humor, bahkan cenderung selalu tampak serius.

Adik saya (K, 18) selalu menceritakan kepada teman-temannya bahwa: "Kami sekeluarga begitu bahagia terutama pada saat berkumpul di meja makan, kami bebas menceritakan apa pun, dan selalu mendapat respons bernada positif dari seluruh keluarga sehingga sering kami tertawa terbahak sampai mengeluarkan air mata, saat kami semua masih duduk di sekitar meja makan, setelah makan malam selesai".

 

 

Berbeda dengan keluarga paman. Salah satu anaknya yang berhubungan sangat dekat dengan K, suatu saat mengundang K makan malam bersama keluarganya. K berpikir kondisi keluarga paman sama dengan keluarga kami. Setelah makan malam, adik saya menceritakan bagaimana jijiknya K saat harus praktikum bedah katak di laboratorium fisiologi untuk meneliti anatomi dari seekor katak.

Saat itu K juga menunjukkan ekspresi jijiknya kepada keluarga paman di meja makan, setelah makan malam selesai. Apa yang dirasakan K?

K terkejut karena tiba-tiba paman meninggalkan meja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian pelan-pelan semua anggota keluarga meninggalkan meja makan satu per satu. K terkejut melihat reaksi keluarga paman yang begitu dingin. Ternyata hanya kali itulah K diundang makan malam bersama keluarga paman.

Dengan kejadian itu, K menyadari, walaupun paman adalah adik kandung ayah, cara menyikapi cerita sesudah makan malam selesai tidak sama dengan sikap ayah di rumah.

Tampaknya paman mewarisi sikap mental kakek yang kaku dan tegang. Sebaliknya, bagi kami sekeluarga, suasana keluarga yang begitu rileks dan santai membuat kami mampu menjaga relasi dengan siapa pun di luar rumah, termasuk dengan keluarga paman tersebut di atas.

Kita menyimak bahwa ternyata setiap anggota keluarga memiliki kekuatan dan kepekaan tertentu terhadap permasalahan yang mereka hadapi. Hal itu tergambar pada sejauh mana budaya keluarga mempertajam sikap mental untuk kondisi baik maupun kondisi buruk yang terjadi dalam keluarga.

Setiap anggota keluarga akan mengalami dan mengelola segala tantangan yang diperoleh dalam keluarga dengan baik sejauh arah iklim keluarga yang tercipta dalam budaya tertentu mendukung pencapaian tujuan pribadi setiap anggotanya.

Namun, jika kemudian secara tiba-tiba muncul kondisi krisis dalam keluarga, kekuatan awal yang dimiliki setiap anggota keluarga tersebut akan runtuh dan secara otomatis memunculkan gejala psikosomatik kronis atau kemudian merasa tak berdaya.

Dalam situasi krisis, kekuatan yang dimiliki setiap anggota keluarga tidak mendapat peluang untuk memunculkan tujuan individual yang diinginkannya.

Kondisi tersebut membuka peluang terciptanya ranah yang membuat anggota keluarga kesulitan menyuarakan kata hati. Kondisi tersebut bisa menyebabkan anggota keluarga sakit karena merasa kehilangan rasa saling bergantung, berkurangnya support keluarga.

Di samping itu, keterbatasan kemampuan anggota keluarga tertentu dalam mengatasi kesedihan dan luka batinnya ikut memegang peranan pula. Orang tersebut merasa seolah kehilangan eksistensi diri, merasa terisolasi, terdiam seribu bahasa, dan beku secara emosional. Rupanya kondisi itulah yang dihadapi paman saat menghadapi krisis pada keluarga nenek dan kakek.

Sementara ayah ternyata memiliki kekuatan yang cukup menjaga keseimbangan dirinya walaupun menghadapi krisis yang sama dengan paman.

Ternyata banyak juga hal kontradiktif yang berperan dalam pembentukan keluarga. Kebersamaan antar-anggota keluarga memang bisa memiliki nilai tinggi bagi peluang ekspresi emosi setiap anggota keluarga. Peluang untuk saling memberikan bantuan antar-anggota keluarga pun akan tercipta, yang dapat mewarnai karakter suku atau bangsa tertentu.

Di sana loyalitas keluarga dan keterikatan emosi antar-anggota keluarga menjadi tradisi yang membanggakan. Walaupun dalam keadaan yang ekstrem ada saja anggota keluarga dalam situasi tersebut, akhirnya merasa suaranya tidak diakomodasi secara individual sehingga menjadikannya terhambat secara emosional.

Menggarisbawahi apa yang terjadi pada salah satu anggota keluarga kami, di mana terdapat perbedaan karakter karena iklim keluarga antara ayah dan paman serta uraian pengaruh budaya di atas, dapat kita simpulkan bahwa pembentukan karakter individual anggota keluarga juga sangat bergantung pada sejauh mana kekuatan dan kepekaan individual memiliki peran yang berpengaruh secara spesifik bagi bentukan kehidupan keluarganya kelak walaupun iklim budaya yang mewarnai masing-masing anggota relatif sama.

Dengan catatan, kompleksitas, "pakepuk"-nya dan berantakannya pun menjadi spesifik pula.