AFP/ MAHMUD HAMS

Bola api membumbung di atas gedung rumah dan Stasiun TV yang dikelola Hamas al-Aqsa di Jalur Gaza dalam serangan udara Israel di Kota Gaza, Senin (12/11/2018).

Eskalasi krisis di Jalur Gaza, awal pekan ini, terjadi mendadak. Diawali operasi penyusupan Israel, eskalasi di Jalur Gaza berdampak pada guncangan politik di Israel.

Seperti diberitakan koran ini, eskalasi militer dalam bentuk berbalas gempuran antara faksi-faksi bersenjata Palestina di Jalur Gaza dan militer Israel dipicu operasi penyusupan pasukan khusus Israel di kota Khan Yunis, Jalur Gaza tengah, Minggu malam. Dalam operasi itu, pasukan Israel membunuh komandan sayap militer Hamas dan enam anak buahnya.

Insiden tersebut dibalas Hamas dan faksi-faksi bersenjata Palestina lainnya sehingga menewaskan seorang perwira Israel dan melukai beberapa anggota pasukan Israel. Cerita lama pun berulang. Selama 2 hari 2 malam, Jalur Gaza kembali membara. Faksi-faksi Palestina menembakkan sekitar 400 roket ke desa dan kota di Israel. Israel melancarkan gempuran udara pada sekitar 150 sasaran di Jalur Gaza, termasuk kantor intelijen militer Hamas dan kantor stasiun televisi Al Aqsa milik Hamas.

Eskalasi mereda setelah—berkat mediasi Mesir, Qatar, Norwegia, dan Utusan Khusus PBB untuk Timur Tengah, Nickolay Mladenov—tercapai gencatan senjata, Rabu. Namun, bagi Israel, guncangan politik justru baru dimulai. Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman mengundurkan diri sebagai protes terhadap keputusan pemerintahan PM Benjamin Netanyahu menerima kesepakatan gencatan senjata.

Pengunduran diri Lieberman berdampak pada pemerintahan koalisi konservatif pimpinan Netanyahu. Tanpa dukungan partai Yisrael Beiteinu—berarti "Israel rumah kami", partai kanan dengan basis dukungan imigran Rusia, negara asal Lieberman— yang memiliki enam kursi di parlemen, pemerintahan Netanyahu kini hanya menguasai 61 dari 120 kursi di parlemen.

Ada kemungkinan, kendati sejauh ini masih dibantah juru bicara Partai Likud pimpinan Netanyahu, pemilu Israel—seharusnya digelar pada November 2019—bisa dimajukan. Dengan kuatnya tekanan dari mitra koalisi ataupun oposisi agar pemilu dimajukan, pemerintahan Netanyahu mungkin tidak akan bertahan hingga akhir mandat.

Mengapa dinamika politik di Israel perlu dicermati? Dalam wawancara dengan laman Al Jazeera, Rabu (14/11/2018), jurnalis Palestina, Jehan Alfarra, mengatakan, "Warga Palestina sangat terbiasa dengan para politisi Israel yang menggunakan pemilu untuk melenturkan kekuatan politik mereka dan memetik poin dengan mengorbankan warga yang terkepung di Gaza."

Artinya, karena kerap dijadikan komoditas politik di Israel, situasi di Jalur Gaza tak bisa dilepaskan oleh dinamika politik di Israel. Eskalasi baru di Jalur Gaza bisa saja terjadi lagi seiring dengan pemilu yang dipercepat di Israel.