KOMPAS/ RIZA FATHONI

Mural pahlawan nasional Bung Karno tergambar di dinding di kawasan Jalan Basuki Rahmat, Duren Sawit, Jakarta, Sabtu (3/1). Semangat, karisma, dan jasa Bung Karno masih dikenang di hati masyarakat dan diapresiasi dengan berbagai cara.

Pahlawan tidak lagi disebut sebagai sosok yang memegang senjata melawan penjajah. Pahlawan bukan pula orang yang berjuang demi memertahankan kemerdekaan. Pahlawan adalah mereka yang terus bekerja keras dan berjuang untuk menyejahterakan masyarakat banyak.

Begitulah setidaknya inti pandangan generasi milenial tentang pahlawan menurut survei Litbang Harian Kompas(31 Oktober-1 November 2018). Survei itu menjelaskan pandangan kaum muda tentang pahlawan.

Sebanyak 81,6 persen generasi muda dilaporkan tidak setuju jika gambaran pahlawan diidentikkan dengan semata pada sosok yang merebut kemerdekaan melalui perjuangan bersenjata. Sebanyak 51,8 persen responden, generasi milenial mengatakan bahwa pahlawan masa kini harus dihubungkan dengan perjuangan menyejahterakan masyarakat.

Hasil survei yang sama menyebutkan 39,5 persen responden berpendapat nilai kepahlawanan kini terkait dengan perjuangan membela kebenaran. Hanya 4,6 persen kaum muda yang mengaitkan nilai kepahlawanan dengan perjuangan kemerdekaan (Kompas, 5 November 2018).

Menariknya, kaum milenial sulit mengidentifikasi sosok dan tokoh yang dianggap pahlawan di negara ini. Terkait sosok pahlawan, 49,3 persen responden generasi milenial tetap menyebut para pejuang kemerdekaan sebagai sosok pahlawan, tokoh populer (33,6 persen), tokoh agama (9,6 persen), dan tokoh imajiner-superhero (3,5 persen).

Merujuk pada jumlah generasi muda saat ini, pandangan mereka tentang pahlawan memberi harapan optimis akan kemajuan Indonesia. Hal itu disebabkan karena suara besar kaum muda sekaligus  menyadarkan elite dan pengambil kebijakan akan posisi penting kesejahteraan dan nasib kebangsaan Indonesia saat ini.

Seksi di jagat politik

Data Poltracking Indonesia (2018) menunjukkan, generasi 17-35 tahun ini berjumlah 40 persen. Menurut Saiful Mujani Research Consulting (SMRC) pada 2018, saat ini setidaknya 34,4 persen masyarakat Indonesia ada di rentang umur emas tersebut. Sebuah angka yang tergolong besar.

Karena jumlahnya yang tergolong besar, generasi milenial menjadi kelompok paling seksi di jagat politik nasional 2019. Mereka termasuk dalam kategori pemilih milenial. Pemilih milenial adalah mereka yang lahir dalam rentang 1981- 1999 (Pew Research Center, 2010).

Pertanyaannya kemudian ialah apa hubungan antara pandangan tentang pahlawan dengan konteks kehidupan berbangsa dan bernegara masa kini? Dalam rumusan lain, bagaimana menjelaskan relasi antara kaum muda dengan konteks kekinian Indonesia?

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Ideafest 2018 – Para milenial antre masuk ke dalam ruang perhelatan Festival kreatif IdeaFest 2018 di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Jumat (26/10/2018). Kegiatan yang digelar untuk mendukung berkembangnya industri kreatif ini diisi dengan ragam agenda seperti seminar, pelatihan, pameran perusahaan dan startup teknologi, serta bazar aneka produk yang menunjang gaya hidup milenial.

Pertanyaan seperti ini laik diajukan karena posisi kaum muda dan tantangan kebangsaan Indonesia saat ini. Karut-marut kebangsaan Indonesia masa kini jelas bertalian erat dengan kiprah sosok dan tokoh yang sekarang menjadi aktor utama di setiap aspek kehidupan.

Di sisi yang lain, realitas penyalahgunaan ruang media oleh banyak kalangan berdampak pada munculnya ancaman fragilitas tidak saja negara tetapi terutama bangsa. Di sana, kaum muda paling disorot dan cenderung dituduh sebagai agen utama penyebar berita bohong atau hoaks dan beragam ujaran kebencian.

Realitas kontradiktif

Pahlawan merupakan entitas yang serba kontradiktif saat ini. Hal ini disebabkan karena batasan pahlawan sangat subyektif. Dalam Crucial Images In The Presentation Of A Kurdish National Identity : Heroes And PatriotsTraitors And Foes,Strohmeier (2003) dengan tegas mengatakan,  pahlawan merupakan otoritas yang berdiri dalam tegangan pemegang senjata dan patriot di satu sisi dengan pengkhianat dan musuh di sisi yang lain. Semua yang bisa menjadi sosok dan tokoh berpengaruh dalam kategori di atas masuk dalam batasan pahlawan.

Semua pihak dalam bangunan itu akan bekerja dan terus berusaha agar pendukung dan kaumnya tidak menjadi inferior. Di sana, pahlawan adalah mereka yang mengangkat kaum dan bangsanya menjadi bangsa yang hebat secara agama, politik, ekonomi dan budaya.

Masalahnya, dalam praktik di lapangan, penjajahan bisa berbentuk fisik dan bisa pula nonfisik. Dalam kerangka itu, pahlawan yang otentik ialah mereka yang bisa mematikan sosok ampuh pengkhianat dan musuh sekaligus. Pahlawan adalah pemegang senjata dan patriot di titik utama.

Jika masuk ke ruang kebangsaan, pahlawan ialah mereka yang memegang teguh konstitusi, menjamin hak-hak sipil dan mengakui semua identitas berbeda apa adanya. Dalam batasan demikian, seorang tokoh baru bisa disebut pahlawan jika memenuhi minimal tiga indikator utama tersebut.

Konteks Indonesia

Berkaitan dengan pandangan kaum muda Indonesia tentang pahlawan, realitas oposisi biner, superioritas, dan inferioritas, harus disebut dan laik didiskusikan. Sebab, dua soal itu (superioritas dan inferioritas) khas menemani perjalanan bangsa ini hingga sekarang.

KOMPAS/PASCAL S BIN SAJU

Kesenjangan antara masyarakat desa dan kota di Indonesia dalam aspek kemiskinan masih terbentang lebar. Foto ini memotret kemiskinan di NTT antara lain ditunjukkan oleh kondisi rumah tinggal yang jauh dari syarat minimal.

Di sini, kesenjangan antara elit dan massa terlihat sangat kentara. Kesenjangan antara masyarakat desa dan kota dalam aspek kemiskinan masih saja terbentang jauh. Dalam sebuah laporan, peneliti Australian National University, Christopher Hoy, mengatakan, kesenjangan menjadi soal utama Indonesia saat ini (Kompas, 6 September 2018).

Laporan yang sama menyebutkan bahwa lebih dari 35 persen respondennya sangat setuju dan lebih dari 40 persen setuju dengan masih adanya kesenjangan ekonomi di Indonesia. Bahkan, lebih dari 15 persen sangat setuju dan setuju. Sisanya tidak setuju dengan adanya kesenjangan ekonomi di Indonesia.

Di sisi lain, 20 persen kelompok terkaya di Indonesia telah menguasai 85 persen total kesejahteraan negara. Kesejahteraan tersebut meliputi kepemilikan rumah hingga tabungan. Artinya, lebih dari 250 juta penduduk Indonesia hanya memiliki 15 persen dari total kesejahteraan Negara.

Realitas kesenjangan seperti itu memunculkan dampak ikutan lainnya yakni radikalisme. Keterbatasan lapangan kerja dan akses pendidikan menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi, dan politik akhirnya memengaruhi tingkat radikalisme (Kompas, 10 Maret 2018).

Maka, pandangan kaum muda Indonesia nyata seperti disampaikan Strohmeier. Bahwa pahlawan ialah mereka yang memegang teguh konstitusi, menjamin hak-hak sipil, dan mengakui semua identitas yang berbeda-beda itu apa adanya tanpa ada kepentingan kekuasaan segelintir orang.