Kampanye provokatif masih jadi problem akut dalam rangkaian demokrasi minor ataupun mayor.

Masalah ini tak hanya dirasakan lingkaran elite, juga di aras lokal. Puncaknya, pertikaian antar-kedua pendukung pasangan capres-cawapres 2019 tak terhindarkan. Di Sampang, Madura, dua pemuda berkelahi akibat cekcok terkait dengan perbedaan pandangan politik. Awalnya, cekcok terjadi di media sosial dan berakhir pertengkaran di dunia nyata dengan tewasnya salah seorang pendukung.

Kasus pertikaian di dunia maya dan dilampiaskan di dunia nyata ternyata pernah terjadi pada tahun 2014. Bermula dari perdebatan antara pendukung Joko Widodo dan Prabowo Subianto di Twitter, dua pemuda sepakat untuk menyelesaikan perdebatan tersebut di dunia nyata. Untungnya, duel tersebut tidak menelan korban karena sama-sama dengan tangan kosong.

Jauh sebelum kasus kekerasan politik nasional merebak, kekerasan politik lokal juga menyisakan persoalan tragis. Hal ini pernah terjadi pada 2006 terkait pemilihan kepala desa di Kabupaten Pamekasan. Waktu itu, carok massal terjadi terkait perebutan percaton antara kepala desa terpilih dan mantan kepala desa di Bujur Tengah. Ada dua kubu yang bertarung, yaitu pendukung Mursyidin (Kades Desa Bujur Tengah) dan kubu yang dipimpin Baidlowi (bekas kades setempat). Carok massal ini menelan tujuh korban jiwa.

Banalitas kampanye

Kekerasan politik yang terjadi dalam sejarah demokrasi memang tak semua bersumber dari kampanye politik. Namun, jika menilik kasus terakhir, kekerasan politik yang diwarnai dengan tewasnya masyarakat sipil tentu tak mencerminkan naluri politik etis di tingkat elite. Bagaimanapun kekerasan tersebut bersumber dari kampanye provokatif yang dilakukan elite. Elite belum bisa mengedukasi bagaimana berkampanye tanpa memancing amarah publik. Yang ada justru perang urat saraf di media sosial ataupun media arus utama. Hal ini mudah diamati ketika elite politik tampil di ruang publik, di mana yang dipertontonkan hanya retorika dan serangan tanpa data akurat.

Bahkan, tak jarang tim sukses menggunakan kata tidak pantas. Narasi-narasi model itu menempatkan politik kita pada situasi politik yang buas, seram, dan menakutkan. Karakter saling memaki seperti binatang (cebong dan kampret) adalah logika publik yang digeser ke arah binatang. Maka, relevan apa yang diungkapkan Aristoteles (384-322 SM) bahwa manusia sebagai binatang politik (Zoon politikon).

Diksi-diksi dan narasi yang dibangun seperti itulah yang berdampak di ruang publik saat ini. Akibatnya, publik terbius pada persoalan yang tidak substantif. Bahkan, narasi yang dibangun cenderung menimbulkan sikap kebencian satu sama lain. Untungnya, publik lebih cerdas membawa persoalan tersebut ke arah yang lebih baik sehingga tak mudah terprovokasi.

Jika ditelusuri, menguatnya banalitas kampanye provokatif di atas memang tidak lepas dari dua isu utama. Pertama, secara sosiologis, elite politik belum bisa membangun tradisi konsolidasi politik demi keadaban publik yang matang. Hal itu terlihat jelas pasca-hajatan politik di mana elite hampir tak pernah melakukan konsolidasi politik terhadap pihak yang kalah. Bahkan, tidak jarang kekalahan memperparah luka politik yang mendalam.

Pilkada DKI Jakarta menjadi salah satu kaca pembesar bagaimana gagalnya konsolidasi politik sehingga luka politik terseret ke Pilpres 2019. Perbedaan pandangan politik tidak bisa diaktualisasikan sebagai kesadaran dalam memaksimalkan interaksi dengan orang lain, memelihara sikap kebersamaan dalam kelompok, dan bekerja sama dengan orang lain. Menguatnya isu pengafiran, pemunafikan, dan bahkan tidak menshalatkan jenazah terhadap beda pilihan politik merupakan akumulasi dari kerusakan dalam proses demokrasi kita. Menguatnya sikap  seperti itu karena elite tidak bisa menengahi sehingga isu agama masih membekas di hati publik. Oleh karena itu, polarisasi dan pembelahan politik yang terjadi hingga kini merupakan akumulasi dari proses demokrasi yang sudah luka sejak lama.

Kedua, fanatisme politik yang berlebihan membuat nalar kritis publik semakin terkikis. Dalam kondisi inilah, respons terhadap masalah sosial politik, ekonomi kerakyatan, kemiskinan, dan keadilan diaplikasikan dalam bentuk penolakan dan perlawanan berbasis ideologis. Dari aspek tersebut, penolakan dan perlawanan lantas dilakukan oleh pemaksaan kehendak. Alhasil, hal-hal yang sangat elementer sekalipun tidak direspons dengan bijak. Malahan dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya. Kehendak yang dipaksakan berubah menjadi cara pandang ideologis. Maka, tidak heran apabila proses pemaksaan kerap kali dilakukan dengan pengerahan massa berbasis agama.

Hal lain yang menjadi pemicu kekerasan politik adalah ketidakmampuan parpol mengimbangi populasi politisi. Populasi politisi jauh melebihi kemampuannya menjadi politisi andal atau negarawan. Akibatnya, sikap politik yang terbangun lebih bertumpu pada siapa yang menjadi penguasa parpol. Para politisi tidak lebih sekadar patron-klien yang bervisi "asal atasan senang".

Maka, yang tampak adalah electoral disoriented, di mana orientasi yang dibangun sering kali tidak mewakili suara publik, tetapi lebih bertumpu pada suara atasan. Hal itu juga terjadi dalam kampanye pemilu. Elite politik dan tim sukses lebih condong membela mati-matian kandidat yang didukung ketimbang menjaga kondusivitas aras lokal. Ujung-ujungnya, publik yang dirugikan karena termakan oleh kampanye-kampanye tidak bermartabat dan provokatif.

Perlu langkah sistemik

Dalam kondisi demikian, rasa-rasanya hajatan kampanye pemilu perlu penyelamatan darurat. Diperlukan langkah-langkah sistemik untuk menyelamatkan kampanye pemilu dari karamnya etika politik. Padahal, jika kita merunut ke belakang, pertolongan darurat semestinya tidak perlu terjadi apabila elite-elite kita tidak mempertontonkan kampanye-kampanye provokatif.

Namun, apa boleh buat, banalitas kampanye provokatif sudah telanjur memakan korban. Dan, korbannya adalah masyarakat sipil yang belum tentu memahami persoalan politik kebangsaan.

Untuk itulah, tradisi melahirkan politisi andal dan negarawan menjadi kunci. Bung Karno, Bung Hatta, dan Syahrir merupakan proyek percontohan politisi andal. Mereka lahir dan berkembang dengan proses panjang. Mereka berjuang bukan untuk kepentingan parpol dan atasan, melainkan berjuang untuk rakyat. Rakyat  yang menjadi "mazhab" politisi pejuang, bukan kehendak atasan.