SUPRIYANTO

SUPRIYANTO

Bagai api dalam sekam, adalah peribahasa yang bisa diartikan sebagai bahaya yang dapat terjadi di setiap waktu, atau kejahatan yang dilakukan secara diam-diam. Korelasinya dengan kehidupan sosial politik masyarakat bisa juga dianalogikan sebagai konspirasi jahat yang dirancang secara sistematis, tak kasatmata, sehingga tak ada yang menyadarinya.

Di Indonesia, tragedi Mei 1998 adalah contoh riil. Api dalam sekam berproses: meretas, membesar, membara, dan akhirnya meletup—membakar seluruh negeri. Gerakan massa jalanan menjadi monster mengerikan. Segala bentuk anarkisme, kekejaman, kebengisan, hingga kesadisan dan kebiadaban menyatu. Sangat mengerikan.

Gerakan massa jalanan

Sejak dua tahun lalu, gerakan massa jalanan yang terbalut seragam keagamaan, dengan mengusung slogan-slogan "politik", menjadi sering tampil di ruang publik. Gerakan tersebut menjadi periodik hingga sekarang, bahkan jumlah pesertanya masih ekstrem—puluhan hingga ratusan ribu orang.

Ada keinginan, tanggal dan bulan pelaksanaan aksi gerakan massa jalanan yang diklaim sebagai gerakan moral, toleran, dan damai—anti-anarki dan radikal tersebut—bisa ditetapkan sebagai hari (libur) nasional. Terlepas dari persoalan disetujui (pemerintah) atau tidak, gerakan massa jalanan telah menjadi fenomena global, yang menarik untuk dicermati. Adanya kecenderungan global yang di-setting kaum kapitalis untuk membentuk tatanan dunia baru, dan tata ulang kekuasaan, mewujud lewat perang murah meriah, yaitu perang asimetris. Bentuknya, lewat gerakan massa jalanan.

Perang asimetris juga disebut sebagai perang modern yang mengandalkan taktik dan strategi (smart power). Gerakan massa jalanan menjadi pilihan—bahkan primadona—karena langsung bisa mempertontonkan kepada dunia adanya dukungan rakyat. Hal ini bisa dikembangkan untuk membangun (rekayasa) opini global, yang langsung dieksploitasi, baik melalui media massa maupun media sosial. Berkaca dari sukses Musim Semi Arab, gerakan massa jalanan merupakan senjata efektif untuk melengserkan penguasa di Jalur Sutra. Hanya bermodal gerakan massa jalanan, rezim Ben Ali (Tunisia) dan Hosni Mubarak (Mesir) tumbang. Sementara Ali Abdullah Saleh (Yaman) dibuatnya terbirit-birit.

Demikian juga dengan yang terjadi di kawasan Asia. Lengsernya Yingluck Shinawatra (Thailand, 2014) juga tak lepas dari tekanan gerakan massa jalanan.

Lantas, apakah gerakan massa jalanan di Indonesia yang dilakukan berjilid-jilid tersebut juga berpotensi, atau memiliki maksud terselubung, memberikan tekanan atau bahkan dirancang untuk melengserkan penguasa negeri ini? Bagai api dalam sekam, gerakan massa jalanan yang diklaim sebagai gerakan moral dalam balutan religius memang berpotensi ditumpangi berbagai kepentingan politik. Artinya, tak tertutup kemungkinan, neokolonialisme (penjajah gaya baru) yang di-setting kaum kapitalis akan memanfaatkan momentum tersebut untuk menjatuhkan rezim penguasa.

Jangan anggap sepele

Sejarah mencatat, rezim yang tumbang karena gerakan massa jalanan jumlahnya tak sedikit. Juan Peron (Argentina, 1955), Perez Jimenez (Venezuela, 1958), Bung Karno (Indonesia, 1966), Ayub Khan (Pakistan, 1969), Reza Pahlevi (Iran, 1979), Ferdinand Marcos (Filipina, 1985), Chun Doo-hwan (Korea Selatan, 1987), Nicolae Ceausescu (Romania, 1989), Soeharto (Indonesia, 1998), Ben Ali (Tunisia, 2011), dan Mubarak (Mesir 2011).

Dua penguasa Indonesia, Bung Karno dan Soeharto, yang tumbang oleh gerakan massa jalanan, bisa jadi pembelajaran. Lebih dari itu, tragedi ini bisa dijadikan peringatan keras bagi penguasa—apa pun alasannya, jangan pernah anggap sepele dan meremehkan gerakan massa jalanan.

Adanya kecenderungan global yang di-setting negara-negara kapitalis, untuk membentuk tatanan dunia baru, dan tata ulang kekuasaan, harus direspons secara cerdas. Bagaimanapun, Charlotte Ingham dari Principal Political Risk di Maplecroft, seperti dirilis theglobal-review.com (12/5/2015) menyatakan, terdapat 19 negara menjadi target perang asimetris. Salah satunya adalah Indonesia.

Ini tak mengejutkan. Sebab, ada empat indikasi yang bisa dilihat. Pertama, ada upaya memecah belah kerukunan bangsa lewat politik praktis dan agama. Kedua, ada ambisi (kaum kapitalis) untuk bisa terus menguasai simpul-simpul pangan dan ketahanan energi. Ketiga, ada skenario men-setting Indonesia terus dilanda kegaduhan. Keempat, ada upaya menjadikan Indonesia sebagai pasar narkoba.

Barangkali, di sinilah pentingnya bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam menyikapi fluktuasi lingkungan strategis, harus bisa melihat pola khas perilaku geopolitik kaum kapitalis secara cerdas. Oleh karena itu, perlu kesadaran bagi seluruh masyarakat agar tak terlena dengan kegaduhan superfisial yang berpotensi mengaburkan eksistensi neokolonialisme.

Dengan semakin banyaknya warga masyarakat yang menyadari dan memahami pola perang asimetris, semakin banyak pula orang yang bisa menyikapi kegaduhan secara cerdas. Dengan demikian, satu sama lain tak lagi mudah diadu domba (divide et impera) lewat isu-isu sensitif, seperti SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) atau isu-isu sektarian.

Taktik klasik kaum kapitalis

Tentang gerakan massa jalanan yang menjadi primadona perang asimetris tak lepas dari taktik klasik kaum kapitalis, yaitu lewat settlor. Di sini, settlor —orang atau lembaga yang diberi kepercayaan mengelola uang atau dana dari pemilik sebenarnya (beneficiary)—memiliki peran sangat vital.

Untuk memuluskan "skema" sebagai tahapan akhir dari pola perang asimetris, lazim dibentuk komunitas elite (oposisi)—meminjam istilah Bung Karno, sebagai komprador; yaitu anak bangsa yang akan menghancurkan bangsanya sendiri dengan berbagai pembenaran. Mereka inilah yang bertindak sebagai penebar isu-isu sensitif dan provokatif, yang sifatnya mendiskreditkan pemerintah.

Sementara di tingkat akar rumput ada demagog, yaitu sosok yang piawai menghasut dan membangkitkan semangat pergerakan lewat ceramah, atau pidato sekaligus kemampuan memobilisasi massa. Peran demagog sebagai penggebyar tema lewat gerakan massa jalanan untuk melengserkan rezim penguasa, setelah ruang publik dibombardir isu-isu sensitif dan provokatif oleh komprador.

Ilustrasi ini sekaligus menegaskan bahwa kaum kapitalis, lewat settlor, telah membeli jiwa-jiwa anak bangsa, termasuk jiwa-jiwa peserta gerakan massa jalanan, untuk bersedia terlibat dalam perang asimetris. Dan, mereka harus loyal untuk itu.

Gerakan massa jalanan di tengah kegaduhan perang asimetris bagai api dalam sekam. Ada aroma, tercium hal-hal tidak baik yang tidak tampak. Ini sekaligus peringatan "keras" bagi penguasa. Apa pun alasannya, dalam menyikapi perang modern yang murah meriah ini, jangan pernah menganggap sepele dan meremehkan gerakan massa jalanan.

Ada pelajaran yang bisa dipetik dari kejatuhan Bung Karno dan Soeharto: "Jika massa sudah turun dan bergerak di jalanan, tak ada satu pun kekuatan yang bisa menandinginya!"

Sangat logis, dalam pergerakan massa berjumlah puluhan hingga ratusan ribu tersebut, yang diperlukan cuma pemantik api kerusuhan. Seperti teriakan Karl "Heinrich" Marx (1818-1883) kepada kaum buruhnya; "Wahai rakyat; bersatu, bangkit, dan bergeraklah! Lengserkan rezim ini!"

Jika itu terjadi, tragedi pelengseran kekuasaan pun bisa saja berulang.